Cinta Hening
Pernahkah kamu merasakan sebuah cinta yang begitu besarnya, sangat teramat besar, dan bertumbuh besar pada setiap detiknya, hanya karena cinta itu tak pernah dibagi kepada sudut hati yang seharusnya merasakan cinta yang sama juga.
Cinta yang tak tersampaikan.
Cinta yang begitu hening. Karena ia tak pernah bersuara, dan selalu tercekat tiap kali ia ingin bersuara. Meski rasanya cinta ini begitu ingin berteriak karena sesaknya ruang hati dan ia ingin secepatnya minta dikeluarkan.
Betapa jahat jiwa yang memilikinya. Betapa penuh dengan ketakutan. Betapa penuh dengan asumsi-asumsi. Namun, untuk kesekian kali cinta dipaksa menyerah pada takdirnya. Bahwa ia tidak pernah bisa memilih dimana ia tumbuh. Cinta seperti meteor yang datang dengan tiba-tiba entah darimana asalnya. Dan dipaksa menerima nasibnya bila ia harus jatuh pada pangkuan sebuah kelopak mawar, atau pada masamnya wajah tong sampah, atau pada hati yang ketakutan, seperti tempatnya kini.
Dan begitulah cinta. Beberapa waktu lalu ia jatuh ke pangkuanku.
Kuingat saat itu kusadari cinta itu hadir. Pada suatu saat dadaku berdegup saat melihat nama seseorang yang muncul di kotak timeline. Ada rasa sesak, rindu yang menghangat, jari yang gemetar mengetik hai apa kabar dan kemudian segera dihapus sebelum sempat dikirimkan. Di hadapan namanya aku menjadi pengecut.
Dan cinta itu tidak bergerak kemana-mana. Ketakutanku menahannya untuk tetap tinggal di tempatnya. Pada rongga hati yang gelap, dan hanya bisa mengintip saat tanganku bergetar membaca tulisan-tulisannya di Twitter.
Kubangun sendiri tembok keangkuhan di hadapanku, dan kugali sendiri jurang pemisah yang sangat dalam dan semakin menjauhkanku dari kemungkinan yang mungkin hanya sekedar bertegur sapa dengannya. Namun keinginanku yang begitu dalam untuk terus dapat bersamanya juga pada akhirnya membuatku membangun sebuah jembatan panjang diatasnya bernama persahabatan.
Dia tidak tampan. Tidak juga hebat. Tidak sama sekali luar biasa. Namun, tiap senti partikel dalam dirinya adalah kombinasi mematikan, menundukkanku patuh, dan memaksaku menerima keadaan bahwa hingga detik ini, setelah sekian lama cinta itu hadir, tak pernah sekalipun aku berani untuk menyandingkan nama akunnya pada bait-bait cinta yang seringkali kutulis di status Twitterku, meskipun bait-bait itu memang ditujukan untuknya.
Tidak ada yang tahu, kecuali cinta, bahwa tiap kali ia menyapaku dengan canda melalui Twitter, keriuhan pesta beredak-redam dalam otakku. Semesta bergegap gempita, meniupkan terompet kebahagiaan dan seakan melupakan semua persoalan di luar sana. Kemeriahan dan keberisikan dalam otakku seperti sibuk meneriakkan namanya, namanya, dan hanya namanya. Dunia di luar seperti dipaksa berhenti dan dipaksa memperhatikan pesta yang terjadi di dalam kepalaku. Dunia harus tahu... Demikian batinku.
Namun, keriuhan nyatanya hanya berdiam dalam otakku. Semestaku hening. Tidak bersuara. Hanya degup jantung yang terdengar dug dug dug dan jari-jari yang gemetar memikirkan kira-kira apa yang akan kubalas dalam mentionnya supaya ia terkesan dan saling reply ini bisa memperpanjang masa pesta dalam otakku. Berulang jari sibuk mengetik untuk kemudian dihapus, lalu diketik kembali, dan berakhir dengan dihapus tidak pernah terkirim balasan apapun, terkecuali J
Di sudut sepi dalam ruang hatiku, cinta menghela napas, "ah tadi kupikir tadi adalah waktu tepat bahwa aku akan pada akhirnya dikeluarkan dari dalam ruang pengap ini," ucapnya lirih.
Sedangkan aku yang kerdil ini seperti biasa menghibur diriku, bahwa nama akunnya terlalu eksklusif untuk disandingkan dengan sebaris ratapan cinta di Twitter.
~ (oleh @ninanenen)