Warung Bebas

Monday, 26 September 2011

#15: Second Chance (pt. 1)

TWO YEARS LATER
*It's been a long two years
*It's time to smile, we've made it this for you just like you said
*Just like you said we would
*There are no more tears
*We've used them all so now we'll rely on our laughter
*And the faith that pain gives joy...
(Thanks to You – Copeland)


"Ares? D-Dia itu... Ares?"
Hujan turun semakin deras ketika pertemuan di Café Lalo sudah berakhir. Empat dari tujuh jurnalis yang datang memilih untuk diam di kafe sambil minum dan mengobrol. Salah satunya Adrian, yang baru  menceritakan pertemuannya dengan seorang jurnalis asing yang tiba-tiba menitipkannya sebuah kemeja untuk diberikan padaku.
Mengejutkan. Aku melongo begitu mengenali kemeja itu – kemeja yang pernah mengisi masa laluku. Mataku sempat nanar mencari Chevrolet yang Adrian potret tadi sebelum masuk. Jelas, itu adalah Chevrolet milik  Ares!
"He's gone," gumamku lirih.
"Dita, kalau tahu jurnalis tadi Ares, pasti langsung aku tolak paksaannya untuk masuk dengan undangan dia," ujar Adrian dengan sorot mata sendu.
"Maaf..."

"It's okay, Ad." Kemudian, aku melipat kembali kemeja itu. Mengherankan bagaimana aroma tubuh Ares tetap melekat kuat dalam kain ini. "Yang aku khawatirkan sekarang adalah pekerjaannya. Gimana kalau dia dipecat gara-gara gagal mewawancarai aku?"
Adrian sama-sama ikut kebingungan. Kami cukup beruntung karena manager dari pihak penerbit novelku, Nyonya Kefitz, sudah pulang sejak tadi. Jadi, kami bisa mengobrol cukup leluasa.
"Kamu mungkin bisa ketemu Ares di kantor New York Times besok siang. Aku yakin deadline-nya tidak dalam waktu terdekat, jadi kamu bisa minta re-interview. How?" paparnya penuh harap.
Aku menjentikkan jari di depannya. "Kamu jenius!"
Kami tertawa, lalu aku menyesap sisa hazelnut coffee yang Adrian bawakan tadi. New York sedang berada di tengah musim semi yang indah – hujan menghasilkan pemandangan yang indah bersama cahaya-cahaya lampu dari seluruh kota.
I also can't wait for my 23th birthday this weekend!
Adrian meletakkan cangkirnya yang sudah kosong. "Jadi, selama spring break di New York, kamu tinggal di mana?"
"Aku nyewa apartemen di kawasan 8th Ave. Lumayan, sih, cuma buat tempat tinggal sementara ini," jawabku. "Kamu dimana? Brooklyn?"
"Iya. Appa* baru ngerenovasi rumahku dan Mom dulu di sana untuk tempat liburan. Aku diberi kesempatan sebagai teaser musim semi ini," jawabnya dengan senyum yang merekah lebar; menunjukkan deretan giginya yang rapi dan bersih. "For your info, Hye-jin yang memilih perabotannya. You should see."
"Sure. Oh, and how do I miss your sister."
Aku, Hye-jin, dan Lisa sebenarnya masih saling mengabari lewat *mail.
Hye-jin bekerja sebagai konsultan di Kedutaan Besar Korea untuk Kanada, sementara Lisa kembali ke Roma, Italia, untuk melanjutkan kuliah sambil mengembangkan usaha kedai orang tuanya. Hah, terakhir kali kami bertemu adalah saat di bandara waktu itu.

"By the way, itu kemeja bersejarah yang pernah kamu ceritain, ya?" terka Adrian yang aku sambut dengan anggukan. "Mau dipakai?"
Mataku kembali menatap kemeja itu. Selama dua tahun terakhir, bentuk tubuhku tidak turun atau naik secara drastis, jadi mungkin masih muat dipakai.
Sebuah ide melintas dalam pikiranku.


***


Semalam, setelah Adrian mengantar pulang, aku langsung mengakses situs New York Times untuk mencari informasi, siapa tahu mereka menyimpan arsip para jurnalisnya. Aku bermaksud mencari alamat apartemen Ares dan menemuinya di sana. Tapi, kurasa itu terlalu frontal.
Jadi, aku kembali ke ide awal yang dicetuskan Adrian.
Siang ini, langit mendung menaungi New York dalam cuaca yang semakin dingin.
Aku merapatkan
scarf dan blazer – kemeja Ares seperti heater yang langsung menghangatkan tubuhku. Kantor New York Times yang menjulang tidak jauh lagi dan membuatku semakin gugup.
Aku menarik nafas panjang begitu memasuki gedung. Sang resepsionis terlihat sangat sibuk karena terus-terusan menerima telepon, tapi begitu matanya bertemu denganku, mulutnya terbuka lebar.
"Maaf, bisa—"
"Kamu!" serunya dengan suara satu oktaf lebih tinggi. "Penulis Athena's Diary itu, kan?"
Sebelum aku kembali bicara, resepsionis bernama Ronda itu menunduk ke bawah meja, lalu berdiri kembali dengan menyodorkan sebuah buku – oke, novelku.
Aku hanya tersenyum geli saat dia menyodorkan pena padaku.

"Oh, for God's sake, ini sebuah kehormatan!" katanya tidak percaya dengan suara bergetar ketika aku menandatangani novel. Ronda cepat-cepat menaruhnya di bawah meja. "M-Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
"Umh, iya. Bisa hubungkan saya dengan salah satu jurnalis New York Times? Namanya Ares Dragness."
"Tunggu sebentar." Ronda dengan cekatan meraih teleponnya. Aku sempat was-was kalau Ares tidak masuk hari ini karena gagal mewawancaraiku. Tapi, aku pikir Ares tidaklah sepengecut itu untuk pekerjaannya. Dia pasti akan bertanggung jawab atas risiko dari perbuatannya.
Tiba-tiba, Ronda, dengan gagang telepon yang maih menempel di telinganya, menunjuk seseorang di belakangku. "Oh, itu Tuan Dragness!"
Kepalaku langsung menoleh ke belakang. Ares dan beberapa temannya yang sesama jurnalis baru keluar dari lift. Aku melirik pada Ronda sejenak untuk berterimakasih sebelum berlari menghampiri Ares.
"ARES!"
Dia berhenti dengan kepala menoleh ke berbagai arah untuk mencari orang yang memanggilnya. Sementara aku dengan susah payah menghindari kerumunan sampai akhirnya, Ares berhasil menangkap sosokku dari jarak kurang dari dua meter.
Ketiga rekannya terperangah melihat kemunculanku dan Ares adalah satu-satunya yang tetap tenang. Selama lima detik, kami saling bertukar pandang, sampai Ares meminta mereka bertiga untuk pergi duluan.
"Dita?" katanya setengah tidak percaya. "What are you doing here?"
"Memastikan kamu nggak dipecat karena gagal mewawancarai aku," jawabku cepat. "Kamu... nggak apa-apa, kan?"
Kepalanya terangguk canggung. "Sebenarnya, aku berharap kamu cukup kirim sesuatu lewat email, tapi, ya... ternyata kamu melakukan sesuatu di luar dugaanku."
Kemudian, tangannya mengeluarkan notes dan pena dari saku mantel. "Kita nggak bisa ngobrol lebih banyak di sini, karena aku udah ditunggu buat lunch. Ini nomor teleponku yang baru. We can meet up in the another place, 'kay?"
Aku menerima kertas itu. "Oke, I'll call you later."
Dia tersenyum samar. "Well, so glad to see you wearing my shirt."
Aku hanya bisa menatapnya keluar dari gedung. Ini... aneh. Kenapa dia bisa sedingin itu? Apa karena formalitas di tempat kerja? Atau terlalu kaget melihat mantan pacarnya? Entahlah. Tapi, semoga di pertemuan selanjutnya, aku bisa bertemu Ares yang kukenal dua tahun lalu.


***


*Appa: sebutan ayah dalam Bahasa Korea


~ (oleh @erlinberlin13)

0 comments em “#15: Second Chance (pt. 1)”

Post a Comment