Warung Bebas

Friday, 30 September 2011

#19: Between Two A's (pt 1)

Potongan terakhir tiramissu itu membisu di atas meja.
"Apa?" kataku padanya – seolah-olah tiramissu itu memberi tatapan penuh selidik seperti Adrian. Aku merengut sebal sambil menyisir rambut singaku.
"A-Aku... AAAAAAHHH!!!
You know, this is a HARD FEELING! Bagaimanapun juga, berpisah dengan seseorang yang sedang dicintai, SANGAT dicintai itu SULIT!"
Oke, aku memang gila sekarang.
Semalam itu membabi buta. Maksudku, it seemed like we were still dating. We were on fire. Aku bahkan khawatir jantung kami akan meledak karena berpacu di atas kecepatan rata-rata. Kami sama-sama frustasi – sulit melepaskan sampai akhirnya logika berhasil menyadarkan kami berdua dan mengambil alih kontrol.
Tiramissu itu masih bergeming. Logika yang berhasil menamparku semalam adalah sugesti dari Adrian.
Tolak, tolak, tolak! Buat pertahanan diri!
Tanganku dengan cepat menyambar garpu, menancapkannya pada tiramissu, dan melahapnya bulat-bulat.
Sekarang, aku tahu bagaimana rasanya menjilat ludah sendiri. Tapi, aku juga tidak mau berakhir seperti Yudika.
...YA TUHAN, ADA APA DENGAN PIKIRANKU?!!!
Diam di dalam ruangan hanya akan semakin membuatku frustasi, jadi kuputuskan untuk jalan-jalan di Central Park sendirian. Saat mengalami konflik batin seperti ini, aku tidak mau ditemani oleh—
"AWW!!"
"Astaga! Maaf, kamu baik-baik saja?"
Tanpa diduga, aku terjatuh karena tidak melihat seorang wanita mengayuh sepeda dari arah berlawanan. Dia berhenti, lalu menolongku untuk bangkit berdiri. Begitu kepalaku menengadah dan melihat wajahnya...
Mataku membesar. "E-Eris?"
Dia menoleh kaget. "M-Maaf?"
Eh, kenapa aku malah refleks menyebutkan namanya? "Aku, umh, kemarin lihat kamu keluar dari apartemen Ares. Dia bilang kamu temennya."
"Oh, Ares Dragness? Jurnalis?" tanyanya memastikan dan aku mengangguk. Matanya menatapku semakin lekat. "Wait, you must be Dita, right? Athena's Diary author!"
Aku semakin terkenal.
Sebagai permintaan maaf, Eris mentraktirku makan sandwich di area piknik.
Jujur saja, aku agak minder duduk di sampingnya karena dari jarak sedekat ini, Eris makin mengingatkanku dengan Dianna Agron.

"Ares sempat cerita kalau dia berteman baik dengan penulis Athena's Diary dan, ya, aku terkesan  mendengarnya," Eris memulai pembicaraan.
"Kemarin dia mengundangku untuk makan siang dan menceritakan semuanya. Bagaimana hubungannya dengan Fiona dulu sampai mengenal kamu."

"Mmhh," gumamku sambil mengunyah sandwich. "Fiona? Jadi, kalian ini saling mengenal satu sama lain?"
Eris lalu menceritakan persahabatannya dengan Fiona yang sudah terjalin sejak bangku SMA. Di jam-jam terakhir sebelum peristiwa pembunuhan merenggut nyawa sahabatnya, Eris dititpkan sebuah 'wasiat' untuk membangun sebuah kedai kopi dari modal yang Fiona tabung sejak kuliah.
"Secara tidak langsung, kedai kopi itu adalah tanda cinta Fiona pada Ares," katanya pilu. "Satu hari, Fiona pernah bertemu ayah Ares yang mengagumi bakatnya dalam meracik kopi. Ares juga sering menggodanya untuk membangun sebuah coffee shop. Tanpa diduga, ternyata Fiona malah ingin membuatnya jadi nyata."
"Wow," gumamku tidak percaya. Sebesar itukah cinta Fiona? Aku juga yakin kalau Fiona masih hidup, Ares pasti sudah menikahinya. "Umh, terus Ares cerita apa tentangku?"
Eris nampak ragu saat akan menjawab. Beberapa kali dia sempat mengerling padaku seperti orang kebingungan.
"Umh, apa kalian..." kepalanya tercondong padaku "...pernah kencan?"
Aku berusaha tenang sambil memastikan tidak ada orang lain yang menguping pembicaraan ini. Aneh sebenarnya bagiku, karena Ares, kan, sulit membagi kisahnya dengan orang baru. Apa ini karena Eris adalah sahabat Fiona?
"Apa yang dia ceritakan?" tanyaku semakin penasaran.
"Tidak banyak. Dia hanya bilang, ya, aku dan Dita sempat berkencan, tapi tidak bertahan lama karena kepribadian yang berbeda dan sulit disatukan. Seperti dua kutub magnet yang sama." Dia menggumam sejenak. "Dia juga terlihat kecewa."
Apa Ares merasakan hal yang sama denganku? Mengingat apa yang kami lakukan kemarin malam, mungkin saja—oh, tidak! Belum tentu. Mungkin saja kemarin kami hanya terbawa suasana.
"Maaf, Dita, aku tidak bermaksud untuk ikut campur dalam urusan pribadi kalian," sesal Eris dengan sungguh-sungguh.
"Nggak apa-apa. It's just our past."
Kami berpisah setelah Eris memberikan kartu namanya. Siapa tahu aku mau mampir ke kedai kopinya yang terletak tidak jauh dari Central Park. Hmm, dan kalau bukan karena pertemuan juga percakapan dengan Ares, aku mungkin akan melupakan pesannya untuk mengirim email untuk artikel itu.
Iya, artikel untuk New York Times; tentang kami.


***


~ (oleh @erlinberlin13)

0 comments em “#19: Between Two A's (pt 1)”

Post a Comment