Warung Bebas

Tuesday, 27 September 2011

What a Teenage Wants


Kau setengah berlari menyusuri outlet-outlet brand terkenal hingga menemukan coffe shop itu. Kau segera masuk setelah menjawab sapaan ramah waitressnya. Kau mengedarkan pandangan berkeliling, kemudian melihatnya duduk di salah satu sudut ruangan dengan Frappucino Blended Beverage dan Roasted Tomato & Mozzarella Panini di mejanya. Seleranya masih se-American yang kau ingat. Dia sedang membaca majalah sambil melipat kakinya.

"Freya?" sapamu pada gadis yang lima tahun dibawahmu. Ia menyingkirkan majalahnya sekilas untuk melihatmu.

"Lara Eonni...." sapanya ramah. Ia berdiri dan memelukmu. Nah, sekarang gayanya jadi agak ke-Korea-Korea-an saat menyapamu dengan panggilan tersebut. Agak heran juga mengingat gadis ini besar dalam lingkungan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Korea. Bahkan Chinatown sekalipun. Tiba-tiba kau teringat Jodhy dan Bimo yang menamai acara mereka Ahjumma (red: bibi). Duo itu memang penggemar serial drama Korea dan lagu-lagu Korea yang selalu mereka putarkan saat sedang siaran. Apa di Los Angeles sekarang sedang demam Korea juga, sehingga sepupu high classmu satu ini jadi terbawa gayanya?

"Sudah lama?" tanyamu singkat. Kau duduk disebelahnya dan melirik CéCi yang tadi dia baca. Majalah ini berbahasa Mandarin dengan cover sepuluh pria berwajah imut berjejer (delapan orang duduk berimpitan sedangkan dua yang lain berdiri). Majalah China? Kau menggeleng, apalagi ini? Sepupumu yang satu ini usianya baru menginjak tujuh belas tahun dan ia orang terlabil yang paling enggan kau temui.

"Yah, about a quarter hour." Jawabnya manis. Ia memakai dress pendek, sekitar pertengahan paha, sepatu boot, dan bando berhias pita merah muda. Sangat imut, dan not so American. Sangat bukan Freya yang kau temui empat bulan lalu.

"How's you flight?" tanyamu setelah mengucapkan terima kasih pada waitress yang membawakan hot chocolate pesananmu.

"YA! Eonni," bentaknya padamu, "Cheongmal..."

"Apa?" balasmu dingin. "Kalau tidak bisa berbahasa Korea yang benar jangan setengah-setengah. Kau hanya akan merusak arti sebenarnya." Kau menyeruput hot chocolatemu sambil meliriknya. Ekspresi wajahnya berubah sendu.

"I'm not...," Ia menunduk, memilin ujung roknya. "I'm just trying to get your attention, eonni."

Nah! Sudah kauduga. Empat bulan lalu saat ia mengunjungimu, ia berdandan ala punk. Kuteks hitam, rambut di highlight, pakaian serba hitam dan jaket kulit, namun sikapnya sangat manja pada ibumu. Kau memang tidak dekat dengannya, namun entah kenapa justru ia sering sekali menghubungimu, baik lewat email messenger, SMS, bahkan kadang meneleponmu hanya untuk mengabarimu hal-hal yang menurutmu kurang penting.

"What for?" potongmu kaku. Kau memang bukan orang yang pandai berakting, mungkin bisa dengan bantuan script setiap kali kalian siaran radio, namun tidak untuk kehidupan nyata. Terutama dihadapan Freya, yang entah kenapa, kurang kau sukai kehadirannya.

"Nee, i admire you the most, eonni,"

Oke! Ini mulai tidak rasional bagimu. "You must be drinking a lot."

"I've been stop drinking since 3 months ago," jawabnya datar. Kau agak kaget mendengarnya. Sepupumu yang pecandu alkohol sejak usia 12 tahun hingga pernah masuk rehabilitasi, bisa berhenti minum alkohol juga? Kau penasaaran juga apa yang membuatnya begitu.

Tanpa banyak bicara lagi, kau menghabiskan hot chocolatemu lalu mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas. "Ayo,"

"Kemana?" tanyanya heran. Ia mungkin tidak menyangka seseorang seperti kamu yang selalu dingin padanya mau mengajaknya pergi.

"Rumah. Kamu nggak capek setelah 12 jam di pesawat?" tanyamu ketus. Wajahnya berubah cerah, lalu memungut kopernya dibawah dan mengikutimu. "Sempat-sempatnya bawa koper ke mall,"

"Haha, mall ini kan ada hotelnya, kalau kak Lara nggak mau jemput aku bisa nginep di hotelnya aja,"

"Silly!"

"YA! Stop bullying me!"

"I'm not. Just saying the truth! Kamu bisa naik taksi dari bandara, kenapa nggak bisa naik taksi ke rumah?" tukasmu judes. Ia mengkerut mendengar omelanmu.

"Kamu kenapa sih, sekarang kok jadi jahat gini?" protesnya manja. Kau membuka automatic lock mobilmu kemudian menyuruhnya menaruh tas di bagasi. Kau duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin.

"Aku sibuk. Aku nggak ada waktu buat mendengarkan rengekanmu," kau bersungut-sungut mengingat 1,5 jam yang lalu kau hampir saja selesai siaran dengan Renata ketika Freya meneleponmu, merengek-rengek minta dijemput di salah satu mall. Beberapa hari sebelumnya dia memang memberitahumu kalau ingin pulang ke Indonesia, tapi sehari sebelum kepulangannya dia tidak memberi kabar sama sekali. Dan kau pun mungkin sudah melupakannya kalau saja dia tidak minta dijemput. Benar-benar menyusahkanmu saja!

"Kau masih bekerja di radio itu?" tanya Freya sambil membuka-buka laci dashboardmu. Kau membanting lacimu hingga menutup dan mengagetkannya. Kau tidak suka tangannya yang iseng membongkar-bongkar isi mobilmu.

"Ya, memangnya kenapa?"

"Aish," dia menghela nafas panjang lalu menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku heran kenapa mereka masih mempekerjakanmu disana, padahal kau orang yang menyebalkan,"

"Tapi tadi kau bilang kalau kamu mengagumiku," ejekmu sinis. Freya gelagapan mendengarnya.

"Andwae..." jawabnya. "Aku tadi nggak ngomong gitu kok. Oh iya," teringat sesuatu, dia membuka tas jinjingnya dan membongkar-bongkar. "Majalah CéCi aku mana?"

"Mana aku tahu? Memangnya aku mengurusi barang-barangmu?"

"Laraaaa.... ayo kembali kesana, majalah aku ketinggalan..."

"Nggak bisa," kau menginjak pedal rem dengan frustasi. Dengan kondisi jalanan yang macet begini dia memintamu kembali ke mall tadi?

"Laraaaaa....." dia berteriak-teriak sambil merengek. Kau semakin frustasi dibuatnya. Kau akhirnya meminggirkan mobilmu dan membuka pintu.

"Ambil sendiri kalau kamu mau. Aku nggak bisa, aku sibuk."

"Lara..." suaranya memelan dan matanya berkaca-kaca.

"Apa pentingnya sih majalah itu? kau bahkan tidak bisa membacanya."

"Tapi ada SuJu-nya..."

"Beli aja lagi."

"Nggak bisa, itu edisi khusus. Aku harus pesan dulu  buat beli itu."

"Kalau kamu lebih sayang sama majalah itu, sana ambil." Kau mendorongnya keluar mobil. "Aku nggak mau menimbulkan kemacetan gara-gara berhenti terlalu lama."

Kau menutup pintu dan menjalankan mobilmu lagi. Freya tidak terlihat seperti akan mengejar mobilmu. Lagipula kau juga ingin memberinya pelajaran padanya. Belum apa-apa dia sudah menyusahkanmu, bagaimana satu minggu ke depan? Kau tidak habis pikir dengannya. Kau heran bagaimana tante dan om-mu membesarkan iblis kecil seperti dia?


_____
"Kok balik lagi? Sudah selesai jemput tuan putrinya?" tanya Ramon. Malam ini ia siaran berdua dengan Andra yang baru saja sembuh.

"Aku tinggal di pinggir jalan. Nyebelin sih,"

"Kalau nyasar gimana Va?" tanya Iben.

"Nggak mungkin, Ben. Dia nggak sebodoh itu. Dia memang tinggal di LA tapi dia pengalaman tinggal disini kok," katamu, lebih kepada diri sendiri. Freya yang kau kenal adalah remaja bandel yang suka kebebasan, tidak mungkin ia tersesat di kota yang tidak lebih ramai dari LA ini.

"Ya terserah sih Ra, cuma feeling gue kok anak itu  kayak lagi ada masalah." Kata Iben pelan. Kau tersentak mendengarnya. Iben belum pernah bertemu Freya secara kangsung, namun bisa semudah itu menebak kepribadiannya.

"Tahu darimana?" tanyamu penasaran. Sekedar ingin membuktikan kalau apa yang Iben katakan murni opini pribadi.

"Pasti ada alasan dibalik kebandelan setiap remaja. Kalau dia memang tidak ada masalah, dia pun tidak ada alasan untuk membuat masalah."

Kau terdiam mendengar statemen mengejutkan Iben. Kata-katanya terasa menusuk hatimu, bukan karena ia sedang membicarakan Freya, namun karena kau merasa kata-kata itu juga ditujukan untukmu. Dibesarkan orang tua tunggal sejak usia 15 tahun karena komplikasi diabetes mengakibatkan Tuhan meminta ayahmu untuk berada disisi-Nya. Ditambah ketidakharmonisan dengan ibu sehubungan penentuan masa depanmu. Keengganan berkuliah pada jurusan yang tidak kau sukai, yang berujung ketidakhadiranmu pada acara wisuda. Hal paling buruk apa lagi yang bisa kau lakukan untuk menunjukkan ketidakberdayaanmu pada hidup yang berusaha kau ingkari?

"Ra, kok diem?" tanya Ramon sambil mengguncangkan bahumu. Kau tersadar, kemudian menggelengkan kepala. Sudah jam tujuh malam, hari ini Jodhy sedang ada urusan, jadi ia memintamu untuk switch menggantikannya di Ahjumma bersama Bimo, sementara ia dan Sophie akan membawakan Love Potionmu.

"Eh, enggak kok," kau bersiap-siap menggantikan Ramon dan Iben bersama Bimo yang sedang mengubek-ubek koleksi lagu Korea di database radio kalian. Kau dan Bimo siaran gila-gilaan disini. Karena ini acara Bimo, jadi ia membalas dendam padamu karena kemarin tidak bisa membanyol dengan bebas di Love Potion. Untungnya hari ini kau sempat membuka twitter salah satu fanbase Korea dan membaca tweet-tweet lucu berhubungan dengan dunia K-Pop.

Pukul sembilan kurang sepuluh menit kau dan Bimo bersiap menutup acara, ketika handphonemu berbunyi. Sejak kejadian Andra itu kau memang tidak pernah mematikan handphone lagi selama siaran. Begitu melihat peneleponnya, kau mendadak tidak bersemangat mengangkatnya.

"Siapa Ra?"

"Bukan siapa-sia.." belum sempat kau menyelesaikan kalimatmu, Bimo langsung menyambar handphonemu dan mengangkatnya.

"Halo, ini dengan Bimo, tante, Lara nya masih di kamar mandi, ada yang bisa saya bantu sampaikan?" sapanya ramah pada ibumu. Kau mendengus kesal padanya. Bisa-bisanya ia mencampuri urusan pribadimu. "Anak bule yang rambutnya cokelat? Nggak ada tante, dari tadi Lara sendirian disini. Owh gitu.. iya nanti saya sampaikan ke Lara. Sama-sama tante."

Bimo menutup teleponnya dan mengembalikan handphonemu. "Adikmu Freya Stevans nggak pulang-pulang, dicariin ibumu tuh,"

Kau terkejut mendengarnya. Freya belum pulang? Kau melirik arlojimu, hampir empat jam sejak terakhir kali kau menurunkannya di pinggir jalan. Astaga, anak ini memang ingin cari masalah denganmu, pikirmu geram.

Segera setelah kalian selesai siaran, kau tancap gas kembali ke tempat kau meninggalkan Freya. Tidak ada siapa-siapa disana. Iseng kau melirik jok belakang lewat spion tengah. Kau begitu kaget dengan apa yang kau lihat dan menginjak pedal rem sekuat tenaga. Tas jinjing Freya ada disana! Bagaimana bisa dia pulang kalau tidak membawa uang? Bodoh, Lara! Makimu pada diri sendiri. Kau mengambil tas itu dan mengecek isinya. Ada handphone, dompet, visa, paspor, semuanya lengkap. Ditambah gaya berpakaian Freya tadi yang seperti artis Korea, mau tidak mau kau jadi mengkhawatirkannya juga.

Sepanjang perjalanan kau tidak lupa memantau siaran Love potion yang dibawakan Sophie dan Jodhy. Agak aneh mendengar Love potion yang harusnya sendu dan mellow kini hadir dengan backsound yang agak ceria. Jodhy dan Sophie sedang membacakan satu cerita kiriman pilihanmu, tepat sebelum kau pergi mencari Freya. Menurutmu, kisah itu sedang mewakili perasaanmu sekarang.

Kau kembali ke mall tempat tadi Freya menunggumu. Menurut waitressnya ia tidak kembali kesana, kau hanya membawa majalahnya yang tadi ketinggalan. Ia tidak kesana, tentu saja, ia kan tidak punya uang untuk naik taksi. Kau berkeliling-keliling sepanjang jalan mencarinya, hingga kau menemukannya sekitar 6 kilometer dari tempat kau menurunkannya tadi.

"Frey," panggilmu. Kau membuka jendela mobil dan memintanya masuk, namun anehnya ia tidak bergeming. "Sudah malam Frey, ayo pulang."

"Buat apa? Kamu tidak mengharapkan kedatanganmu, iya kan?" katanya dengan suara parau seperti habis menangis. Kau tertegun mendengarnya, kata-katanya telak sekali menusukmu.

"Frey, please. Kalaupun aku nggak suka sama kedatanganmu ke Indonesia, tapi ibuku nyariin kamu tuh," mohonmu sambil terus menyetir dengan jendela terbuka, hingga membuat AC mobilmu tidak berfungsi maksimal.

"Aku nggak butuh ibumu, Lara. Aku butuh kamu. Kalau cuma figur ibu aku nggak perlu jauh-jauh cari ke Indonesia." Potongnya tak kalah dingin.

"Lantas?"

"Aku kesini cari kamu. Karena aku nggak tahu lagi harus bicara sama siapa lagi," kata Freya dingin. Sayup-sayup kau bisa mendengar suara centil Sophie membacakan cerita.

Kalau mereka mengatakan tidak bisa saling mencintai lagi itu masih bisa aku terima.Cinta itu bisa datang dan pergi sesukanya kan, Sophie?

"Orang tuaku bercerai hari ini, Ra. Sebetulnya aku sudah tidak peduli lagi apakah mereka saling mencintai atau tidak, toh mereka tidak pernah menunjukkan sikap seperti peduli dengan keadaanku," Freya memandangmu nanar. Air matanya menetes satu persatu. "Yang aku sesalkan, kenapa mereka memberikan aku kehidupan kalau pada akhirnya mereka menyia-nyiakan keberadaanku?"

Aku hanya tidak bisa menerima mengapa mereka dulu terlalu cepat mengambil keputusan karena perasaan cinta yang sesaat.. Kami para remaja mungkin sudah menyusahkan para orang dewasa dengan kelabilan emosi kami. Kami tahu, tapi tidakkah kita bisa saling berbagi tentang kecemasan yang sama dengan tanpa penghakiman sepihak? Terima kasih Sophie dan Bimo sudah membacakan ceritaku. Tertanda, Intan.


~ (oleh @nadhiasunhee)

0 comments em “What a Teenage Wants”

Post a Comment