Jogja, Januari
Bumi Amezta
"Pelangi masih berada di Jogja." Suara langit datar terdengar, tanpa amarah.
"..."
"Bukannya gwe masrahin dia ke elo Mi...tapi gwe juga nggak mau memaksakan dia. Dia nggak ngijinin gwe
bilang ke lo, jadi jangan muncul tiba-tiba...dan satu hal Mi, jangan lo muncul di hadapan dia sebelum lo bener-bener punya nyali!" Lanjutnya tegas.
Aku bersandar pada tembok kayu dari bangunan bergaya lama. Di pintu berkaca yang dibingkai kayu tergantung tanda 'CLOSE', tiraipun masih menutupinya. Ku lirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 7. Aku masih harus menunggu hingga jam 10 untuk bisa mengunjungi toko antik ini. Beberapa waktu lalu saat mengunjungi toko ini aku menemukan jam pasir berwarna pelangi.
"Kamu mengingatkan saya kepada seorang perempuan muda yang beberapa waktu lalu suka
datang ke tempat ini."
Aku kembali teringat dengan kata-kata wanita tua pemilik toko. Kemudian terbayang wajah Pelangi. Wanita tua itu berbicara seolah memberiku sedikit petunjuk mengenai Pelangi, mengenai rasanya...hemm, tapi bisa
saja itu perempuan lain. Andaikan saja itu Pelangi, aku juga tidak bermaksud menunggunya di sini. Tidak munafik aku merindukannya dan ingin segera bertemu, menyampaikan rasa dan menunjukkan nyali. Tapi kalau saja tidak ku ingat ucapan Langit...
Nyali dan rasa sudah seperti letupan, masih harus ditambahi oleh rindu yang seolah memaksaku untuk menarik sosok Pelangi dan merebahkannya di sisiku. Tapi ku rasa belum saatnya, aku tidak ingin menciptakan rindu di
antara resahnya. Rasanya bodoh kalau aku terus mengganggunya, mengiriminya pesan berulang kali, menelponnya...aku sudah bukan lagi remaja labil yang bisa memaksakan rasaku sendiri.
Ku jauhkan diri dari toko antik tersebut. Berjalan ditemani kata entah. Menyusuri jalan-jalan yang ramai oleh kedatangan para turis lokal seperti aku salah satunya, maupun internasional. Aku tidak terlalu mengenal
Jogja, tapi aku tahu Pelangi tergila-gila dengan kota ini. Pernah dulu ia menceritakan dengan antusias apa yang membuatnya tertarik dengan kota berhawa panas ini.
"Aku pingin tua nanti hidup di Jogja."
"Kenapa?"
"Jogja tuh indah...di mana budaya dan modernisasi saling membatasi. Menjadi tua...lalu memiliki rumah
mungil dengan hamparan ilalang." Kemudian Pelangi memandangku dengan mata bulatnya di antara kilat senja yang masuk melalui jendela. "Tua bersama pria yang aku cintai, maukah?"
Saat itu aku merasa kamu tengah melamarku masuk ke dalam dunia impianmu. Menawarkan sebuah impian yang dapat dibina berdua dengan aku dan kamu, lalu nantinya akan ada keluarga baru di antara kita. Membayangkannya membuatku malu hingga akhirnya aku menganggapnya guyon, impian anak-anak kecil
yang belum tahu susahnya hidup. Impian naif dari seorang gadis kecil polos..
.
Langkahku terhenti pada penjual gula-gula kapas yang menjadi primadona di antara bocah-bocah. Haha...Jogja ini rasanya berisi jejak Pelangi! Tawaku dalam hati.
"Dasar anak kecil, itu tuh, makanan bocah-bocah tau!" Seruku lagi-lagi menggoda Pelangi yang tengah
asyik menikmati gula-gula kapas berwarna pink.
"Sirik, berisik! Udah tua emang nggak boleh makan-makanan anak muda!" Balasnya dengan bibir yang
mecucu.
"Kebiasaan makan kayak gitu bikin gigi lo ompong, kayak keponakan gwe."
"Nih liat!" Pelangi membuka mulutnya, memperlihatkan deretan gigi rapih tanpa bolong. "Gigi sehat!
Rajin gosok gigi!"
Kemudian ia beranjak meninggalkanku. Rasanya menggodanya tak hanya cukup sekali atau dua kali. Jadi
ku sejajari langkahnya, lalu merebut gula-gula kapasnya. Membuatnya merengek seperti bayi, melihat wajah lucunya saat mecucu.
Wajah Pelangi, aku memiliki banyak wajah Pelangi yang ku abadikan dengan kameraku. Mencetaknya berlembar-lembar, menempelnya di dinding tiap kali aku agak lima singgah di suatu tempat. Kalau tidak, ku simpan beberapa di dompet, telepon genggam hingga lap top. Memandangnya saat hati tak tenang, lalu aku akan terkekeh sendiri.
Eh, suara perutku meronta! Hemm..tanpa sadar kakiku melangkah ke kafe dulu tempat kami bertemu. Saat Langit memperkenalkan Pelangi sebagai calon istrinya. Saat itu aku berusaha untuk tidak gugup, berusaha untuk menahan rasa, jangan sampai tiba-tiba aku mendekapnya erat. Akupun memilih tempat duduk yang sama, mereka-reka penampilan Pelangi saat itu. Dress kaos panjang yang dibalut dengan blazer hitam.
Rambutnya semakin panjang dan bergelombang, warnanya agak coklat, ketika disibakkan Pelangi memamerkan deretan anting-anting di telinga kirinya. Pelangi hanya sesekali meneguk es coklat di hadapannya, minuman yang kerap menemaninya...iya, es coklat, tidak berubah!
"Permisi." Seorang pelayan sudah siap meletakkan pesananku di atas meja. Sepertinya beberapa saat ia memperhatikanku yang sejak tadi tersenyum sendiri. "Ah, nanti tolong bawakan bir dingin juga, terima kasih."
"Baik mas. Botol besar atau kecil?"
"Kecil."
Ku lahap dengan cepat makanan yang tersaji. Kemudian menyalakan korek dan membakar tembakau. Dulu Pelangi suka sekali minta dibuatkan kepulan asap bulat, dia memang kekanakan...Haha...lagi-lagi aku terkekeh sendiri.
"Ini mas, birnya...". Pelayan tadi meletakkan sebotol bir di atas meja. "Hemm, sepertinya sedang jatuh cinta ya mas?" Tanyanya sambil tersenyum sembari mengangkat piring-piring kotor dari atas meja.
Aku tak menjawab, hanya membalasnya dengan tawa pelan, pastinya ia sudah tahu jawabannya.
Ku sandarkan tubuh pada punggung sofa, meneguk bir dingin, memejamkan mata. Kembali terbayang Pelangi..tepatnya Pelangi dan aku. Hamparan ilalang...
Liar adalah kamu yang ku cumbu dengan napas menderu semalam, desah napasmu yang ku jamah semalam suntuk, ketika letupan rindu menemui titik temu. Tak perlu lagi akasara bahkan kata, menyentuhmu dengan rupa dan aroma...tembakau, rindu, resah meruah…
Tak perlu menakuti malam yang kemudian akan menjadi pagi, siang lalu sore, dan nantinya akan kembali malam. Kita sudah punya satu tempat untuk mengadu, memiliki rasa untuk diadu dengan rindu, memilin bilur-bilur ketika bibir saling adu, bersentuh kulit dengan ujung jarimu berpeluh…
Sayang…liar adalah kamu yang membuatku rindu dijamah, dikecup, diusap, dijelajah…
Liar adalah kamu ketika menjelajah tubuhku tanpa merayu terlebih dahulu, ketika degup jantungku seperti mengaduh, ketika semalam tanpa memejam, Pelangi tertidur di sampingku, tubuhnya membelakangiku sehingga aku hanya bisa melihat punggungnya yang terbuka, hanya ditutupi beberapa helai rambut. Aku baru tahu ia memiliki dua tahi lalat di bahu kirinya, dan yang satu di sekitar rusuk. Ku sentuh perlahan, tidak ingin
membangunkannya. Kemudian aku tersadar, baru saja ku sentuh Pelangi...tidak, bukan hanya ku sentuh! Aku mengecupnya, tidak hanya di bibir. Menyentuhnya, tidak hanya sebatas kulit dan jari beradu, tapi kulit kami saling sentuh..saling menjelajah...
Aku menikmatinya...saat jemari Pelangi menjalar, desahnya di telingaku. Menyentuhnya dengan melupakan Pelangi yang saat itu merupakan calon istri dari sahabatku, aku menghabisi sisa gadis dalam diri Pelangi.
Haaaahhh...ku hela napas panjang. Ku lirik jam tangan. Pukul 9.30. Ah, sebentar lagi...aku akan kembali ke toko antik. Rasanya sambil jalan aku akan sampai di sana sekitar jam 10.
"Permisi...". Ku buka pintu, lonceng berbunyi. Ku intip, masih sangat sepi.
"Selamat pagi...". Sapa wanita yang dulu berbincang denganku, pemilik toko kalau aku tak salah tebak. "Sepertinya anda pernah ke sini."
Aku mengangguk, "anda pernah menceritakan seorang perempuan yang memandang jam pasir yang sama denganku."
"Ah!" Ia menjentikan jarinya. "Ya...wah, baru saja ia keluar dari sini, sekitar beberapa menit lalu."
Aku cukup kaget mendengarnya. "Oh, ya...".
Selalu saja wanita tua ini tersenyum penuh arti, "panggil aku bunda, wanita muda itu juga biasa memanggilku begitu." Aku mengangguk.
"Silahkan melihat-lihat, mungkin anda bisa menemukan sesuatu yang menarik, seperti yang ditemukan wanita muda tadi."
"Eh...panggil saya Bumi."
Bunda terkekeh menatapku, ia mengangguk lalu memberi isyarat agar aku mengikutinya. "Ku tunjukkan padamu tempat aku menyimpan barang-barang baru."
Tak berapa lama kami berdiri di depan meja di mana di atasnya terdapat beberapa kotak kayu tua dengan ukiran batik. Banyak sekali perhiasan antik. "Silahkan melihat-lihat, saya tinggalkan sebentar."
"Ah, tunggu...apa yang perempuan itu temukan?"
Bunda menatapku, "Sepasang...sebuah petunjuk, arah dan...". Bunda meletakkan kedua tapak tangannya di pipiku. "Keikhlasan...".
Setelah itu bunda meninggalkanku. Mataku menyusuri benda-benda di atas meja. Hemm...aku tidak ahli dalam hal perhiasan, tidak terlalu suka juga memakainya. Paling hanya sepasang anting hitam kecil di kedua telingaku, jam tangan dan beberapa gelang yang ku beli di sekitar Malioboro. Dalam tumpukan perhiasan ku temukan sebuah kotak kecil yang juga terbuat dari kayu. Ku buka, di dalamnya terdapat sepasang cincin dari kayu berwarna coklat tua, masing-masing terdapat satu buah mata.
Tanpa pikir panjang ku ambil kotak dan kedua cincin tersebut, menemui bunda yang tengah menyusun barang-barang di etalase.
"Saya tertarik dengan ini." Ku letakkan kotak di atas kaca etalase.
Bunda mengamati kotak tersebut, dia membuka kotaknya, lalu memperhatikan kedua cincin. Seperti biasa, beliau tersenyum penuh arti, seolah ia tahu akan sesuatu tapi enggan berkata.
"Hemm...yakin?"
Aku mengangguk mantap.
"Bumi...ini adalah cincin sepasang. Cincin yang nantinya akan kau sematkan di jari manis wanita yang benar-benar kau cintai...".
"Aku tahu...".
Bunda mengisyaratkanku untuk diam, mendengarkannya sampai selesai. "Ketika kedua cincin sudah tersemat, tak ada jalan untuk kembali...maka pikirkanlah sebaik mungkin sebelum kau memberikannya."
Wajah bunda terlihat sangat serius. Aku mulai curiga, barang antik milik orang-orang Jawa biasanya menyimpan banyak rahasia, atau...sebut saja yang terburuk, kutukan! Bodoh, aku tahu...tapi bukankah mistis dan hal-hal semacam itu akan selalu lekat dengan rakyat Indonesia, mau seberapa kerasnya invasi Barat?
Tak lama bunda tersenyum, "cincin ini akan membawamu padanya."
~ (oleh @NadiaAgustina)
Sunday, 25 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)