Warung Bebas

Wednesday, 21 September 2011

#10 Reuni

Reuni, Apa kabar Yogya?

Sudah banyak yang berubah dengan kota ini, namun entah kenapa masih saja menghadirkan sesuatu yang luar biasa untukku. Atmosphere, suasana ramahnya yang tersaji atau memori sepanjang hidupku, ah entahlah aku tak bisa menguatkan pendapatku sendiri. Yogya sekarang jauh berubah, banyak yang baru disana-sini. Pembangunan maju pesat, jalanan ramai, tempat "nongkrong" menjamur dan muda-mudi pun (khususnya para mahasiswa yang menimba ilmu) semakin bisa mengeluarkan identitasnya sebagai anak muda, sesuatu yang sangat berbeda dengan beberapa tahun ke belakang. Tidak terlihat sisa-sia trauma dari amukan Merapi beberapa bulan lalu, Yogya benar-benar bangkit dan tak mau lama-lama larut dalam kesedihan. Di satu sisi persatuan masyarakat Yogya semakin kuat setelah status Daerah Istimewanya "Diusik" oleh pusat, suatu kenyataan yang sebenarnya hanya dikarenakan lupa dan bahkan ketidakpahaman pemerintah akan ilmu sejarah dan antropologi. Inilah akibatnya jika budaya tersampingkan dan pemerintah hanya sibuk dengan masalah ekonomi dan hukum, padahal Budaya merupakan senjata ampuh untuk membenahi permasalahan bangsa saat ini. Banyak orang lupa jika budaya adalah dasar dari martabat dan identitas Indonesia sebagai suatu bangsa, YANG SAAT INI SUDAH TIDAK BISA DIRASAKAN LAGI. Sangat disayangkan.

"Len…. Nalennnn.." Panggilan Naya membuyarkan semua lamunanku yang bisa menjadi makalah bila diteruskan. Hehe.. Tampaknya sudah cukup, disini aku ingin sepenuhnya mengulang kenangan bersama Naya dan sahabat-sahabatku bukan untuk beretorika dan beragumentasi. Hehehe.

"Iya Nay, aku di depan" Jawabku singkat.

Naya menyeruak muncul dari dalam rumah, rupanya ia sudah bersiap untuk bepergian. Malam ini memang kita sudah berencana bertemu teman-teman lama.
"Wuihhhh.. Cantik amat bini gw ya, mau kemana mpok??", Candaku dengan logat betawi, yang biasanya akan diikuti juga oleh Naya.

"Lah, pan tadi abang yang ngajakin aye jalan-jalan? Pegimana sih bang? Jadi kagak sih?", Saut Naya juga dengan logat yang sama (Benarkan kataku).

"Iya-iya jadi dong nay, aku udah kontak anak-anak, mereka pada mau dating dan kita janjian ketemu di Vredeburg (Vredeburg adalah benteng peninggalan Belanda yang terletak di antara jalan Malioboro dan Kantor Pos Besar)", Jawabku.

"Oke kalau begitu ayok len kita pamit bapak ma ibu", Sahut Naya.

"Ayok deh, udah jam 7 kita janjian jam setengah 8, kalo kecepetan kita makan sate aja dulu disana", Balasku.

Akhirnya kami pun masuk kedalam rumah untuk pamitan ke bapak dan ibu, sekaligus minjem motor bapaknya Nada alias mas Wisnu kakak iparku. Oiya.. untuk yang belum pernah ke Yogya, Vredeburg itu merupakan benteng peninggalan penjajahan Hindia Belanda. Bentuk bangunannya masih sangat terawat dan saat ini berubah fungsi menjadi museum yang memamerkan sejarah bangsa Indonesia. Letaknya  diujung jalan Malioboro dan berada ditengah-tengah Istana Negara Yogyakarta, Kantor Pos Besar dan Pasar Beringharjo membuat tempat ini menjadi sangat strategis, dan pasti sudah terbayang keriuhan yang tercipta ditempat itu. Musisi jalanan, penjaja berbagai makanan dari sate, harum manis hingga wedang ronde turut meramaikan tempat itu.

"Yo wis kono nek arep jalan-jalan, ati-ati yo.. ojo banter-banter numpak motore.. Inget lo le", Jawaban Ibu kepadaku dan Naya ketika kami izin untuk pergi mala mini.

"Nggih bu, boten banter-banter", Jawabku kepada ibu. Aku tak pamit pada bapak, karena bapak sudah jalan ke mushola untuk solat isya.

"Nada arep melu ora da?", candaku pada Nada.

"Hussh. Ojo macem-macem les engko repot ngejak Nada", Sahut ibunya.

"Hahaha.. Bercanda mbak, sopo sing tenanan", jawabku ke kakak wanitaku satu-satunya.

"Hoo. Pantes ora dikek2'I keturunan, kowe isih males yo le karo cah cilik", Sahut Ibuku , yang s



epertinya mengundang reaksi Naya menjadi seperti tadi siang. Sebenarnya Ibu hanya bercanda dan aku yakin tidak ada niat untuk menyindir, tetapi Naya selalu sensitif jika membicarakan momongan dan itu terlihat jelas diraut wajahnya. Aku tahu persis sifat Naya yang selalu ceria dan bawel jadi jika tiba-tiba mendadak diam berarti ada sesuatu hal yang mengusiknya.
Aku pun hanya bisa tersenyum dan bergegas pergi agar Naya kembali ceria.

"Assalamualaikum, pergi dulu bu, mbak, Nada", Ucap aku dan Naya. Dijalan sebisa mungkin aku berceloteh apa saja agar Naya tidak terbawa ucapan ibu yang disalahartikan olehnya, Ia pun larut juga akan nostalgia seperti ini dan sedikit-sedikit melupakan kata-kata Ibu tadi.

Tidak sampai 20 menit, kami sudah sampai di Vredeburg. Tidak banyak yang berubah hanya saja yang menyita perhatianku dan Naya hanyalah keramaian yang tersaji disana. Untung ini bukan malam minggu pikirku. Tak lama kawan-kawanku semasa perjuangan satu per satu datang, sebenarnya teman-temanku yang sekarang bertemu ini adalah teman-teman Naya juga tetapi tidak terlalu dekat. Teman-teman dekat Naya sudah tidak ada yang tinggal di Yogya.

Tidak banyak temanku yang datang hanya tiga orang, semua satu jurusan denganku (Semua laki-laki), dua diantaranya membawa pasangan jadi untunglah Naya punya teman untuk ngobrol-ngobrol urusan wanita. Obrolan kami benar-benar menghebohkan, temanku si Santo yang belum memiliki pasangan habis dicela oleh semuanya. Senang rasanya melihat Naya ikut ceria malam itu, setidaknya hingga ia terlupa akan kehamilan.

Malam itu benar-benar rusuh bercandaan kita benar-benar tidak ada batasan, seluruh aib dimasa lalu semua dibuka, dari kisah asmara, gelut, mendem, acara kampus dan masih banyak lagi. Selain itu tema-tema sejarah dan budaya tidak terlepas ikut dibicarakan, Santo temanku adalah dosen FIB di UGM, Roni saat ini berwiraswasta di bidang souvenir dan cinderamata, sedangkan Yahya yang asli Bandung saat ini menetap di Solo setelah menikahi putri solo dan saat ini bekerja di pemda Solo. Yahya banyak bercerita tentang perkembangan Solo sebagai sebuah kota dan berbagai macam kebijakan yang dinilai masyarakat kota solo sangat berpihak kepada rakyat kecil dan identitas kota Solo sebagai kota budaya yang wajib melestarikan budaya asli, dengan slogannya "Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu". Obrolan kami pun bak gayung bersambut, ternyata disiplin yang kami punya masih sangat terjaga hingga saat ini. Roni yang juga pengusaha souvenir saat ini memfasilitasi produsen-produsen kecil souvenir hasil kerajinan khas Yogya ke pasar nasional maupun internasional, mulai dari wayang kulit, pajangan-pajangan dari kayu, miniatur-miniatur moda transportasi(becak,sepeda dll) hingga mainan-mainan tradisional macam dakon, kitiran dan mainan-mainan lainnya. Sedangkan Santo layaknya dosen ia mengajar setiap hari dan juga menulis di media-media cetak.

Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 1 dinihari, kami pun memutuskan untuk mengakhiri nostalgia yang sudah pasti tidak ada habisnya jika tidak dihentikan. Naya pun sudah mulai ngantuk, sebelum beranjak pulang kita bertujuh menyempatkan makan oseng-oseng mercon yang terkenal cita rasa pedasnya jadi sedikit menahan rasa kantuk.
Kami tiba pukul 2 dini hari dirumah ibu, seluruh penghuni rumahku sudah terlarut di alam mimpi.

"Nay jangan lupa ya cuci kaki sebelum naik tempat tidur", sahutku.

"Iya sayang tenang aja", jawab Naya.

Aku pun teringat akan candaku tadi siang, kehamilan juga turut menyita pikiranku. Timbulah ide untuk menyegerakan proses kehamilan hehehe..
Ku perhatikan istriku yang tampak sangat kelelahan sekali dia malam ini, lalu ku urungkan niat. Biar ku temani tidurnya dengan pelukku saja.

"Selamat tidur sayang..",

RUMAH YOGYA
Nalen

~ (oleh @sthirapradipta)                                                                                                                                 

0 comments em “#10 Reuni”

Post a Comment