Warung Bebas

Friday, 23 September 2011

Elegi Purnama #11

"Kamu salah, nama tengahku Anindita, bukan Anandita", protesku.
"Oh maaf, beda satu huruf beda arti ya".
Aku tersenyum.

Kami berteman di facebook, foto yang dipajang sebagai profile picture-nya berbeda jauh dengan wajah aslinya sekarang. Kutanyakan langsung, ia cuma tersenyum. Mungkin jawabannya akan kudapat nanti.

"Lunch yuk, di kantin".
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Dan ia mulai membuat langkahnya sejajar. Aku tak tertarik dengan laki-laki ini, tak tertarik,tak tertarik. Rapalku dalam hati.

"Aku tiga bersaudara, kalo kamu?".
Pertanyaan macam apa ini, a-be-ge sekali.
" Dua bersaudara, adikku Jingga empat tahun".
"Jauh juga ya selisihnya sama kamu".
"Begitulah".

Ia terus menatap sepanjang makan siang berlangsung. Ada apa sih dengan rambutku, wajahku mungkin. Ah. Rasa-rasanya butuh cermin sekarang. Dan ia menatap sambil tersenyum. Aku suka senyumnya.

"Makasih ya udah nemenin makan", ia mengucap dan membalikkan badannya setelah menaruh senyum di pikiranku. Kenapa jadi begini, lagi-lagi kubantah diriku sendiri. Penyangkalan adalah obat paling mujarab untuk saat ini kurasa. Besok akan sembuh dari sakit ini, lupa dengan sosoknya dan tak kelimpungan lagi.
***
Pertemuan kami makin intens selama dua bulan ini. Sepulang kerja acapkali ia menjemput, sekedar nonton, mencari novel terbaru atau kuliner malam. Semua berubah, menjadi wangi dan warna-warni. Sabtu kami akan bertemu lagi di BNN.

Aku lupa dengan penyangkalan tempo hari lalu. Logika dengan perasaan pukul-memukul serupa godam baja. Sampai..
"Runny, I'm begging you please.. Mau nggak temenin aku sampe nanti?".
Aku mengernyitkan dahi, menatap tajam dan berkedip sekali. Kurasa aku cukup mengerti maksudnya. Ia memegang tangan kiriku. "Please..", mintanya sekali lagi.

Tak mudah menerima orang lain bahwa ia berhak atas potongan hati ini. Ketika ia tak bertanggung jawab memberi makan hati, ia akan mati. Dan aku, sang pemilik akan bersedih; menumbuhkan hati amatlah sulit. Apalagi dengan statusnya, mantan pengguna narkoba. Apakah lagi yang bisa kukatakan atau kujaminkan ke hati ini sendiri bahwa ia akan baik-baik saja diberikan pada orang yang kini berada di depanku. Rasa kesepian terkadang juga menyergap dari berbagai arah. Kugelengkan kepalaku keras-keras untuk permintaan Rengga malam ini.

Kami pulang, di hening malam yang rintiknya pelan-pelan, sayup kudengar suara Lee Ryan, you're my past, my future. My all, my everything. My six in the morning when the clock rings. And I open up my eyes to a new day..

Mesin mobil dimatikan, ia menoleh ke kiri dari balik kemudi, kemudian mengusap pipi kananku pelan. " I love you, Runny". Aku terdiam. Ia mencium pipiku. Pertama kalinya.
***
Aku mengetuk-ngetukkan tangan di keyboard laptop. Tak tahu akan menulis apa, semua berhenti di sosoknya. Sosok sedikit 'ndut', menggemaskan, riang dan selalu tersenyum. Apa yang membuatnya masuk rehabilitasi di BNN, mengapa sebentuk lengkung senyumnya justru mengantar dirinya menjadi penghamba benda itu?

Selamat bobo, Runny. Dari beberapa nomor handphone yang berbeda belakangan ini, berasal dari satu nama. Rengga. Sms menjelang tidur seperti absen malam untuknya. Apakah aku kejatuhan cintanya, Tuhan?



~ (oleh @IedaTeddy)

0 comments em “Elegi Purnama #11”

Post a Comment