Aku koma.
Entah berapa kali jarum panjang berdentang melewati angka duabelas selama aku tertidur begitu pulas.
Dan aku merasa, berada di dunia lain. Dunia yang putih. Bahkan antara dinding dengan dasar dunia ini tidak bisa kubedakan. Tapi aku nyaman di sini. Entah mengapa.
Tunggu, aku harus menatap yang kucinta dulu. Sebelum aku benar-benar tak lagi bisa menatap mereka langsung.
Aku perlahan membuka mataku, di ruang yang serba putih juga. Banyak peralatan rumah sakit mengitariku.
"Vina! Kamu sudah bangun, sayang?" Mama, matanya sembab menggenggam erat tanganku.
Aku hanya tersenyum. Tanganku membalas genggamannya.
Aku menggerakkan kepalaku ke arah kiri. Ada papa! Ada papa di sini! Papa bersamaku!
"Papa..." Aku lirih menatapnya.
"Iya, sayang? Maafin papa ninggalin kamu selama ini."
"Papa nggak salah..." Aku mulai kehilangan nafasku.
Ada sudut air mata di sana.
"Revand... Aku bakalan terus cinta kamu."
"Aku juga, sayang." Revand yang bisa dikatakan begitu jarang menangis, kini ia menangis.
"Guys..."
"Iya, Vina..." Viva yang terdekat denganku. Di belakangnya ada Jennifer, Azizah, dan Deo.
"Makasih udah jadi teman terbaikku selama ini."
"Kakak! Ayo main lagi. Ayo ngajarin Reno lagi." Mata Reno masih terlihat sembab.
"Hihi... Mulai sekarang, kamu yang rajin ya, sayang..." Aku mengusap kepalanya yang masih kecil.
"Papa... Mama..." Aku menarik kedua tangan mereka. Lalu mempersatukannya, seperti sediakala yang selalu kudambakan terjadi lagi, "Vina pengen, kalian ngebesarin Reno bersama-sama. Vina pengen kalian bersatu lagi. Walaupun hanya sementara, Vina pengen ngeliat." Aku sudah mulai tak tahan mengeluarkan suara lagi.
Papa mengangguk pasti, "Iya, Vina. Nih. Kamu liat, papa sama mama bakalan jagain Reno bareng-bareng."
Aku dapat melihat tangan papa menggenggam erat tangan mama. Aku benar-benar rindu saat-saat seperti ini, ketika aku masih belia. Sungguh, jika aku boleh meminta, aku ingin melihat semua ini lebih lama lagi. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ragaku harus dilumpuhkan total oleh sang kanker.
Inilah... Inilah saatku harus benar-benar melepas kalian, yang kucinta.
"Aku cinta kalian semua." Hanya itu sepenggal kata terakhirku. Lalu aku perlahan memejamkan mataku lagi.
Hilang. Ragaku hilang untuk membelai mereka.
Oh ya! Ada satu lagi yang belum sempat kuberikan kepada mereka.
Semua terheran mendengar sebuah perekam suara memutar suaranya sendiri. Tidak, tidak sendiri. Akulah yang memutarnya, untuk kalian. Itu adalah sonata terakhir yang dapat kuciptakan.
"Itu suara kak Vina! Kakak bangun! Aku tau kakak cuma pura-pura tidur. Kakak, ayo bangun!" Terlihat Reno mengguncang-guncang tubuhku sebisanya. "Mama, kenapa kakak nggak bangun-bangun?"
Mama hanya menangis di hadapanku.
Reno, kakak akan selalu berada di sampingmu. Menemani kamu main, menemani kamu belajar, meski kakak nggak lagi bisa kamu lihat.
Mama, terima kasih telah menjagaku seutuhnya. Menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untukku.
Papa, maaf aku tak sempat besar bersamamu.
Sahabat-sahabatku, terima kasih tetap setia bersamaku. Bagaimanapun aku. Aku akan tetap bersama-sama kalian, dalam hati.
Dan Revand, terima kasih telah menanam cinta abadi dalam hati.
"Ini sonata kenangan darinya..." Revand menangis.
Ya, meski aku tak lagi bisa menyanyi untuk kalian, setidaknya aku sempat menciptakannya untuk kalian.
"Vina ngga boleh pergi." Deo menjerit perlahan.
Aku ingin tak ada air mata lagi mengiringi kepergianku. Aku sudah bahagia di sini. Aku tak lagi merasakan sakit-sakitku.
Aku bebas!
Dan aku berjanji, akan tetap hidup dalam hati kalian. Meski paru-paruku tak akan bernafas untuk ragaku lagi.
Inilah saatnya aku harus melepaskan kalian secara abadi. Berjanjilah, memagari cinta yang pernah kita semai bersama, lalu tumbuh menjadi kelopak-kelopak keabadian.
Tuhan, terima kasih telah mengirim berjuta cinta-cinta yang hebat. Yang tegar mengokohkan cintanya.
Aku; akan tetap mencintai kalian, sebagai yang kubisa...
~ (oleh @LandinaAmsayna)