Warung Bebas

Friday, 23 September 2011

#12: A Day Late (pt. 2)

Aku di kamar gelap, ruang fotografi
Ad.
Hah, kenapa nggak di halaman aja, sih?
Ruang Fotografi terletak lumayan jauh dari kafetaria, memakan waktu 10 menit dengan jalan kaki. Tapi, setidaknya di sana sepi dan aku lebih nyaman bercerita dalam situasi seperti itu.
"Ad?" Aku masuk ke kamar gelap. Foto-foto berbagai ukuran bergelantungan di atas menyambutku. Tiba-tiba saja, aku jadi ingat Princess Hours - drama Korea favoritku dan Hye-jin. Di beberapa episode, Pangeran Lee pasti berada di kamar gelap.
"Di sini!" Kepala Adrian muncul dari balik dinding dan aku menghampirinya. Dia sedang sibuk mencuci film dari kamera-kamera tua. Mungkin punya teman-temannya, karena dia selalu menenteng DSLR. Atau polaroid.
"Ganggu, ya?" tanyaku hati-hati. "Harusnya aku tanya kamu lagi apa dulu tadi."
Kepalanya menggeleng. "Ini yang terakhir, kok! Gimana hasil laporan terakhir kamu?"
"Belum keluar, nanti pukul dua."
"Oh." Adrian menjepit foto terakhir di atas seutas tali. "Jadi, ada masalah apa?"
Karena tidak suka basa-basi, aku melewatkan bagian menemani Hye-jin dan langsung pergi ke inti cerita. "Kemarin malem aku ke Wal-Mart dan… tebak siapa yang aku lihat?"
Adrian nampak ragu untuk menjawab. "Emh, mantan kamu?"
"Ya, aku ketemu Ares di Wal-Mart."
Alisnya bertaut. "Serius? Ngapain dia ada di Athens?"
"Katanya, sih, ada perlu bareng dosennya," jawabku sendu. "Kita ketemu bentar, tapi…"
Kali ini, Adrian menatapku semakin serius. "What happened?"
Mataku menerawang ke depan - ke arah cermin yang merefleksikan bayanganku dan Adrian. Wajahku kusam karena kurang tidur dengan rambut acak-acakan karena tertiup angin. Sementara Adrian… dia selalu rapi - bahkan dengan t-shirt lusuh yang dipakainya sekarang.
"Umh…" Kepalaku tertunduk "… I kissed him."
"Eh?" Adrian benar-benar menghentikan pekerjaannya. "You did?"
Aku menarik nafas panjang dengan jemari menjambak rambut karena putus asa. Seperti ada ratusan palu yang menghantam kepalaku secara bergantian. Namun, saat aku mulai terisak seperti anak kecil, kedua telapak tangan Adrian yang kokoh menarik pelan lenganku dari kepala dan menurunkannya.
"Hei, look at me," pinta Adrian dan aku mengangkat kepala perlahan untuk menatapnya. "Aku tahu, pasti berat untuk melepaskan seseorang yang sedang kamu cintai. Tapi, kalian berdua sudah memutuskannya bersama, kan? You even could let the boy in high school go, kenapa dengan yang sekarang…"
"He loved me…" rintihku seperti tikus "…meski masih sering dibayangi masa lalunya, tapi ada sebagian dari diri Ares yang mencintai aku. Dia mengungkapkannya di saat aku merasakan hal yang sama. Was it wrong?"
"Tapi, dia sadar itu akan terus menyakiti hati kamu, Dita," sanggahnya tanpa menyakiti perasaanku. "Kamu juga tidak bisa memaksa dia… dia masih butuh proses untuk mengenyahkan masa lalu dari kehidupannya sekarang."
Apa yang Adrian katakan tadi langsung mengunci mulutku. Sekuat apapun aku menarik Ares untuk keluar dari masa lalunya… itu akan berakhir sia-sia. Mungkin dia butuh tiga atau empat tahun lagi sampai akhirnya bisa menerima kepergian Fiona.
Dan bisakah aku menunggu selama itu?
"Don't get fooled by love," ujar Adrian lembut. "Jangan biarkan perasaan itu menguasai kamu, karena seharusnya kamu yang mengontrol perasaan itu. Jangan cepat lemah, jadilah Dita yang kuat."
Aku masih bergeming saat Adrian merengkuh wajahku. "Sekarang, anggap aku Ares dan setiap kali aku mendekat, buatlah sugesti untuk pertahanan diri. Tolak, tolak, tolak semakin kuat."
Sekarang, anggap aku Ares…
Di bawah pengaruh frustasi dan putus asa, perintahnya jadi mudah kulakukan. Dalam sekejap, yang kulihat bukan lagi Adrian, tapi Ares. Ares dan senyuman miringnya, Ares dan mata hijau kecoklatannya, Ares dan rambutnya yang selalu berantakan…
Ares who I used to call as my lover…
Seharusnya, aku sudah bisa melawan karena Adrian tidak menempelkan dahinya padaku seperti yang Ares lakukan. Tapi, bayangan Ares terus membanjiri pikiranku. Namun, saat Adrian semakin dekat, ada perintah dari dasar kepalaku untuk mendorongnya. Penglihatanku semakin jelas dan satu gerakan lagi…
"AWW!"
"Eh, maaf, maaf, Ad! Kamu nggak apa-apa?" Tadi, aku refleks menyikut perutnya sampai dia membungkuk kesakitan.
"Kamu…" Adrian meringis, kepalanya menengadah padaku. "Kamu kecil-kecil tenaganya besar, ya?"
"Aku berlebihan, ya?"
"It's okay." Lalu, Adrian menarik nafas panjang dengan tangan memegangi sisi meja. "Memang itu yang seharusnya kamu lakukan. Sugesti yang terus diulang itu berpengaruh besar terhadap tindakan."
Ponselku bergetar dan menginterupsi percakapan kami. SMS dari Hye-jin. "Eh, aku harus masuk kelas. Dosennya datang 30 menit lebih awal. Hebat."
"Well, then, I wish you luck, Dita," katanya, menyemangatiku dengan tepukan di pundak. "Jangan cengeng lagi, ya? Be strong."
"Ya, trims." Aku tersenyum samar. "Nggak ngerti deh kenapa kita nggak kenal satu tahun lebih awal."
Alisnya terangkat. "If that happened, we might be dating now."
Kami saling bertukar pandang, lalu tertawa lepas.
            Who knew what we know now
            Could've been more
            But, at least you're still my day late friend
            We are who, we are who we were when...
            (A Day Late – Anberlin)

***

~ (oleh @artemistics)

0 comments em “#12: A Day Late (pt. 2)”

Post a Comment