Warung Bebas

Friday, 23 September 2011

Lope Lope Tragisto

Seumur hidup, gue pikir kisah cinta paling tragis itu bukan Romeo dan Juliet. Justru derita Slamet, Sanwani, dan Paijo yang gagal menggapai cinta Rita yang tahunya udah tunangan sama cowok masteng (mas-mas tengab) jebolan AKABRI. Padahal Slamet udah sampe beli mobil gigi maju ala Hanoman, Sanwani bolak-balik minjem mobil dari bengkel Babeh, dan Paijo tebar pesona tiap hari. Bener-bener ngenes.com deh! (Yang nggak ngerti silakan mampir ke Glodok or tunggu di TV swasta buat tayangan GENGSI DONG, komedi lejen Warkop DKI).

Sejak beberapa menit yang lalu, Euforiano Semesta dengan sukses menggeser trio naas itu dengan cerita menghanyutkannya. Sebuah kisah yang dituturkan setelah menepikan mobilnya di pinggir sebuah angkringan. Di antara kepulan asap dari poci teh nasgitel, terbukalah rahasia yang tadinya gue pikir saduran dari komik Jepang ala Candy-Candy atau Topeng Kaca, miris aja dengernya.

Sebut saja Mawar, seorang cewek yang dikenal hampir sepanjang hidup Ian. Tanggal lahir yang Cuma berbeda 7 hari, tempat tinggal yang cuma beda 7 rumah, tinggi badan yang sekarang selisih 7 cm, menjalin kasih hingga 7 tahun lamanya. Kalo mau percaya kata Mbah Jambrong, angka 7 itu punya kekuatan magis, harusnya bisa jadi keberuntungan buat Ian dan Mawar. Sayangnya, waktu berkata lain.

7 bulan ditinggal Mawar ke Inggris untuk menyelesaikan course yang didapatnya via beasiswa, Ian mendapati cewek yang dicintainya dengan sepenuh hati itu berubah total. Seakan ada implant silikon di dalam hatinya, membuatnya tampak begitu palsu.

"Kita berdua sama-sama suka nulis, Ri. Dari zaman kita SD, tiap hari kita tukeran diary. Kita sama-sama tulis apa yang kita alamin atau rasain hari itu di dalem buku notes biru, warna favorit kita berdua," kenang Ian tetap dengan puppy eyes­ warna coklat menawannya.

"Begitu kenal blog, Mawar ajak gue bikin blog atas nama kita berdua dan kita ganti diary itu dengan blog. Mawar juga minta gue bikin cerita bersambung tentang cerita cinta kita tiap hari. Ada tags khusus buat itu," Ian merunut lagi titik-titik dalam garis perjalanannya dengan Mawar.

"Trus? Dimana lo akhirnya sadar ada polisi tidur dalam jalan raya hubungan lo, Yan?" gue jadi ikut-ikut beranalogi dengan perumpamaan yang sangat berbau preman jalanan. Abis nyebut polisi tidur, kayanya gue bakal nyebut polisi cepek sama abang ojek. Solidaritas bersaing di jalanan, bersatu di pangkalan, merdeka!

Ian nggak gubris analogi asal-asalan gue itu. Masih dalam mellow mode ON, Ian berujar panjang," Dia mulai protes dengan cara gue ngomong di blog. Menurutnya, cerita gue terkesan nggak serius, nggak romantis, nggak gambarin betapa indahnya pacaran dengan temen masa kecil lo sampe udah 7 tahun berjalan. Feelnya nggak dapet. Gitu kata dia pas abis pulang dari Inggris."

Wuaduh. Gini deh kalo manusia dapet pengetahuan baru. Semua berasa salah, langsung cari detail atau hal kecil buat kita benerin. Berasa banyak hal yang kita punya dalam hidup udah berjalan salah dan ilmu baru itu pintu kita buat totally change. 7 bulan menimba ilmu sastra di kota yang sama kaya Mr. Bean berkeliaran, langsung deh pasang lencana di dada : "I know how to write better than you."

"Emang tulisan-tulisan lo subversif? Provokatif? Nyebut kata-kata mesum macem Nah Ini Dia?" desak gue penasaran sama rumitnya pikiran Neng Mawar. Mungkin karena sering disebut-sebut di Pos Kota atau Buser, jadi berasa penting kali nih kaya pejabat nerobos jalur busway. Huh!

Ian ketawa pelan, megang pundak kanan gue seakan mencari sesuatu untuk menopang badannya yang mulai lelah dan penat. "Sampe detik ini, gue selalu jadi gue. Jujur nulis apa yang gue rasa dan alamin di hari itu. Nggak kurang, nggak lebih," ucapnya dengan nada lebih tegas.

Gue mikir sebentar. Mereka-reka kata yang harus gue keluarin sebagai tanggapan. Belum sempet gue ngomong apa-apa, Ian udah lanjut cerita. " Protes satu, merembet ke protes dua, tiga, empat. Nggak kerasa udah protes yang keseratus lima puluh. Minggu berikutnya udah nambah seratus protes lagi. Interupsi di pembicaraan kita berdua udah ngalahin jumlah aslinya di gedung DPR," jelas Ian kembali menerangkan awal kandasnya lope-lope tragisto miliknya.

Ending cerita itu pun mudah ditebak. Mawar kembali cari beasiswa ke luar negeri. Menghapus hausnya akan ilmu-ilmu lain, demi membuktikan kalo bersama Ian di Indonesia justru membuat dia nggak berkembang jadi iron ladyI (bukan sejenis mbok cuci setrika lho ya). Jangan bayangin ada adegan mesra ala AADC di airport. Yang ada malah Ian dikasih tahu tanggal keberangkatan yang salah, nerima e-mail beberapa hari setelahnya, bertuliskan, "I'm already here. Wish me luck and I wish you the best of luck also. Without you, I can explore myself better. Without me, you will have louder happy laugh."

Mawar unjuk duri. Afgan memang.. alias SADIS. Kalah deh Gerwani dan penyiletan G-30S-PKI.

Gue manggut-manggut dan buka suara, "Sori, Yan. Gue nggak bisa komentar dan gue nggak mau komentar juga. Lo udah jalanin pilihan hidup lo setelahnya. Apapun yang bikin lo sedih di belakang, sekarang tetep jadi past tense. Sedeket apapun itu, seberapa seringnya lo kenang itu di hari lo, kita nggak punya Doraemon dan mesin waktunya buat muter semua kembali. PAS to the RAH!"

Begitu gue tutup mulut, sempet kepikiran kok gue jadi ikut-ikutan sadis yah kasih respons. Kesannya nggak ngehargain banget segala kemellowan seorang manusia kocak. Belom lagi gue main pukul rata aja. Yah, masalah gue dan Ian mungkin hampir mirip, tapi belom tentu juga dia hadepin patah hatinya dengan cara yang preman model gue. Untungnya, Ian kembali bikin gue menghela nafas lega.

"I know you would say that, Ri. That's why I want to put all the cards in the table with you. Soalnya gue liat lo mental bandar ceki," seloroh Ian sambil nyengir. Sebuah cengiran kuda lumping yang bikin gue ikutan tersenyum simpul dan mengangkat bendera semapur (maklum ya, anak pramuka kalo denger simpul pasti ingetnya semapur hehehehe).

"Ya udah, Komandan. Malem ini kita udah cuap-cuap syubidubidu damdam. Lama-lama sampe gue hafal berapa menit sekali lo bakal kedip-kedip karena mata lo udah berat tuh! It's a wrap, then! Gimana?" gue menyudahi percakapan panjang abis liat jam tangan yang menunjukkan waktu menjelang Subuh.

"Oke, Nona Jenaka. Kita lanjutin jalan ke istana hahahihi lo ya, kayanya lo juga udah ancang-ancang mau meluk guling," celetuk Ian balik. Kita sama-sama ketawa liat muka kita yang udah menjerit, "I want you, dear Bantal!"

Detik dan menit berlari setelahnya. Setengah jam kemudian gue udah di atas kasur, bersiap menyambut kantuk. Sebuah ucapan selamat tinggal yang tadi dilontarkan Ian di pintu pagar kembali terngiang. "See you next happy day, Ri."

Yes, indeed. Hari ini emang super hepi. Termasuk saat kita berdua berbagi duka, mendorongnya untuk menjelma menjadi suka.

Entah kenapa, hari ini gue pun sedikit berubah pikiran. Cinta yang gue rasa bergeser sedikit dari porosnya. Sekarang gue cuma pengen berbagi tawa dengan Ian. Greeting our happy day together.

Biarlah nanti purnama yang bicara. Apakah kelinci boleh hinggap di sana dan membangun istananya? Atau biarkan dia menggali lubang di perut Paman Bumi?

Satu kelinci, dua kelinci, tiga kelinci, ..... Zzzzzzzz....



-sambunglagiesokhari-


 
~ (oleh @retro_neko)

0 comments em “Lope Lope Tragisto”

Post a Comment