"Bu.. Mas Nalen dimana ya?" tanyaku pada ibu mertuaku yang asyik dengan mesin jahitnya.
Yogyakarta pukul 15.16 wib
Aku baru saja terbangun dari tidur siangku. Hari yang sangat melelahkan, tadi pagi-pagi sekali aku sudah menemani ibu ke pasar lalu asyik di dapur sampai siang padahal semalam aku tidur dini hari. Alhasil sehabis dzuhur aku menyusul Nalen tidur lalu baru saja terbangun mendapati sisi separuh ranjangku kosong.
"Mas mu keluar ga tau kemana cuma ko sepertinya tadi habis terima telfon terus buru-buru pergi ya?! Atau paling janjian sama temen-temennya", jelas ibu panjang lebar.
"Oh iya mungkin ya bu.. Ah Mas Nalen kalau pulang ke Yogya kan memang hobby nya ngilang sendiri bu.. Keasyikan sama temen-temennya hehe..", kataku agak sedikit mengeluh karena memang seringkali di tinggal pergi suaminya.
"haha yo biar mumpung dia sempet pulang ke Yogya. Kamu mandi-mandi sana biar seger.", bela ibu.
"iya ini juga mau mandi Bu..",
Tak lama setelah mandi aku pamit pada ibu, "Keluar jalan-jalan sebentar bu cari angin hehe..", kira-kira tadi begitu pamitku.
Aku naik becak jalan-jalan menuju seputaran Yogya lalu berhenti di daerah Timoho. Kakiku lanjut berjalan menuju satu rumah bangunan kuno di ujung jalan. Rumah Ayahku. Rumah yang menyimpan sekeping luka. Aku berhenti di depan pagar, agak lama aku memandangi bangunan yang sama sekali tak berubah. Masa kecilku habis di sini, kisah tentang keluarga kecil yang bahagiapun habis berhenti di sini.
Ku edarkan pandanganku masuk ke halaman rumah, ku dapati rumput-rumput liar tumbuh menutupi jejak yang pernah tertapak di sana. Tiba-tiba pintu rumah terbuka, sosok yang tak asing bagiku. Ya, itu mbok Sayem yang merawatku dari kecil. Papi mempercayakan rumah ini pada mbok Sayem ketika akhirnya kita hijrah ke Jakarta. Mbok Sayem sebenarnya masih termasuk kerabat jauh dengan keluargaku, beliau seorang abdi dalem keraton Solo mengingat Papi memang asli keturunan ningrat.
"Mbak Nayaaa??", teriak mbok Sayem kaget sekaligus membuatku juga jadi kaget. Mbok langsung buru-buru membukakan pintu pagar untukku. Kami berpelukan cukup lama untuk melepas rindu. Tak ada yang begitu banyak berubah dari mbok Sayem, badannya masih tetap gemuk dan senyumnya masih saja hangat.
Sampai hampir magrib kami berbincang kesana kemari untuk saling bertukar kabar. Secangkir teh panas dan gethuk buatan mbok Sayem menemani perbincangan kami di ruang makan sore itu. Mbok Sayem membujukku untuk bermalam di rumah kami. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab karena jujur saja akj bahkan ingin menangis saat langkah demi langkah memasuki setiap ruangan yang bagiku terasa dingin.
Mbok Sayem mengajakku menunaikan ibadah sholat magrib. Usai sholat mbok Sayem bergegas menyiapkan kamar untukku dan makan malam alakadarnya sementara aku beranjak dari satu ruang ke ruang lainnya. Mengenang. Ya, yang ku kerjakan adalah mengenang. Sesuatu yang sangat sulit untuk ku lupakan.
Melupakan hari dimana terakhir ibuku tak berhenti menangis sambil menciumiku. Mengajakku ikut dengannya tapi kakiku tak mau bergegas mengikuti langkahnya.
Ku pandangi foto-foto kecilku dalam bingkai-bingkai yang terlihat tua. Ada gambar mereka di dalamnya, memelukku.
Aku masih ingat teriakan-teriakan pertengkaran mereka. Hanya saja ketika itu aku masih terlalu kecil untuk memahami keadaan mereka. Mami, yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini menurutku ketika itu. Mami pergi dengan laki-laki lain, itu saja yang ku tahu. Dan yang ku ingat sejak itu rumah terasa sepi, seperti kehilangab mataharinya rumahku berubah menjadi dingin. Papi seringkali ku dapati termenung melamun. Dia terpukul. Satu-satunya alasan untuk dia tetap bertahan hanyalah aku, itu yang seringkalj ia sampaikan.
Tanpa sadar air mataku menetes lalu berubah mengalir. Ku rebahkan tubuhku di kasur milik kedua orangtuaku. Di sini aku sering tertawa bersama mereka. Aku terus menangis. Aku merindukan mereka. Rindu seada-adanya. Sayang yang mamk tahu rasa benciku terhadapnya lebih besar dari rinduku, seandainya dia tahu bahwa dia salah.
"Hey sayang..", suara lembut yang tak asing bagiku. Kedua tangannya merengkuh wajahku, perlahan mengusap air mataku yang masih saja berunjuk rasa.
"hey sShh..", suami Nalen mencoba menenangkanku. Menuntunku pelan ke dalam pelukkannya. Nalen duduk di tepi kasur sedang aku masih saja berisik dengan suara tangisku yang mulai lirih.
"Tahu ga aku bingung nyariin kamu lho.. Sampai malem begini belum pulang. Aku di marahin ibu nay gara-gara sering main sendiri klo di yogya hehe..", oceh Nalen mencoba mencairkan suasana.
Aku baru sadar bahwa ini sudah larut. Entah berapa lama waktu yang ku habiskan untuk meratapi masa lalu. Nalen mengusap-usap punggungku agar aku berhenti menangis. Aku meneguk segelas air putih yang disodorkan Nalen. Aku masih diam sambil menatap Nalen yang tersenyum. Tangisku sudah berhenti tapi aku masih ingin kembali memeluknya. Memeluk suamiku di rumah ini seperti mengembalikan kehangatan rumahku yang telah lama hilang.
"Jangan sedih lagi yaa..", ucap Nalen mengecup kepalaku sambil memainkan ujung-ujung rambutku. "Kita mau di sini atau pulang sayang? Aku gpp lho kalau harus nemenin kamu nginep di sini. Lagian ini udah hampir jam sembilan malem.", tanya Nalen mengajakku berbincang.
"Aku mau pulang tapi nanti.", jawabku masih meletakkan kepalaku di dadanya.
"Okay.. Tapi kita makan dulu yuk.. Mbok Sayem udah nyiapin lho Nay masa ga di makan.", bujuk Nalen.
"gendong..", bisikku manja.
"hahaha dasar.. Ga mau ah berat.."
"yaudah aku ga mau makan.", ancamku cemberut.
"curaang mainnya anceman..", gerutu Nalen lalu menyiapkan punggungnya.
"hehehe..", aku terkekeh menang.
Malam itu kami kembali pulang tengah malam. Ada perasaan sedih yang berkecambuk di hatiku. Beruntung aku punya Nalen yang selalu bisa menghiburku.
"Besok jalan-jalan yuk..", bisik Nalen sebelum aku benar-benar terlelap.
"Asiik kita mau kemana?", tanyaku antusias.
"Tamasya kemana aja..", jawab Nalen membetulkan letak selimutku.
"Nay? Sayang? yee udah tidur dia hihi cepet banget molornya.. night sayang..", bisik Nalen mengakhiri malam.
-Naya-
~ (Oleh @ukakuiki)