Warung Bebas

Wednesday, 28 September 2011

Elegi Purnama #12

Tentu saja ini bukan kejatuhan Cupid. Kutegaskan sekali lagi pada hati, ini cuma butuh, butuh yang sesaat. Jika menyadari kesesaatannya dari awal, berarti aku harus menyiapkan ekstra hati. Barangkali saja hatiku terlanjur kuberikan setengah padanya. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sendirian. Entahlah, mengapa demikian perhitungan dengan cinta. Sakit bertubi-tubi mengajari matematika untuk urusan hati sekalipun.  
Aku masih duduk di depan layar 15 inch sampai larut. Bayangannya muncul di depanku serupa wallpaper yang bergerak-gerak memperlihatkan senyum. Akhirnya kuambill wudhu, melenakan diri dengan sujud panjang sembari banyak bertanya. Berharap mungkin jawabnya akan kutemukan esok hari dalam hati yang tiba-tiba. 
***
Kutunggu pesannya sepagi ini, kusapa lebih dulu tak juga terkirim. Menelepon sebentar, jawabnya sama. Sedang tidak aktif. Mungkin sudah sibuk sepagi ini. 
Satu jam, lima jam, sepanjang hari tak juga namanya muncul dengan rasa gulali. Punya hak apa aku menanyakannya terus, sibuk menerka-nerka dan mulai merasa cinta macam apa ini. Hatiku terbuka sendiri saat kukunci rapat-rapat. 
Seminggu berlalu, Rengga hilang tak berkabar! Ini mungkin jawaban atas doaku kemarin. Ia selalu memiliki jawaban sendiri atas doa bukan? Di kelas menulis pun ia tak datang. Pak Jandri cuma menggeleng pelan saat kutanya keberadaannya. Ia pergi, menyisakan tanya yang begitu besar dan cinta pelan-pelan yang tumbuh subur dalam sangkalan. 
"Runny, balas pesan ini sekarang. Kalau sudah selesai mengajar, kita ketemu di depan terminal Lebak bulus jam tujuh malam nanti. Rengga". Segera kuiyakan pesannya dan pamit pada tim konseling untuk keperluan mendadak, kupacu sedan yang kebetulan kubawa di kecepatan 100 km/jam. Persetan, Bogor-Jakarta bisa sejam kan? aku bicara sendirian di balik kemudi. 
Gelap belum genap saat kutemui dirinya di seberang lalu lalang terminal, tepat di samping bangunan pemadam kebakaran. Ia duduk menunggu di bangku kayu, di depan kios rokok yang tutup bercat biru. Senyumnya tersungging kembali di bibirnya setelah menanyakan kabarku. 
Rengga sedang bersusah hati, kulihat jelas di matanya yang meredup. Ia sangat introvert, takut bercerita dengan orang banyak. Sulit membuka mulutnya untuk sekedar bercerita latar belakangnya. Sedikit demi sedikit ia membuka keinginannya untuk membagi, setelah banyak berputar-putar dan aku cuma memandanginya bercerita tak tentu arah. Seperti di kelas konseling, bedanya di sini adalah kafe dan bukan ruangan. 
Ia cerdas. Anak tengah yang malang, terhimpit di antara kakak yang jenius dan adik yang penurut. Ia berada di antaranya dengan kepayahan, berupaya menuruti semua ingin orangtua yang tak sepaham mendidik anak. Rengga dituntut nomor satu untuk semua hal, mereka tak peduli dengan keadaan otak dan fisik. Ia tumbuh menjadi anak cerdas yang dipaksa keadaan, dengan orangtua yang sama sekali tak dapat diajak berdialog. Ibunya meninggal sehari setelah menjenguknya di Padang. Rasa bersalah yang terlalu membuatnya terpuruk. Selama lima tahun lebih ia tak pernah dijenguk saat studi mengharuskannya jauh dari orangtua, namun pergi meninggalkannya begitu saja setelah melihat anak tengahnya tak kunjung lulus dan pulang membawa oleh-oleh ijazah. Seolah ingin berpamitan sejenak sebelum menuju akhirat, ia sempat memeluk perempuan yang sangat dicintainya walau sangat kaku itu.Di tengah pelukan Rengga sempat menangis, entah untuk apa. Rupa-rupanya air mata yang tak sengaja tumpah adalah duka yang dini. Ia lebih tahu membahasakan kehilangan sebelum si pemilik mata melihat kenyataannya di kemudian hari. 
Terhimpit di antara hubungan persaudaraan, ia menjadi sangat nakal dalam diam. Sejak sekolah dasar mengenal rokok, pelan kemudian mengenal ganja, heroin, putauw, jarum suntik, alat hisap. Aku bergidik. Ini rupanya alasan mengapa semua menjadi sedemikian berantakan. 
Selama bertahun-tahun orangtuanya tak curiga sampai kemudian sebungkus ekstasi ditemukan dalam tasnya beberapa waktu lalu. Saat ia berhenti mengkonsumsi putauw dan cuma beralih ke pil warna-warni memabukkan itu. Ayahnya murka, membabi buta dengan amarah yang berada di puncak tanpa ada lagi sosok ibu yang menenangkan. Dengan berat hati, Rengga merelakan diri digiring ke BNN menjalani rehabilitasi. 
Sepeninggal perempuan satu-satunya di rumah, ia berubah menjadi gamang. Terlebih tak dekat dengan ayah, kakak dan juga adiknya. Terombang-ambing sendirian dan hidup bak robot ketika satu persatu keputusan dalam hidupnya diambil alih selain dirinya. Dimulai dengan pindah kuliah ke Jakarta, tak memiliki uang sama sekali dan mengharuskannya mencari tambahan menjadi guru bahasa Inggris di luar karena mereka semua mengganggap seusianya tak pantas lagi menerima uang jajan. 
Ah Tuhan, mengapa cinta kau jatuhkan pada sosok serumit ini yang menumbuhkan kasihan? Ia sangat manis, imbas dari kehilangan perempuan yang telah melahirkannya. Secara tersirat mengatakan ingin sekali memiliki pendamping yang membantunya keluar dari lingkaran membingungkan. 
" That's why I need you, Runny".
"Aku butuh kamu, sosok yang kuat. Aku janji akan mulai semuanya dari awal. Akan selesaikan kuliahku, cari kerjaan yang mapan trus nikahin kamu", tambahnya.
Aku menantapnya, berkedip sekali dan tetap mengatupkan bibir. 

 
~ (oleh @iedateddy)

0 comments em “Elegi Purnama #12”

Post a Comment