Aku tidak pernah menyangka pertemuan dengan Ares akan membuatku lupa dengan ulang tahun sendiri. Memalukan.
Sejak Sabtu dini hari, sudah banyak pesan yang masuk – entah itu lewat email, ponsel, atau social network. Aku jadi tidak bisa tidur dari pukul tiga pagi karena terlalu senang dan merasa bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk hidup.
Hujan di pagi hari tidak menyurutkan kebahagiaanku. Untuk selebrasi, aku memasak nasi goreng dengan sambal terasi sebagai 'hadiah' untuk diri sendiri. Lalu, menyeduh kopi Luwak dari paket yang dikirimkan Nerva dan Deo yang baru tiba beberapa menit yang lalu.
Ada pesan di atasnya;
Happy birthday, dear, Wish you always be the great.
From me and my hubby
(and perhaps your new niece soon =D)
Aku terkesiap, lalu memekik girang. NERVA!!!
"*Congrats, darl!!!*" seruku begitu kami terhubung lewat telepon. "Berapa bulan sekarang? *Wish I were there!*"
*"Kemarin baru cek, sekarang mau masuk delapan minggu, dear. I wish it would be a cute baby girl, tapi Deo maunya cowok. Tapi, ya, karena ini kehamilan pertama, we expect nothing but give a birth safely." Nerva tertawa di ujung sana. "*Kamu cepet pulang, ya? Bantu-bantu di pernikahan Helen, kan?*"
"Iya, itu sih jangan ditanya. Geez, I'll become a young aunt for twice!"
Aku resmi jadi bibi muda saat Mitha melahirkan anaknya empat tahun yang lalu.
Aku resmi jadi bibi muda saat Mitha melahirkan anaknya empat tahun yang lalu.
Nerva berdehem beberapa kali. "Dan, please, kamu harus bawa cowok sekarang.*"
"Shut. Up."
Selesai bergosip, aku mandi dan memutuskan untuk melakukan face treatment sendiri.
Ada lima roll rambut di kepala, sementara aku sedang berusaha untuk melepas masker bengkoang di wajah. Tentu saja, ini karena aku juga harus terlihat baik saat interview nanti!
Ada lima roll rambut di kepala, sementara aku sedang berusaha untuk melepas masker bengkoang di wajah. Tentu saja, ini karena aku juga harus terlihat baik saat interview nanti!
Ketika aku baru selesai membereskan baju-baju di lemari, seseorang mengetuk pintu. Alisku terangkat penasaran dan, tanpa melepas dulu roll di rambut, aku berlari ke arah pintu untuk membukakannya.
Aku terkesiap kaget. "Ad?"
"Hei, you, birthday girl!" Adrian, tanpa kusangka, berdiri di depan pintu dengan tas di samping kakinya dan gitar akustik di tangannya. "Sssh, tadinya aku mau kasih surprise tengah malam. Tapi, karena telat bangun, aku baru bisa datang sekarang. I have no idea what song that you like to hear on your birthday, so..."
Sebelum aku membuka mulut, jari-jarinya mulai lincah memainkan senar gitar.
Intronya agak asing, karena aslinya, lagu ini tidak dibawakan dalam format akustik. Aku semakin tercengang begitu Adrian menyanyikan bait pertamanya; ini Deer in the Headlights! Owl City!
Intronya agak asing, karena aslinya, lagu ini tidak dibawakan dalam format akustik. Aku semakin tercengang begitu Adrian menyanyikan bait pertamanya; ini Deer in the Headlights! Owl City!
Tatapannya tertuju padaku saat menyanyikan chorus-nya;
*Tell me again was it love at first sight?
*When I walked by and you caught my eyes
*Didn't you know love could shine this bright!
*Well, smile, because you're the deer in the headlights
Jujur, ini di luar ekspetasiku – terlebih lagi begitu tahu Adrian lihai memainkan gitar akustik. Selama ini, yang aku tahu dia jago bermain drum saja. Bahkan saking terpesonanya, aku hampir lupa kalau delapan tahun yang lalu, ada cowok yang berhasil menjungkirbalikan hatiku dengan menyanyikan sebuah lagu sambil bermain gitar. It seems like what Adrian's doing is he first!
Setelah chorus kedua, dia memutar gitarnya ke belakang, tapi terus bernyanyi sambil mengeluarkan sebuah kado dan tiramissu dengan lilin angka 23 di atasnya.
*It's suffocating to say,
*but the female mystique takes my breath away
*So, give me a smile or give me a sneer
*Cause, I'm trying to guess here...
Adrian menyalakan lilinnya dengan pematik api dan menyodorkan *tiramissu *itu padaku. "Make a wish, dear." Duh, jadi salah tingkah, deh!
Mataku terpejam sejenak, menggumakan sebuah permintaan dalam hati, lalu meniup lilinnya. Aku memegang tiramissu dan kadonya, sementara Adrian menyanyikan paruh terakhir lagunya;
*Tell me again was it love at first sight?
*When I walked by and you caught my eyes
*Didn't you know love could shine this bright!
*If life was a game you would never play nice
*If love was a boom you'd be blind in both eyes
*Put your sunglasses on cause you're the deer in the headlights
*You're the deer in the headlights!
Begitu lagu selesai dinyanyikan, kami bertatapan, lalu tergelak lepas. "Trims, that was the sweetest one," kataku kemudian dengan pipi memanas. "Wait, I'm a DEER?"
Adrian tersenyum geli. "No, you're a DEAR."
Aku kemudian mempersilakannya masuk. Adrian menaruh gitar akustiknya di samping meja dan mengekorku ke dapur. Memalukan sebenarnya, karena masih ada banyak barang yang berserakan di sudut ruangan.
"Damn, you, Choi!" Mataku terbelalak kaget begitu melihat isi kadonya – foto-foto. Maksudku, semua foto itu adalah fotoKU yang diambil oleh Adrian; entah yang sembunyi-sembunyi atau yang sepengetahuanku. Jumlahnya ada 23 – dari semenjak aku masuk kuliah sampai interview di CafĂ© Lalo. Di bawah tumpukan foto itu, ada cetakan terbaru dari buku Mitch Albom, Have a Little Faith. Adrian memintaku untuk membukanya.
Mulutku terbuka lebar – ada tanda tangan, maksudku TANDA TANGAN ASLI MITCH ALBOM, dengan, Happy birthday, Ms. Syirafani. Glad to know a bestseller author like you are inspired to write after reading my books. Need to meet up with you, soon. Mitch.
Aku menatap Adrian dengan mata berkaca-kaca.
"In case you didn't know, I met Mitch last summer for an interview. Awalnya, iseng nanya apa dia tahu tentang Athena's Diary dan, surprisingly, dia tahu. Dia juga baca novel kamu. Jadi, begitu aku minta untuk tanda tangan bukunya buat kamu, he was so pleased to do that," paparnya.
Mataku kembali menatap buku itu dan Adrian bergantian. Dia nampaknya tahu aku terlalu gembira untuk mengatakan sesuatu sampai sulit untuk mengucapkan terima kasih.
"Hug?" tawarnya dengan tangan terulur. Tanpa basa-basi, aku langsung menyambutnya. Semoga dia tidak terganggu dengan roll rambutku yang belum dilepas.
"Hei." Adrian kemudian melepaskan pelukannya. Agak ganjil begitu ekspresi wajahnya berubah menjadi keheranan. "Kamu... jadi ketemu Ares hari ini, ya?"
"Umh, iya." Tanganku buru-buru melepaskan *roll *itu dari rambut.
Tanpa kuduga, dia mengedikkan bahu. "Good luck then. But, if you need a help—"
"Nggak, Ad, aku nggak mau tergantung terus sama kamu," potongku cepat. "Aku nggak mau seolah-olah memperalat kamu."
"Memperalat?" Dia tersenyum sinis. "Ingat apa yang kita bicarakan di farewell party Tuan Ryjeka?"
Pipiku kontan memanas lagi begitu mengingat apa yang kami bicarakan di tepi Sungai Hocking. Adrian menyatakan perasaannya padaku, namun sampai saat ini, aku belum bisa membalasnya. Bahkan, aku ragu dia masih menyimpan perasaan itu karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
"Kemarin malam aku nonton Home Alone 2," Adrian memulai topik baru, lalu tertawa sejenak. "Ya, mungkin usia filmnya sama dengan kita, tapi aku selalu menyukai tokoh utamanya, Kevin. Dia punya kutipan-kutipan sederhana yang, ya, entah kenapa punya makna yang dalam."
Aku menatapnya penasaran. "Bagian mana?"
"Ingat bagian saat dia bertemu wanita tua yang menghabiskan hidupnya di atas loteng dengan kawanan merpati?" Kepalaku mengangguk, dia melanjutkan. "Kevin said, 'If you won't use your heart, who cares if it gets broken? If you just keep it for yourself, maybe it'll be like my Rollerblades. When you do decide to try it, it won't be any good. You should take a chance. Get nothing to lose.'"
"Ah, ya, ya, aku tahu," gumamku. "Terus?"
Matanya menerawang ke arah jendela. "Wanita tua itu mengingatkanku dengan diriku sendiri. I've been obsessive to chase my dreams. Aku tentunya bangga karena akhirnya bisa meraih impianku. Tapi, entah kenapa ada yang kurang... dan itu ada di sini."
Lalu, tangannya meraih pergelangan tanganku dan menempelkannya tepat di dada bagian kiri. Aku sempat gemetaran begitu merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Matanya menatapku dalam. "Kosong."
"Apanya... yang kosong?" tanyaku polos.
"Hatiku yang kosong," ujarnya dengan sorot mata yang berubah sendu. "Aku punya keluarga yang bahagia, pekerjaan dari hasil perjuangan sejak kecil, tapi, tidak ada seseorang yang bisa kutemui di *sini *untuk membagi semuanya. Aku takut, kalau hati ini tidak 'dipakai', akan membeku dan mengubahku jadi robot."
Saat itulah aku tahu, dugaanku salah.
"Maaf." Adrian melepaskan tanganku. "Once again, I remind you, Dita. Jangan ragu untuk berlari padaku. I'll always be there when you're alone."
Adrian...
***
~ (oleh @erlinberlin13)