Warung Bebas

Wednesday, 28 September 2011

Rekam Imaji #13

Dua wajah, dua pasang mata, dua rupa dalam satu akar berupa rindu.  Tak lagi terombang-ambing dalam
lajur waktu dan sekelumit aksara ambigu atau saling adu bias abstrak. Selisih temu oleh waktu, bukan maksud mempermainkan rindu, tapi waktu tengah meramu masa, menguji nyali hingga tiba temu.

Jogja, Februari

Pelangi memandangi sepanjang jalan sementara bapak pengayuh becak asyik bercerita tentang tiap sudut Jogja yang katanya menjadi saksi atas pertemuannya dengan sang istri, bagaimana mereka meramu rasa hingga akhirnya menghasilkan buah hati yang kini beranjak dewasa. Juga bagaimana kecintaannya dengan becak hingga ketika si anak memintanya diam beristirahat di rumah, ia tetap mengayuhkan pedal becak.
Sampai pada persimpangan jalan, si bapak menghentikan laju becak mengikuti semua kendaraan yang juga menghentikan laju lantaran lampu lalu lintas memerah. Cuaca memang panas kala itu, tapi Pelangi menyukainya, bahkan ia menyebut dirinya wanita musim panas. Tanpa atap becak ia membiarkan paas
matahari perlahan semakin menggelapkan kulitnya yang berwarna kuning, tapi kini sudah berubah menjadi kecoklatan.
Sebuah becak juga ikut berhenti disebelah Pelangi. Suara ramai bapak pengayuh becak saling sapa. Pelangi menoleh...lama terdiam sampai akhirnya di bibirnya terlukis senyum.

Bumi menyandarkan punggungnya, ia merapatkan topi ala Cowboy-nya juga membenahkan kaca mata hitamnya, menghalau terik matahari.
Kulitnya menjadi semakin legam selama ia singgah di Jogja. Sesekali ia menimpali celoteh bapak pengayuh becak mengenai sejarah nama-nama jalan di Jogja, sesekali juga terkekeh mendengar gurauan si bapak.
Becak kemudian berhenti ketika lampu lalu lintas berpindah ke merah, berhenti tepat di sebelah sebuah becak yang ditumpangi seorang perempuan.
Bumi sibuk menata hatinya ketika perempuan itu menoleh, kemudian mengukir senyum...
Keduanya saling tatap, bahkan ketika kedua becak yang mereka tumpangi melaju beda arah. Keduanya menikmati temu yang hanya sebatas senyum itu. Temu yang walau hanya beberapa menit mampu menyalakan percik rasa yang tengah mereka telusuri kebenarannya. Sampai ketika dua pasang mata sudah tidak
bisa lagi saling tatap, keduanya tertawa kecil, membuat sipu memerah di pipi. Bumi mengeluarkan kotak kayu dari dalam sakunya, membuka kotak kemudian memperhatikan dua pasang cincin kayu di dalamnya.
"Wah, mas...sampean mau melamar kekasih?" Tanya bapak pengayuh becak.
Bumi menoleh, "mungkin...saya menunggu waktu menciptakan temu."
"Walah mas....kalau menunggu waktu sih keburu disamber orang! Harusnya temu itu kita ciptakan sendiri!" Seru si bapak jujur.
Ucapan jujur dan polos dari seorang pria tua yang pastinya sudah paham betul tentang rasa, waktu, temu dan nyali. Ucapan yang sepertinya menyadarkannya, anak muda yang terlalu bergantung dengan banyak hal,
sampai-sampai untuk membuktikan nyali dan rasa saja harus bergantung dengan waktu dan temu.
"Mau mengikuti pepatah 'mengalir seperti air sungai?'"
Bumi hanya tersenyum malu, "mana kita tahu ke mana air sungai akan bermuara mas?"
Bumi terdiam, ia kembali memandang sepasang cincin kayu. 

Sudah ku bilang, aku adalah ratu yang menguncup di antara ilalang,
jelang senja yang menjadikanku kekasih...
kemudian ketika jingga memerah layang-layang singgah di antara bumi dan langit,
terombang-ambing semilir...
seperti rindu yang selalu ku pintal atas namamu...

Jajaran ilalang menari-nari lantaran tiupan semilir angin menyerukan nyanyian jelang senja. Jemari Pelangi menjelajah bersamanya, sambil sesekali ilalang merayu memintanya tinggal dan ikut menari bersama.
Di sudut lain Bumi tengah menikmati sisa letupan setelah pertemuan tak terduga barusan. Bibirnya terus mengukir senyum. Kakinya terus melangkah tanpa tahu tujuan. Padang ilalang...ini menjadi tempat di mana tiap sudut seperti mengingatkannya pada sosok Pelangi. Ah...saat ini saja ia serasa tengah mencumbu aroma manis dari tubuh Pelangi, sesekali mencumbui ingatan lalu.
Jarak yang begitu sempit di antara keduanya tapi tak seorangpun yang menuruti nafsu yang menggebu. Mencicipi tiap remah dalam temu yang hanya sesekali, tanpa kata ataupun aksara, hanya saling tatap mata. Rasa itu, biar bisa dinikmati keduanya saja. Temu itu nantinya akan membawa Bumi dan Pelangi kembali pada pilihan, menentukan apakah rasa akan terus membawa pada kebersamaan? Apa nantinya kebersamaan akan tetap diiringi rindu? Apa dengan bersama dengan rasa akan memupuk nyali di antara keduanya?
Bumi menarik napas panjang, langkahnya sedikit dipercepat.
Kemudian ia berdehem pelan, membuat sosok perempuan di sampingnya terkejut.
Kemudian keduanya saling tatap dan melempar senyum.
"Ketika waktu sudah mempersempit jarak, sekarang bagaimana caranya agar waktu menciptakan temu?"
Keduanya menyusuri ilalang, seolah temu tak tercipta dengan hamparan ilalang menguning sebagai jarak, ketika senja menciptakan masa. Di ujung sana, akan ada dua persimpangan...
"Bukan waktu, tapi kamu...".
"Lalu, kamu mau berapa banyak temu?"
"Bagaimana kalau tiap rindu? Tiap aksara yang mengakar pada namamu, tiap resah yang ku dendang untukmu, tiap jarak yang mengekori lajur waktumu, tiap detik yang ku sepuh dalam imaji atasmu?"
Bumi diam kemudian terkekeh, "bagaimana kalau kita pinang saja waktu?"
Kini giliran Pelangi yang tersipu. Semoga Bumi tidak menemukan wajah malunya, "boleh...siapkan saja nyalimu, maka akan ku matangkan rasaku".
"Baiklah, ku tunggu kamu di ruang rindu, bisakah kamu temukan aku?"
"Aku sedang ingin ditemukan...".
"Aku sudah hapal aromamu!"
"Benarkah?"
"Beraroma ilalang kala basah mengembun, ketika senja merona jingga...".
Mereka berada tanpa jarak, kalau saja ingin segera, mereka sudah menikmati temu yang diciptakan waktu. Keduanya saling berhadapan, kemudian sama-sama menatap jalan bercabang di hadapan mereka. Jalanmu atau jalanku? Begitu tanya keduanya melalui tatapan mata...Bagaimana bisa kita tahu rasa kita ingin temu atau tidak dalam jalan 'aku' dan 'kamu'?
Bagaimana kalau jalan 'kita' masing-masing, dan lihatlah apa akan ada 'aku' dan 'kamu' dalam 'kita'?
"Ikhlas...".

Terdengar suara bunda samar di telinga keduanya.
Pelangi bersiap melangkah ketika Bumi bersuara, "tunggu!"
"Ya?"
"Berjaga-jaga kalau...kamu tahulah," Bumi menatap Pelangi, "mencintaimu adalah sebuah rasa yang ku tanam ketika pertama kali mata bertemu mata, Februari...yang kemudian tanpa temu, tumbuh, dalam memori tentang kamu yang samar. Apa aku nyata Pelangi?"
"Senyata rindu, semenyakitkan temu yang hanya sebatas imaji."
Lambat laun sosok Pelangi hilang, tenggelam bersama lautan ilalang. Bumi merogoh saku celananya, sekali lagi memandangi kotak kayu. Apapun yang terjadi, ia harus berterima kasih pada sosok bunda. Digenggamnya erat kotak kayu, langkahnya mantap sudah.Menjajal nyali...toh, tanpa temu ia telah bertekad akan  menciptakan temu. Berdiam atau mundur tidak akan membawanya pada temu, juga tidak akan menguji
nyali.


Jogja, awal November
Bumi mempercepat langkahnya begitu melihat dua sosok yang dikenalnya tengah bermesraan, ya, itu yang ada di sudut matanya. BERMESRAAN. Keduanya terdiam begitu sosok Bumi mendekat. Bumi meletakkan
dengan agak kasar tas ransel besarnya di sebelah Langit, kemudian ia duduk di sebelah Pelangi yang tampak cuek dengan kehadirannya. Bagi Pelangi, selama beberapa bulan ia telah cukup terbiasa dengan perilaku Bumi yang grasak-grusuk, semaunya, datang tanpa diundang, tiba-tiba marah, tiba-tiba menjadi begitu
romantis. Begitulah...
Langit-pun apalagi. Mengenal sosok Bumi yang sudah seperti saudara tapi juga rivalnya. Jangan anggap ia telah melepas Pelangi sepenuhnya. "Pertemuan diam-diam...hebat lo Ngit!"
"Dari mana lo tau gwe bakal dateng ke Jogja?"
"Insting."
"Cih!" Langit kemudian terkekeh.

Pelangi hanya memperhatikan saja dua pria yang ada di dekatnya. Hubungan yang kalau dipikir agak aneh. Langit, sosok yang pernah hampir menjadi suaminya. Dan Bumi...sahabat Langit, sosok yang membuat Pelangi menumpahkan siksa rindu dalam Rekam Imaji, sosok pria yang juga telah melingkarkan cincin kayu di jari manisnya. Sebelumnya, Bumi adalah imaji dan Langit adalah nyata. Dua sosok hampir serupa tapi sesungguhnya sangat berbeda. Langit yang manis, sedangkan sosok Bumi kadang begitu menyebalkan. Hingga kini ia masih belum memahami betul sosok Bumi sebenarnya, ia hanya meyakini rasanya untuk Bumi.

"Apa sebaiknya kita menikah saja?"
Pelangi dan Langit memandang Bumi bersamaan dengan tatapan terkejut.
"Apa? Setidaknya pernikahan bisa membuat sahabatku ini berhenti memupuk rasanya untukmu."
Langit tertawa. "Selalu saja semaunya! Hahahaha...".
"Bagaimana kalau aku tidak ingin menikah?" Ujar Pelangi tiba-tiba, membuat wajah Bumi kemudian menjadi serius. "Maksudmu?"
"Aku tidak ingin dinikahi oleh pria yang datang dan pergi seenaknya saja. Tiba-tiba menghilang lalu pulang minta dicumbu...".
Langit semakin tergelak menyaksikan pemandangan di depannya. "Aku tidak ingin dinikahi oleh pria rumit yang lebih sering hidup di dunianya sendiri."
"Lalu dengan siapa kamu akan menikah?"
"Entahlah...mungkin aku harus menikahi pria bule itu?"
Pelangi melirik pria berambut kecoklatan dengan mata biru yang tajam, pria yang tengah memperhatikannya diam-diam.
"Tidak bisakah kamu tidak menarik perhatian banyak orang?"
Bumi mendaratkan bibirnya pada bibir Pelangi. Membiarkan berpasang mata menjadikan mereka tontonan kemesraan. Langit hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menikmati bir dingin dalam genggamannya.
Jelang senja...Pelangi, Langit dan Bumi...

Imaji adalah kamu yang ketika ku baringkan di sampingku malah asyik memainkan jarum jam...
Sederet angka dan jarum yang memekik seolah mengingatkan tidak pernah ada cukup waktu,
Maka ku dekap erat kamu agar tidak lagi menghilang ketika pagi,
Kalau perlu aku tidak
perlu memejam...
                                                                                                        Bumi untuk Pelangi


**
Untuk kamu bernama aksara Amezta. Aku mencumbuimu melalui
imaji, menjadikan rindu serasa dosa. Untuk tiap aksara yang ku retas dalam
setumpuk rindu, Rekam Imaji..untukmu...

Sedikit remah,
-End-
Imaji..untukmu...


~ (oleh @NadiaAgustina)

0 comments em “Rekam Imaji #13”

Post a Comment