"APA!? Dia menolakmu!?"
"Sssttt, Aans… Udah malem, jangan keras-keras…"
"Rumit sekali…" kata Aans mengecilkan volume suaranya, "Reaksinya ga biasa hanya karena ajakan nonton yang merupakan hal biasa. Tapi yah, sebagai sesama cowok, biasanya kita baik sama seorang cewek atau memperlakukan seorang cewek dengan special adalah karena kita nyaman dengannya… Nah, nyamannya ini bisa berarti nyaman sebagai seorang sahabat atau sebagai calon pacar."
"Apapun itu, A… Aans sudah membuat harga diriku jatuh di depan Wildan! Tau ga seberapa malunya aku kalo nanti ketemu Wildan lagi!?"
"Sssttt, Haps… Tengah malem loh ini… Jangan keras-keras…"
Aku terdiam menatap Aans dengan tatapan berkaca-kaca, "Wajah Wildan, A… Saat aku mengajaknya nonton… Aku merasa sudah merusak hubunganku dan dia walau kami hanya berteman…"
Aans terdiam, wajahnya terlihat bersalah, "Um… Kamu tau, Haps… Kalo dia menganggapmu sahabatnya, seharusnya dia ga salah tingkah saat kamu mengajaknya…" katanya mencoba menenangkanku dengan analisisnya, "Tapi, karena dia salah tingkah… Aa pikir dia menganggapmu lebih dari sekedar sahabat…"
Aku menatap Aans bingung, "Hah?"
"Yah… Aa pikir dia punya perasaan sama kamu… Suka sama kamu, Haps…"
"Kalo dia suka sama aku, kenapa dia nolak ajakan nonton aku?"
"Nah… Itu dia… Makanya tadi Aa bilang rumit sekali…"
Aku menaikkan alis kananku dan menatap Aans dengan tatapan membara. Atau menusuk. Yang mana saja boleh, asal Aans bisa merasakan dendamku.
Aans terlihat putus asa, "Hampura atuh, Haps… Aa pikir ngajak nonton itu bisa menjadi salah satu alat buat tau perasaan Wildan…"
Aku menggeleng, alis kananku masih naik.
"Terus Aa harus gimana, Haps? Biar kamu bukain pintu? Banyak nyamuk diluar nih…"
Aku diam dan terus menatap Aans dengan tatapan membara. Atau menusuk. Hanya saja kali ini aku mengangkat kunci yang sedari tadi kupegang di tangan kananku dan melambaikannya dibalik jendela rumah, agar Aans yang berada di luar jendela bisa melihat kunci yang daritadi dia inginkan setelah setengah jam sejak dia pulang. Ya, aku tidak membukakannya pintu sebagai tanda kemarahanku.
"Besok Aa traktir ya?"
"Aku patah hati, Aa!!"
"Sssttt… Cep cep cep… Iya iya… Aa traktir ya besok…" Aans menempelkan kedua tangannya di kaca jendela dan mukanya memelas, "Mau apa, Haps? Nonton? Makan? Baju?"
Sebenarnya aku tahu, bukan salah Aans sepenuhnya… Hanya saja, aku pikir aku memang butuh seseorang untuk disalahkan atas patah hati yang aku rasakan. Dan sialnya, Aans yang kena hanya karena dia menyarankan aku untuk mengajaknya jalan atau nonton di bioskop. Aku mulai menurunkan alis kananku, lalu menghela nafas panjang.
"Besok aku pulang kuliah jam tiga sore. Jemput di kampus. Aku mau nonton, mau makan, sama mau baju…" kataku sambil mulai memasukkan kunci ke lubang kunci pintu rumah. "Dan jangan lupa, Aa harus nyapu tiap pagi selama seminggu!"
"Yah, Haps… Masa semuanya Aa harus…"
Aku menatap Aans dengan tajam dibalik jendela, menahan gerakan memutar kunci di lubang kunci.
"Nonton sama makan aja ya, Haps? Nyapunya tiga hari aja ya? Ya? Ya? Ya?"
"Empat hari! Kalo ga, ga dibukain nih!"
Aans terlihat berpikir sejenak lalu akhirnya mengangguk, "Iya iyaa…"
Aku tersenyum lalu memutar kunci sehingga pintu rumah terbuka. Aans berjalan masuk dengan langkah lemas. Aku memeluk tangan kanan Aans, "Sayang deh sama Aans…" kataku mesra. "Besok jam tiga di kampus aku…"
"Rumit sekali…" Aans menghela nafas, "Tau gini tadi ga ikut maen biliar deh…"
Aku melepaskan pelukanku, tidak peduli dengan perkataan Aans, lalu menutup pintu dan menguncinya, "Met bobo, Aans…" kataku ngeloyor masuk ke kamarku.
***
~ (oleh @melillynda)