Warung Bebas

Friday, 23 September 2011

Delapan #8

Kenapa sekolah di Pekanbaru Mil? Dan kenapa milih Pekerti Luhur?
Terkirim: Milan
Kalau masalah kota atau tempat tinggal, ya karena papa saya mutasi ke kota ini. Kalau masalah sekolah, saya juga ngga tau kenapa milih Pekerti Luhur. Serius deh..
Terima: Milan
Itulah pesan favoritku. Karena ia pilih PKL lah, kami bisa bertemu. Ia sebenarnya anak pindahan.
***
Uforia yang selama ini aku rasakan sendiri, ternyata dirasakan juga olehnya, dan menjadi sangat jelas di hari itu. Sabtu, 1 November 2008.
Seperti biasa, aku dan Milan sms-an. Layaknya remaja masa puber, dia bertanya siapa lelaki yang menarik hatiku saat itu. Aku hanya menjawab, "Nanti Milan sendiri juga bakal tau". Ia tak menyerah, hingga sempat memberikan nama teman-teman lelakinya. Nama dia sendiri juga terselip disana. Pada akhirnya aku jujur, mengatakan bahwa aku tertarik padanya. Tertarik pada sifat dan kepribadiannya yang amat sederhana. Dan dimalam itu, ia katakan bahwa juga tertarik padaku. Kami jadian.
Energi 'jadian' itu cukup membubungkan semangat kesekolahku sampai maksimal. Aku jadi semangat belajar, tambah mencintai pelajaran Kimia yang sangat aku benci, jarang mendapat hukuman karena hatiku selalu berucap lirih, "Hei, malu kalau dilihat Milan kena hukum!", dan masih banyak hal-hal lain yang mengubahku. Dalam sekejap.
Meski ini yang orang lain katakan dengan cinta monyet, tapi aku merasa hariku penuh karena Milan. Karena pesan-pesan singkatnya yang membuat kesal sekaligus senyum-senyum sendiri, karena perhatiannya yang makin menjadi, dan karena tingkahnya yang aneh di sekolah. Dan aku atau dia, jika bertemu hanya menyapa. Jarang mengobrol. Itu juga salah satu yang aku suka dari Milan. Dia beda. Ketika (mungkin) teman-teman lelaki yang biasa kulihat disekolah apabila sedang melakukan ritual pacaran, mengajak pacar-pacar mereka ke kantin, lalu duduk berdua dan berpegangan tangan atau sekedar saling menyuapkan makanan kecil kantin. Jujur saja, aku geli melihatnya. Bukannya malah kenyang ketika di kantin, tapi malah ingin keluar semua isi perutku bila melihat yang seperti itu. Tapi Milan tidak. Seperti yang kukatakan tadi, ia sederhana. Dini yang tau tentang ini-pun ikut-ikutan 'backstreet' bersama kami.
***
Suatu hari diadakanlah PKL Expo. Acara ini adalah acara tahunan PKL yang mewadahi bakat dan minat siswa SMP se-kota. Sekolahku mengundang sekolah-sekolah lain untuk mengikuti banyak pertandingan. Dari yang akademik hingga non akademik. Maka ditunjuklah panitia yang mengurus acara tersebut. Aku, Dini dan Milan menjadi tiga dari seluruh anggota panitia.
Saat pertandingan sepak bola antar SMP berlangsung, Milan bertugas sebagai panitia kesehatan atau yang sering dikenal dengan anggota PMR. Padahal yang aku tau, hari itu ia sedang sakit. Badannya panas, seperti itu ia memberitahuku dalam pesan. Sudah ku sarankan untuk tak usah ikut mengontrol jalannya pertandingan, tapi berkeras. Milan duduk di salah satu sudut lapangan memakai scarf khusus PMR yang berwarna hijau. Dini dan aku (khususnya) memperhatikan Milan dari lantai dua bagian sekolah. Rambut acak-acakan, wajah setengah pucat dan scarf yang melingkar di lehernya membuat Milan tampak lebih tampan dari biasanya. Seakan ada kontak batin, saat itu juga Milan langsung berdiri, dan berjalan ke arah sisi aku berdiri. Ternyata dia melihatku. Rautnya seperti ingin menanyakan sesuatu. Diwaktu yang bersamaan, Dini masuk ke ruang kelas. Aku gugup sendirian.
"Nggi, ada minum?"
"APAH?"
"MINUM NGGI. AIR"
"Bentar ya.."
Aku masuk ke dalam kelas dan mencari apakah persediaan air minumku masih ada. Tapi seingatku memang sudah habis tadi. Teguk terakhir sebelum keluar kelas..
"Yah, abis.."
"Yaudah deh ngga apa apa"
"Mau dibeliin?"
"Ngga usah Nggi, saya beli sendiri aja"
Milan berlalu dengan meninggalkan sebuah senyuman terlebih dahulu. "Aaaaaaaaa!! Diniiiiiiiiiii", teriakku memenuhi koridor. Dini hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang sudah mirip korban kejiwaan. Itulah pertama kali Milan dan aku mengobrol, setelah berstatus 'pacaran'. Hari itu, 8 Januari 2009.



~ (oleh @captaindaa)

0 comments em “Delapan #8”

Post a Comment