“Baik” ucap Ricardo menyambut tangan Bayang.
Ada yang aneh kurasakan saat ini, entah kenapa aku takut, takut melihat raut wajah Ricardo yang tidak seperti biasanya.
“Sudah pulang, Nak? Loh, ini adalah?” ucap Ibuku yang baru saja keluar dari arah kamarnya.
“Ini Bayang, bu. Teman Sinar” ucapku memperkenalkan Bayang ke Ibu.
“Selamat sore, Tante...?” Bayang mengulurkan tangannya.
“Tante Ida” ucap Ibuku menyambut tangan Bayang.
“..Saya Bayang, tante Ida. Teman Sinar. Maaf, baru bisa mampir hari ini, sebelumnya hanya sering mengantar sampai depan pintu saja” lanjut Bayang.
“Silahkan duduk, nak Bayang” Ibuku mengajak Bayang untuk duduk, aku tersenyum melihat Ibuku begitu ramah dengan Bayang.
Namun tidak saat aku melihat Ricardo, dia malah masuk ke ruang makan tanpa berpamitan. Menyebalkan.
“Terima kasih, Tante. Saya pamit dulu, masih ada yang harus dikerjakan. Lain kali saya pasti mampir lagi” Bayang menolak ajakan Ibuku, aku sedkit kecewa.
“Loh, kok buru-buru amat, minum dulu aja” ucap Ibuku lagi.
“Iya, duduk aja dulu, minum. Kenapa? Karena rumah gue kecil?” ucapku dengan nada ketus.
Bayang langsung menatapku dari tempat dia berdiri, tersenyum kepadaku lalu berjalan mendekati sofa hitam tua yang berada di ruang tamu kami, dia duduk.
“Baik jika itu mau tante Ida” dia tersenyum ke arah Ibuku, dan ibuku memberikan tatapan ‘isyarat’-ayo-Sinar-siapkan-minum-untuk-temanmu-ini. Akupun pergi ke dapur membuatkan minum untuk Bayang. Ricardo menghampiriku.
“Ini Bayang siapa lagi?” nada bicaranya kurang ramah.
“Temen, kan udah gue kenalin sebelumnya” jawabku.
“Cuma temen?” lanjutnya lagi.
“Iya” jawabku singkat sambil mengaduk sirup markisa yang baru saja kutuangkan ke dalam gelas bersama es batu dan air dingin.
“Cuma temen cowok pertama yang lo kenalin ke nyokap lo? Yayayaya..” diapun meninggalkan dapur dan terdengar sepertinya dia berpamitan dengan Ibu untuk pulang.
“Hhhhh..dasar aneh” ucapku mengomentari tingkah Ricardo sore itu.
Kami berbincang mengenai hal ringan, Ibuku pandai soal ini, dia mengorek banyak hal tentang Bayang yang aku saja baru mendengarnya saat ini. Mulai dari sekolahnya, kuliahnya, orang tuanya, hobinya, makanan kesukaannya dan banyak banget deh. Tidak sadar sudah jam 9 malam, percakapan tadi sungguh tidak terasa, Bayang yang ramah membuat Ibuku terlihat nyaman mengobrol dengannya.
Ibu berpamitan untuk tidur dan tinggal kami berdua di ruang tamu, aku mengajak Bayang untuk pindah tempat mengobrol di teras rumahku, agar aku bisa merokok. Ah, iya, satu hal dari Bayang yang beda dari Elang, Radit atau Ricardo, dia tidak merokok, hidupnya sangat sehat.
Saat aku ingin menyalakan rokok, Bayang mengambil rokok yang sudah di bibirku, dia membuang rokokku dan mencium bibirku dengan lembut, hangat sekali. Aku menutup kedua mataku, tidak memperdulikan di dalam rumah ada Ibuku yang bisa saja keluar tiba-tiba dan mendapati kami sedang berciuman. Setelah mencium bibirku Bayang mengecup kelopak mata kananku. Aku membuka kedua mataku dan tersenyum menatapnya.
“Aku pulang ya.. sudah malam. Kamu juga istirahat. Jangan ngerokok lagi, biar sehat” dia mengambil sebungkus rokok dari tangan kiriku dan dimasukkan ke dalam saku celananya.
“Iya, kamu hati-hati ya..” ucapku dengan penuh senyum.
Bayang tersenyum berbalik memberikan punggungnya, keluar pagar rumahku dan tidak lama setelah itu terdengar bunyi mesin mobil menyala. Aku tersenyum dengan sangat lepas merasakan hangat yang tidak jua pergi dari dalam dada tiap kali Bayang menatapku. Aku masuk ke kamar, mejatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur dan membayangkan wajah Bayang.
Aku tidak henti-hentinya tersenyum, menutup wajahku dengan bantal karena malu sendiri.
Jakarta, 5 Juli 2011
Pagi ini aku terbangun dengan penuh senyum, tadi malam aku memimpikan Bayang.
“Uweeek” lagi-lagi mual ini, ah aku masih saja lupa membeli test pack untuk menyudahi segala prasangkaku atas apa yang aku takuti. Hari ini aku harus membelinya, harus ku pastikan bahwa ketakutanku selama ini salah.
--
Aku memutuskan untuk mampir ke tempat Bayang sebelum berangkat ke kampus, masih jam setengah tujuh pagi, dengan taxi tiga puluh menit saja aku pasti sampai ke apartementnya. Aku ingin melihatnya pagi ini, semua hal yang dimiliki Bayang membuatku rindu.
Dengan semangat aku menuruni taxi yang telah mengantarku dengan cepat sampai ke tempat di mana Bayang tinggal. Lift berhenti di lantai 22, aku tersenyum, tidak sabar ingin bertemu dengan Bayang lagi.
Aku ingin memberi kejutan untuk Bayang, ku ambil kunci duplikat apartementnya yang dia pernah berikan, kubuka perlahan pintu, menutupnya dengan perlahan lagi. Berjalan dengan pelan menuju kamarnya yang masih dalam keadaan tertutup. Ku buka dengan perlahan pintu kamarnya, kunci yang kupegang sontak terjatuh. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
Bayang tertidur pulas dipeluk seorang pria. Pria yang waktu itu aku lihat memakai mobilnya di parkiran mall. Tetiba pria itu membuka matanya, dan melepas pelukannya dari Bayang.
“Heh! siapa kamu?” ucapnya membangunkan Bayang yang tadi tertidur lelap di sampingnya.
Aku tidak menjawab pertanyaan pria itu, membalikkan badan dan berlari menuju pintu keluar apartement ini.
“Sinar.. Sinar.. tunggu Sinar” terdengar suara Bayang dari dalam kamarnya, dia mengejarku. Namun aku keburu masuk lift dengan kondisi hati yang kacau balau, Bayang berhenti mengejarku sepertinya, dia hanya mengenakan celana pendek dan telanjang dada, tidak mungkin dia mengejarku lebih jauh.
Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja aku lihat, aku ingat pria itu, dia pria yang memakai parfum beraroma sama dengan Bayang yang kutemui di toko buku. Siapa dia? Kenapa mereka tidur dengan telanjang dada dan saling berpelukan seperti sepasang kekasih seperti itu? Bayang? Gak.. ini gak mungkin.. Bayang terlalu sempurna..
Aku keluar apartement tempat Bayang tinggal, aku ke kampus dengan perasaan acak-acakan. Memikirkan Bayang dan pria itu.
--
Kuliah hari ini baru mulai jam 10, aku harus menungguuu satu jam lagi. Ricardo tidak kelihatan di kampus, seharusnya dia juga ada kelas jam segini. Kuhelakan nafas panjang dan memutuskan untuk duduk di kantin sendirian.
Sepi sekali kampus sepagi ini, aku tidak mengenali siapapun yang ada di kantin. Aku memang benar-benar tidak gaul. Sepertinya mereka semua seniorku, dan sepertinya mereka sedari tadi memandangku dengan tatapan aneh. Hmmm, ah biarlah.
Aku hanya memesan secangkir kopi dan merokok sampai kelasku mulai, sambil mengobrol dengan Elang untuk mengalihkan perhatianku dari kejadian tadi di apartemen Bayang yang membuatku kaget dan masih bertanya-tanya.
--
Kelasku dimulai, aku masuk, di dalam sudah ada Ricardo, aku memilih untuk duduk di sampingnya.
“Yeeee... udah sampe gak bilang-bilang. Tau gitukan gue tadi gak sendirian di kantin” ucapku ke Ricardo dengan sedikit kesal.
“Hmmm” ucapnya.
“Udah makan, Do?” tanyaku.
“Hmmm” jawabnya lagi.
“Kenapa sih? Gue buat salah lagi?” aku bertanya kepadanya, kali ini dengan nada sedikit lebih serius.
“Kalau gue tanya bisa jawabnya serius dan gak pake ditutup-tutupin?” ucap Ricardo.
“Apa sih ini? Kok serius banget?” tanyaku.
“Oke, gue gak tanya-tanya” nada bicara Ricardo kali ini sepertinya serius. Aku terdiam sebentar dan menghelakan nafas panjang.
“Mau nanya apa?” ucapku menurunkan nada suara.
“Ada apa lo sama Bayang?” pertanyaan Ricardo membuatku terdiam dan berfikir, iya..ada apa sebenarnya antara aku dan Bayang, sepertinya diantara kami tidak pernah tercetus kalimat sayang, suka apalagi cinta. Kenapa aku harus bersedih dan marah seperti ini saat melihat Bayang dan pria tadi?
“Jawab, Nar..” Ricardo membuyarkan diamku.
“Gak ada apa-apa. Benar, gue dan Bayang tidak pernah ada apa-apa” jawabku ke Ricardo.
“Bener?” dia bertanya lagi kepadaku, aku hanya mengganggukkan kepala dan tersenyum, diapun ikut tersenyum.
“Jadi gini, Nar.. gue belom ngerjain tugas.......” ah, Ricardo kembali lagi menunjukkan raut wajah dengan nada suara seperti Ricardo yang biasa aku kenal. Aku tersenyum mendengarkan cerita dia sampai kelas dimulai.
--
Selesai kuliah, aku memisahkan diri dari Ricardo, aku harus membeli test pack, dan Ricardo tidak boleh tau. Aku keluar kampus dan di situ Bayang berdiri sambil memperhatikan hpnya. Aku berjalan melewatinya, dia terlalu sibuk dengan hpnya hingga tidak melihatku melewatinya, namun tidak sampai tiga meter aku melewatinya, dia memanggilku.
“Sinar” dia berjalan menghampiriku, terdengar suara langkahnya yang sedikit berlari. Aku mengacuhkannya. Dia berhasil mengejar langkahku, menghentikanya dengan menggengam tangan kiriku. Dia menatapku dengan raut wajah cemas tanpa senyum. Aku diam, tidak beraksi apa-apa.
Dia menarik tanganku menuju mobilnya yang diparkir tidak terlalu jauh dari pintu keluar kampusku. Dia membukakan pintu mobil untuku, aku memandangnya, “masuk” ucapnya pelan. Aku masih tidak mengeluarkan sepatah katapun. Namun menuruti permintaannya untuk masuk ke dalam mobil.
Dia menutup pintu mobil dan berputar untuk masuk ke dalam mobil juga, dia menyalakan mesin. Di sepanjang jalan kami sama-sama diam, dia tidak sekalipun melihatku, aku sesekali melihat raut wajahnya, dia terlihat cemas dan tegang. Dia tidak seperti Bayang yang kemarin.
--
Akhirnya dia memberhentikan mobil di parkiran depan taman tempat dulu dia pernah menjemputku tengah malam. Dia tidak keluar mobil, dan tidak pula menunjukkan akan keluar mobil. Sudah dua puluh menit kami saling diam dan tidak saling menatap. Aku memutuskan untuk membuka suara duluan.
“Siapa dia?” ucapku.
Bayang menatapku, kali ini tidak ada senyuman seperti biasanya.
“Dia mantan pacarku” akhirnya dia mengeluarkan suara, kalimat pertama yang dia ucapkan sangat membuatku dadaku sesak tidak karuan. ‘mantan pacar?’ pria tadi mantan pacar Bayang. Aku diam dengan tatapan mata sangat dalam ke matanya.
Dia menganggukkan kepala.
“Iya, aku gay. Dulu.. sebelum aku ketemu kamu Sinar..” ucapnya lagi.
Aku masih diam, seluruh bulu kudukku berdiri, semacam angin merasuki pori-pori kulitku sampai menembus jantung. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bayang gay?
“Sinar, kamu perempuan pertama yang bikin aku jatuh cinta. Dan sekarang aku benar-benar bingung. Bingung dengan orientasi sexualku sendiri. Tapi satu yang aku yakin saat ini, aku gak mau kehilangan kamu, Sinar. Aku mencintai kamu” dia memegang tanganku, berusaha meyakiniku yang mematung tidak tau harus berkata apa.
Aku masih diam, tidak mengeluarkan sepatah katapun, aku melepaskan genggaman tangannya, membuka pintu mobil, dan memutuskan untuk keluar. Bayang memanggil namaku, aku terus berjalan mejauhinya. Dengan pikiran kosong kutelusuri jalanan, dia tidak mengejarku.
--
Aku berhenti disebuah apotik, membeli alat pengetes kehamilan, lalu menaiki sebuah bus menuju rumahku. Di sepanjang perjalanan aku diam, air mata menetes dengan sendiri dari kedua mataku, aku tetap tidak mengeluarkan sepatah katapun.
Aku sampai di dekat komplek rumahku, menghelakan nafas panjang, memutuskan untuk ke rumah Ricardo dulu, masih sore, dia pasti ada di rumahnya.
--
Di depan rumahnya terdengar suara dentingan piano yang terledak di ruang keluarga Ricardo, aku mengucapkan salam, tidak ada yang menjawab, aku melihat ternyata Ricardo sedang memainkan piano tersebut. Musik dari lagu Damien Rice Unplayed Piano.
Dia tersenyum melihatku memasuki rumahnya, melanjutkan permainan pianonya. Aku duduk di sampingnya, mengeluarkan suara, bernyanyi lirih mengikuti iringan piano yang dia mainkan. Lagu ini dinyanyikan oleh dua orang, perempuan dan lelaki, aku mengisi suara perempuan dan Ricardo mengisi suara lelakinya.
“Come and see me, sing me to sleep . Come and free me , or hold me if i need to weep, or maybe it's not the season, or maybe it's not the year, or maybe there's no good reason, why i'm locked up inside, just cause they wanna hide me. The moon goes bright , the darker they make my night. Unplayed pianos, are often by a window. In a room where nobody loved goes, she sits alone with her silent song. Somebody bring her home..”
-Damien Rice Unplayed Piano-
Sampai pada bait terakhir, aku melihat wajahnya dan tersenyum, dia tetap menyelesaikan musiknya sampai dentingan terakhir. Lalu membalas senyumku saat lagu tersebut selesai dimainkan dengan baik dengannya.
Ricardo bisa memainkan hampir semua alat musik, di sela-sela waktunya dia juga menerima les privat piano untuk anak-anak kenalananya yang tinggal masih di daerah komplek ini.
--
Kami pindah tempat mengobrol, sekarang kami di kamarnya, aku meletakkan tasku di atas tempat tidurnya, menyalakan rokok dan duduk di depan teras kamarnya. Dia mengambil buku not balok, lalu ikut duduk di sampingku.
“Gile bener, masa murid gue ada yang minta diajarin lagu Unplayed Piano yang tadi tuh, lagu menye-menye mana gue tau, seharian gue ngulik biar pas moodnya, akhirnya dapet juga” ucap Ricardo yang kubalas dengan senyum.
“Do, liat langit senjanya deh, merah banget ya, cantik” ucapku sambil menunjuk ke arah langit yang sore ini terlihat sangat indah.
“Langit sore kan emang cakep mulu, Nar. Eiya, udah lama yak kita gak poto-potoin langit sore Jakarta. Terakhir kalau gak salah sebelum lo sibuk pacaran sama si Elang” dia menimpali ucapanku.
Aku kembeli tersenyum, menutup kedua mataku dan merasakan hembusan angin yang menyentuh wajahku dengan damai.
“Gue balikan, Nar sama Alyssa. Dia kemarenkan datengin gue ke kampus, dia mohon-mohon sampe nangis, mana tega gue liat cewek nangis, ya udah, coba lagi dah” Ricardo memulai curhatannya. Aku mendengarkannya dengan sesekali memberikan pendapat.
--
Langit sudah mulai gelap, nyamuk mulai berdatangan, aku dan dia masuk ke dalam kamarnya. Aku mengambil hpku yang ada di dalam tas, lalu melihat test pack yang tadi sempat aku beli. Aku mengambilnya dan meminjam kamar mandi yang berada di dalam kamar Ricardo.
Di dalam kamar mandi jantungku berdetak dengan sangat cepat, bagaimana jika hasilnya positif? Bagaimana jika ini adalah anak Bayang. Bayang yang baru saja memberikan pengakuan bahwa dia adalah seorang Gay.
Aku menampung air seniku di sebuah wadah yang sudah tersedia di dalam tes pack tersebut, mencelupkan alat pengetes kehamilan itu dengan perlahan. Ku angkat kembali setelah beberapa detik aku celupkan, ku tunggu selama dua menit seperti yang tertera di kemasannya. Satu garis muncul, jantungku masih sangat kencang berdetak, lalu.. garis kedua muncul. Jantungku seolah berhenti.
“ini gak mungkin, ini gak mungkin, ini gak bisa, ini gak boleh terjadi..” Sambil terisak kugenggam benda kecil berstrip dua di tangan kananku.
“GAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK............!!” ku lempar benda itu ke salah satu sisi tembok kamar mandi berwarna hijau muda milik sahabatku.
“Nar.. Naaar.. kenapa lo? Nar..” suara Ricardo, teman baik ku mengetuk pintu kamar mandi karena mendengar teriakkan ku.
“Gak apa-apa, Do. Gue gak kenapa-kenapa..” jawabku.
“Heh, lo kenapa dah, ngapain di kamar mandi lama bener, sembelit lagi?” tanyanya.
“Kecoa, Do. Jorok banget sih lo, kecoa sampe banyak gini di kamar mandi” jawabku sambil memflush toilet duduk berwarna putih, dan ku ambil kembali benda yang baru saja ku lempar, ku cuci wajahku, membersikan maskara yang luntur dan menyimpan benda tadi di dalam dompetku.
“Mane kecoa, biar laki gini, sori demori ye kalau sampe kamar mandi gue kotor, kaya baru kenal gue aje lo. Beneran lo kaga kenapa-kenapa? Susah buang air lagi ya?” kalimat pertama Ricardo saat melihat ku keluar dari kamar mandinya.
“Makanya, sayur tuh dimakan, makannya McD mulu sih lu, seretkan pencernaan lo” lanjutnya sambil mengambil gitar yang berada di sisi lemari.
“Do, kalau gue buat masalah...la..gi..lo bakal ninggalin gue gak? Tanyaku spontan, tanpa memikirkan bagaimana reaksi dia.
“Sinar.....” jawabnya sambil tersenyum dan menghentikan permainan gitarnya.
“....kapan sih gue ninggalin lo?” lanjutnya.
Aku menghelakan nafas, “Tapi kali ini kayanya gue bakal bikin lo juga kecewa, Do” ucapku.
“Emang lo ngapain sih, Nar?”
Tetiba terdengar intro musik lagu Perfect dari Smashing Pumkins, ringtone khusus buat telepon masuk dari Alyssa.
“Bentar, Nar. Cewek gue telepon”
“Hallo Beib... ini lagi di rumah, ada Sinar, biasa..” ucapnya di telepon.
--
“Do, gue balik, udah malem” ucapku sambil mengambil tas merah yang tergeletak di atas kasur.
“..eh, bentar Beib.. Nar, jangan lupa makan sayur, besok gue jemput lo jam 9 ke kampus..” Ricardo mengejar ku sampai pintu kamarnya.
Aku turun, pamit ke Tena adik Ricardo yang sedang asik menonton dvd di ruang keluarga. Keluar rumahnya, menghela nafas panjang lalu berjalan kaki menuju rumahku yang hanya berjarak 2 kilo meter dari rumah Ricardo.
Malam ini tidak ada bintang yang terlihat, bulanpun sepertinya tertutup awan, hanya ada aku dan bayangan yang sedikit redup. Sambil tersenyum aku berkata pelan “Oke, kalau ada Sinar aja lo, muncul, kemana lo pas gelap?” pertanyaan bodoh yang kuucap ke bayangan diriku sendiri.
--
Aku berjalan hingga akhirnya sampai ke rumahku.
“Assalamualaikum, Bu. Tadi ke rumah Ricardo dulu, maaf gak ngabarin” salamku ke Ibu.
“Wa’alaikumsalam.. sudah makan kamu? Tadi Ricardo telepon Ibu, katanya pencernaan kamu mulai gak beres lagi?” tanya Ibu.
“Nggak kok, kaya gak tau dia aja, sok tau” jawabku.
“Bu, aku mau mandi trus langsung tidur, pintu pager udah aku kunci. Ibu jangan lama-lama nonton tv-nya, tidur, besokkan kerja. Aku ke kamar ya, Bu”
“Eh, makan dulu kamu, badan udah kurus gitu” sahut ibuku melihat aku mulai berjalan ke kamar.
“Sengaja bu, lagi diet” jawabku singkat beberapa detik sebelum menutup pintu kamar.
“Hhhhh..anak jaman sekarang itu maunya sekurus apa sih? Kayaknya jaman dulu makin berisi itu makin sexy deh” terdengar ucapan ibuku pelan dari dalam kamar.
Selesai mandi, ku keringkan rambut ikalku yang sudah hampir menyentuh pinggang, lalu ku ambil pulpen dan buku kecil berwarna merah bertuliskan “Hope” di depannya. Ku rebahkan sejenak badanku di tempat tidur sekitar 5 menit pikiranku kosong, menatap langit-langit kamar dengan hampa. Kemudian kuatur posisi tidurku senyaman mungkin untuk bisa membuat badanku santai, namun tetap bisa menulis.
Kubuka buku kecil itu, di halaman pertama seperti biasa ada fotoku, Ibu dan almarhum Ayah, dan seketika itu pula air mataku mengalir. Kubuka hingga ku temukan halaman yang belum terisi, mulai kucoretkan dua kata dengan huruf kapital “AKU HAMIL”. Tanganku masih bergetar setelah selesai menuliskan dua kata tersebut, kulanjutkan menulis sambil sesekali menghapus air mata yang tak jua mau berhenti membasahi kedua pipiku.
“AKU HAMIL
Apa lagi yang menungguku di cerita kali ini, Tuhan?
Seorang bayi? Apa yang harus ku katakan ke Ibu? Apa Ayah sudah tau masalah ini? Apa sekarang dia sedang menangis melihat putri satu-satunya seperti ini?
Ini gak boleh terjadi, aku gak boleh hamil. Ya, aku tidak boleh hamil.”
--
Ku tutup buku merah tersebut, ku ambil hpku, menjawab beberapa pesan yang masuk sedari sore tadi, salah satunya dari Elang.
“Kamu sudah di rumah? How’s your day today, darl?”
“Hay, where are you?”
“Hellooo..”
“Sayaaaaaang..”
Baru saja ku baca BBM dari Elang, dan ku balas:
“Aku hamil.” Jawabku
“Are you joking? But, we never had sex. Kenapa bisa begini?” Elang membalas BBM-ku, butuh 10 menit untuk aku membalas pertanyaan tersebut.
Bersambung....
Oleh: @ekaotto