"Eh, maaf. Gue gak maksud apa-apa, Vin." Helmy merasa tidak enak dengan ceritanya kepadaku.
"Nggak apa-apa, kok," aku tersenyum, lalu menyentuh pundaknya, "yang sabar, ya. Om kamu sudah tenang di sana. Kirim doa terus."
Ada ketakutan yang kembali merambahi diriku. Dokter Riana pun sempat mengatakannya padaku, kemungkinan untuk kambuh lagi begitu tinggi. Ditambah lagi beberapa bulan setelah kemoterapi itu aku batuk terus menerus, walau memang ini biasa. Namun, aku berusaha tidak menggubris kata-kata dokter Riana. Aku ingin merasa benar-benar sembuh, seakan kanker itu tak pernah ada dalam tubuhku.
***
Aku diam seribu bahasa ketika mama memanggilku dari bawah. Aku harap mama mengira aku masih tidur, atau sedang berkecimpung dengan gemuruh air di kamar mandi. Entah, seakan pita suaraku diikat kuat-kuat sampai tak kuasa bergetar.
Aku buru-buru mengikuti sarapan bersama. Ada mama yang sedang menikmati nasi goreng buatannya sendiri, dan Reno yang masih berkutat dengan buku sekolahnya; mungkin tugas sekolah.
"Vin, baru bangun, ya? Dari tadi dipanggilin ngga nyaut."
Aku hanya mampu tersenyum. Sebenarnya, aku tak ingin sarapan, apalagi dengan menu nasi goreng. Kau tau? Saat-saat sedang sesak seperti ini, aku tak sanggup menelan makanan meski kukunyah selumat apapun. Makanan terasa bertengger di dadaku, seakan tak ingin jatuh ke lambungku. Namun, jika aku memutuskan untuk menghindari sarapan pagi ini, mama pasti akan curiga. Dan aku pun, ingin menepis semua ketakutan dalam dadaku. Aku yakin ini hanya faktor cuaca pagi yang beku.
"Vin, kamu sakit? Kok pucet gitu?"
Aku menggeleng perlahan.
Mama menaikkan kedua bahunya.
"Kakak, ini maksudnya apa, sih?" Reno menunjuk salah satu nomor di buku sekolahnya, matanya masih terpaku dan mengerut kebingungan.
Aku tak paham apa yang harus kulakukan. Aku tak dapat berkata sepatah kata pun, bagaimana aku dapat menjelaskannya?
"Vin, jawab tuh." Mama seakan mengerti.
Aku membisik di telinga mama, dengan sekuatnya aku berusaha mengucap sepatah duapatah kata, "Vina sesak." Entah itu cukup ditangkap, atau tidak. Tapi mama mengerti, aku yakin.
"Kita ke dokter Riana sekarang."
Aku menurut. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.
***
"Revina Karina..." Aku masih hafal suara suster itu.
Kami masuk.
"Hallo, sayang... Gimana keadaan kamu?" Kami bersalaman hangat.
"Ini, dok. Vina mengeluh sesak nafas, dari beberapa waktu yang lalu juga dia batuk-batuk terus."
Dokter Riana mengerutkan dahi, "kita periksa, ya."
Aku menjalani pemeriksaan seperti yang lalu. Aku mulai merasa tak nyaman. Tapi aku harus yakin, bahwa aku tak apa-apa.
Aku baik-baik saja!
Meski tubuhku seakan tak mengizinkan mengkonfirmasi hatiku.
Tuhan, berikan yang terbaik untukku.
~ (oleh @LandinaAmsayna)
Tuesday, 20 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)