Warung Bebas

Sunday, 25 September 2011

Lebih Baik Menepi

Aku bertemu lagi dengan Rico di Senayan. Dia sedang berolah raga sore. Lagi-lagi sendirian. "Rico!" panggilku dari tempat parkir mobilku. Dia melambaikan tangannya dan memintaku mendekatinya.

Aku menghampirinya dan memeluknya erat. "Ih, mau aja deh kamu meluk aku yang keringetan gini?" ledek Rico.
"Lah, aku juga baru selesai lari tiga putaran kok," jawabku rada sewot.
"Ahahaha, iya deh! Mau diet? Udah kurus gitu!" Rico mendelik.
"Jelek deh!" aku melempar handuk kecilku tepat ke wajahnya.
"Udah ah! Laper. Makan yuk? Tapi jangan bilang di Plasenta atau di Sensi atau di fX deh. Ngemper aja yuk? di Blok M?"
"Yuk deh! Kamu naik apa tadi ke sini?"
"Dianterin adikku. Kebetulan ada kamu, jadi aku bisa nebeng pulang," ujarnya kalem. Aku mencibir.
"Maumu! Yuk ah!"

**

Kami menikmati gultik di Bulungan. Nikmat. Dengan cerita dan tawa Rico, aku merasa lebih nyaman hari ini. Ah ya, aku lupa bilang kalau tadi siang Aldo meneleponku. Ya, bahwa dia hanya cocok denganku di ranjang. Tidak lebih. Aku mengerti. Tak perlu menangis. Hanya merasa terhina. Itu saja. Kupejamkan mataku dan mengingat bagaimana aku bisa jatuh ke dalam pelukan Aldo. Tanpa cinta. Bodohnya aku!

"Tania?" Rico mengagetkanku.
"Hm?"
"Kebiasaan jelek banget deh! Ngelamun mulu! Siapa yang kamu pikirin? Aku atau Aldo?" tanya Rico dengan mulut penuh.
Aku mencibir sebal. "Idih! Gak dua-duanya!"
"Atau si Faisal? Katanya dia udah nyatain cinta ya sama kamu? Hayoooo, gak bilang-bilang ya?" Rico mendekatkan wajahnya padaku. Aku terkejut.
"Wa! Aduh! Bilang apa? Heh, emang ketemu Faisal di mana?"
"Gak ketemu tuh. Gak bilang apa-apa pula. Aku kan banyak mata-mata di mana pun. Taulah kalau ada gosip yang menerpamu. Ahahaha..."

Aku manyun. Hm, masalah Aldo dan gosip tentang Faisal membuatku sumpek. "Rico, aku mau ke Blok M Square. Malam ini katanya ada Endah N Rhesa manggung. Temenin yuk?"
"Ogah. Aku gak suka ke mall. Kamu tau itu. Sakit kepala ngeliat keramaian para hedonis itu. Kalo mau, kita ke Little Baghdad Kemang. Ber-shisa ria. Belum pernah, kan?"
"Ogah juga. Mending kita nonton film deh."
"Ogah! Ya udah, kita gak sepakat. Pulang masing-masing deh! Pusing! Aku gak mau bertengkar," suara Rico agak meninggi.

Aku mendelik tersinggung. "Ya udah dong gak usah bentak aku kayak gitu!" aku mengelap mulutku dengan tergesa dan menghabiskan minumku. Kemudian aku menuju kasir dan membayar makanan. Setelah selesai, "Hei Coki! Aku udah bayar makananmu! Aku pulang!" kuteriakkan nama panggilan Rico khusus dariku. Rico tak bergeming dan tak menoleh.

**

Sudah seminggu aku tak mendengar kabar Rico. Kenapa aku khawatir ya? Ah, cowok macam dia sih gak perlu dipikirin. Udah gede! Udah bisa ngehamilin cewek kok! Aku ngedumel dalam hati sambil mempercepat langkah menuju Sarinah. Tetiba langkahku terhenti. Seseorang mencekal tanganku dan aku nyaris jatuh karena limbung. Aku hendak melawan dengan menendangnya tetapi kulihat wajah Rico yang tegang sebagai jawabannya.

Aku memicingkan mata. "Coki? Rico? Heh!" Dan kemudian Rico memelukku erat hingga semua yang ada di lantai dasar Sarinah memandang kami aneh sambil berbisik. Rico semakin mengeratkan pelukannya jika aku berontak.
"What's going on? You hurt me!" 

Rico mengendurkan pelukannya dan segera menyeretku dengan kasar. Aku protes pun tak akan membuatnya berhenti. Entah berapa kali aku nyaris tersandung.

Kami sampai di restoran bakmi favoritku. Aku kebingungan. Dia hanya menyuruhku duduk. Kemudian dia memesan makanan dan minuman kesukaanku. Juga pangsit goreng. Jadi ingat ketika kami pertama makan malam di sini.

Aku memandang Rico semakin bingung. Lalu kudengar dia berbicara. "Tania, maaf bicara dan kelakuanku yang kemarin itu. Aku sungguh menyesal. Aku emosi. Aku hanya gak suka ke mall. Gak suka keramaian. Aku memang rada kesel sama orang yang suka ngajak aku ke mall. Gak ada kerjaan lain ya? Buang uang kayak gitu. Nyarinya setengah mampus, dihabiskan kurang dari tiga jam."

Aku hanya diam. Gak ngerti arahnya mau ke mana percakapan ini.

"Tania, aku mau lebih sering menghabiskan waktu bersamamu. Ngapain aja. Pokoknya bareng sama kamu. Tapi dengan satu syarat, jangan ke mall. Aku gak suka keramaian seperti itu."

Aku semakin pusing. Aku menggeleng tak mengerti.

"Kamu gak perlu mengerti sekarang. Aku memang tak seromantis Faisal, tapi aku yakin bisa lebih membahagiakanmu ketimbang dia, apalagi dibanding si bangsat Aldo," ujarnya penuh emosi.

Aku mencoba tersenyum. Sekarang aku paham. Rico yang urakan ini hatinya selembut bayi. Sensitif. Kusuapkan sebutir bakso padanya dan berkata, "Terima kasih, Ciko. Let it flows. Aku masih ingin sendiri, sebenarnya."

Rico tersenyum tipis. Aku yang meringis.

-----

Special: Kamu, yang membuatku 'terpaksa' menulis kisah fiktif ini demi sebuah kata "maaf" 


~ (oleh @Andiana)

0 comments em “Lebih Baik Menepi”

Post a Comment