Warung Bebas

Thursday, 22 September 2011

#11: A Day Late (pt. 1)

Farewell party's coming!
Dua hari menjelang pesta di rumah Tuan Ryjeka. Para mahasiswa jurusan HI terpaksa harus menahan euforia mereka, karena laporan terakhir kami ternyata harus diuji dulu sampai dinyatakan 'lulus'. Aku, Lisa, dan Hye-jin sendiri belum mendapatkan hasilnya dari Tuan Ryjeka. Beliau boleh saja sangat menyenangkan, tapi bisa ganas untuk urusan akademik!
"Kelas kita baru diumumin setelah makan siang," ujar Lisa – matanya melirik jam dinding di kafetaria. "Argh!!! Baru pukul 11! Kita harus nunggu... DUA JAM LAGI!"
"Dan kalau nungguin hal yang kayak gini, waktu bisa berubah jadi siput!" gerutu Hye-jin dengan mata sayu. Dia kurang tidur semalam karena harus mengejar deadline laporan pagi ini. "Tidur juga nggak akan bisa."
Aku lebih memilih diam sambil menyeruput iced coffee latte.
Sebenarnya, aku tidak sedang memikirkan laporan terakhir, karena pikiranku berlari ke masalah lain yang terjadi kemarin malam. Ya, kalian pasti bisa menebaknya: Ares.
---
Laporanku dan Lisa sudah selesai ditulis, tapi kami tidak bisa meninggalkan Hye-jin yang mendapat kesulitan begitu saja. Jadi, kemarin malam, aku pergi ke Wal-Mart sendirian sekitar pukul enam sore untuk membeli cemilan untuk kami, sementara Lisa terus menemani Hye-jin di asrama.
Aku memutuskan untuk membeli beberapa bungkus pop-tart dan bagel. Saat akan membayarnya ke kasir, mataku menangkap seseorang sedang menyeduh secangkir kopi di coffee maker, memunggungiku. At first, I didn't notice the shirt, but at the second glance... I almost dropped my stuff. Ares!
IYA, ITU ARES! Sekarang, aku jadi bingung antara menyapanya atau cepat-cepat pergi dari sini.

"Nona, belanjaannya mau dibayar atau tidak?" tegur sang kasir.
Aku cepat-cepat berlari ke arah kasir untuk membayar belanjaanku. Sambil sesekali, melirik ke arah Ares dengan gelisah dan, uh, kenapa aku harus beli cemilan sebanyak ini?
Tarik nafas, buang, tarik nafas, buang...
Akhirnya, kasir menyerahkan belanjaan dan aku langsung berlari keluar tanpa memedulikan kembaliannya. Ares masih diam di samping *coffee maker*, jadi aku cukup tenang begitu berhasil melarikan diri.
Sayangnya, baru keluar lima langkah, dia meneleponku!
"Berhenti di sana!" pintanya seperti seorang polisi yang berhasil memergoki perampok. Dalam waktu yang bersamaan, kami menutup telepon dan tidak lama kemudian, Ares berdiri di depanku.
"Kembaliannya dua dolar dan kamu nggak mau ambil?" Dia berdecak tidak percaya dan mengacungkan dua lembar uang satu dolar. "Dita—"
"Sini!" Tanganku dengan cepat menyambarnya. Ares tersenyum kecil – rambutnya sudah memanjang sampai di bawah leher dan ada brewok tipis di sekitar rahangnya yang tegas. Aku bisa saja menduga dia adalah salah satu personil band yang sering wara-wiri di Warped Tour.
"Kamu lagi ngapain di sini?" tanyaku penasaran. "Bukan lagi *stalking* aku, kan?"
Dia tergelak, lalu kepalanya menggeleng. "Aku nganterin dosen ke sebuah pertemuan di sekitar sini. Satu jam lagi juga kita pulang ke Boston."
Uh, aku jadi malu sendiri karena menuduhnya seperti itu. "Oh, oke."
Hening sejenak. Selanjutnya, Ares mendekat perlahan dan jemarinya menangkup daguku; mengangkatnya ke atas agar mata kami bertemu. Tiba-tiba, udara di sekitarku habis; aku jadi sulit bernafas begitu melihat matanya. Bahkan, tanpa sengaja, aku menjatuhkan belanjaan.
Sebuah pikiran melintas – mungkin Ares sebenarnya ingin agar hubungan kami kembali. Aku tidak keberatan menerimanya, meski nanti kami akan terpisah jarak yang sangat jauh. Bagaimanapun juga, masih ada sebagian dari diriku yang menginginkannya.
"Glad to see you're way better here," bisiknya. Aku menunggu dia melanjutkannya, tapi, ternyata Ares melepaskan tangannya. Beberapa detik kemudian, sebuah bus berhenti di halte di seberang Wal-Mart.
"Kamu harus ke asrama lagi, kan?" Ares mengambil belanjaanku yang terjatuh dan memberinya padaku. "Ayo, nanti keburu busnya pergi!"
Aku mengangguk kikuk. Ya Tuhan, kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?
"Ares?"
"Ya?"
Bilang ini gila, tapi aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi! Tanganku menarik kemejanya mendekat dan mencondongkan kepala untuk mencium bibirnya sekilas. Aku bisa merasakan tangan Ares yang siap menarik pinggangku untuk mendekat. Tapi, karena dikejar waktu, aku langsung melepasnya dan berlari ke halte untuk naik bus setelah meliriknya sekilas di belakang.
Ares tertegun di tempat seperti raga tanpa jiwa.
---
"Dita, kamu bisa nyedot coffee cup-nya juga, lho!"
Teguran Lisa membuyarkan lamunanku – ternyata dari tadi aku terus menyedotnya meski iced coffee latte-nya sudah habis. Lalu, aku gelisah karena Lisa dan Hye-jin sama-sama memicingkan tatapan curiga padaku.
"Maaf." Aku menarik nafas panjang, kemudian beranjak dari kursi. "Aku mau sendirian dulu. Kasih tahu kalau mau masuk kelas, ya?"
Hye-jin mengerucutkan bibirnya. "Mau ketemu Adrian, ya?"
Meski tebakannya benar, aku hanya membalasnya dengan senyuman.
***




~ (oleh @artemistics)

0 comments em “#11: A Day Late (pt. 1)”

Post a Comment