"Kenapa kamu suka sekali dengan masa lalu?" tanya Indi sambil mencomot kripik jagung yang baru saja kubeli dari toko sebelah. Kami berdua sekarang terpaksa duduk di teras toko. Tidak mungkin tetap bertahan di dalam toko sementara mati listrik membuat hawa dua kali lebih gerah. Mendekati musim hujan seperti ini memang cuaca terasa serba salah. Sebentar panas sebentar dingin, sebentar terang benderang, lalu tak lama kemudian hujan.
"Tak hanya masa lalu," jawabku. "Aku bahkan pernah menulis cerita tentang penemuan mesin waktu di masa depan. Cerita tentang perjalanan lintas waktu bagiku selalu menarik. Tentang dunia paralel, kesalahan-kesalahan bodoh di masa SMA, kekonyolan di masa kanak-kanak. Aku suka dengan cerita-cerita seperti itu."
"Kamu nggak akan bisa maju kalau terus terpaku di masa lalu, Cesa." Ujar Indi sambil tersenyum. "Aku pernah bercerita kan? Kenapa kaca spion dibuat lebih kecil dari kaca depan? Karena masa lalu memang nggak sepenting masa depan."
"Itu cuma cerita yang kutulis, Indi. Fiksi. Bukan kejadian nyata."
"Kamu sendiri yang pernah bilang, fiksi adalah anak kandung realitas kan?"
"Yeps. Tapi cerita kali ini benar-benar fiksi," ujarku. "Kamu masih mau mendengarnya kan?"
"Silakan. Pasti kudengarkan sampai selesai."
Aku mengangguk. Ingatanku langsung meluncur ke salah satu yang kutulis beberapa bulan silam itu. Tentang sebuah penemuan menakjubkan di masa depan. Saat mesin waktu bukan hanya sekadar khayalan.
*
Kemang, Maret 2011
"Kelak akan ada penemuan luar biasa," ucapku pada perempuan cantik yang duduk di sampingku. Malam itu lalu lintas depan Circle K Kemang Raya masih ramai, kendaraan berlalu lalang dari dua arah. Macet dan semrawut. Motor, mobil pribadi, Kopaja hingga bajaj yang knalpotnya mengepulkan asap pekat. Para pejalan kaki di atas trotoar terlihat gelisah dan terburu-buru. Samar-samar tercium wangi sate Padang yang dibakar di atas tungku, juga aroma nasi goreng dari gerobak yang mangkal tak jauh dari sana. Perempuan di sampingku tersenyum, kemudian membuka kaleng minuman dingin di tangannya.
"Namanya mesin waktu," lanjutku tanpa mengalihkan pandangan dari kedua mata beningnya. "Dengan itu kamu bisa melakukan sesuatu yang selama ini hanya menjadi khayalan bagi banyak orang."
"Melihat masa depan?" tanyanya.
"Bukan," aku menggeleng. "Mesin waktu tak diciptakan untuk itu. Bahkan di masa depan nanti, orang-orang pintar, - para ilmuwan jenius itu tetap akan membiarkan masa depan menjadi misteri. Agar hidup tetap berjalan seru dengan segala misterinya. Agar manusia tak bertindak semaunya setelah melihat masa depan mereka yang indah, juga agar mereka yang bermasa depan buruk tidak dihantui ketakutan yang sia-sia."
"Bukankah dengan melihatnya, mereka yang masa depannya buruk atau suram bisa menata diri lebih baik agar masa depan itu jadi lebih indah?"
"Mungkin saja," jawabku sambil tersenyum. "Tapi kalau seperti itu apa serunya hidup? Bayangkan saja kalau kamu bisa pergi ke masa depan, lalu bertemu dengan pasangan hidupmu, anak-anakmu, atau jika terjadi sesuatu yang buruk, bisa saja kamu mendapati kenyataan bahwa di jaman itu kamu sudah mati dan hanya tinggal nama. Mungkin saat itu namamu sudah dijadikan nama jalan, nama gedung, nama pasar, atau nama bangunan apa saja. Pasti hidupmu takkan berjalan seperti sekarang bukan?"
"Aku tak berani membayangkan itu."
"Mesin waktu diciptakan untuk memperbaiki kesalahan," lanjutku makin antusias. "Bisa untuk mengobati rindu, untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah kamu cintai namun tak mungkin lagi kamu temui, untuk meminta maaf pada orang yang telah kamu lukai namun belum sempat kamu meminta maaf , masih banyak lagi kegunaannya. Yang jelas mesin waktu hanya bisa berjalan mundur, bukan maju ke masa depan." Pungkasku panjang lebar.
"Kelak itu akan dijual bebas?" tanyanya.
"Sayang sekali tidak," aku menggeleng tegas. "Mesin waktu hanya disediakan terbatas. Akan tertulis di peraturan internasional, satu negara hanya boleh memiliki satu unit mesin waktu. Untuk bisa memakainya orang harus membayar cukup mahal. Namun bagiku itu wajar. Bukankah kesempatan memperbaiki kesalahan adalah hal yang tak ternilai harganya?"
"Tapi kalau aku hidup di jamanmu, aku tetap tak akan mau kembali ke masa lalu. Rasanya aku tak akan butuh mesin waktu."
"Kenapa?"
"Bagiku masa lalu hanya untuk dikenang, atau untuk dijadikan pelajaran." Jawabnya. "Masa depanlah yang jauh lebih penting. Kalau tadi kamu bilang hidup tak akan seru saat kita bisa melihat masa depan, bagiku hidup tak akan bisa maju kalau kita terus larut menyesali masa lalu yang menyedihkan."
Kali ini giliranku yang terdiam. Sebenarnya aku masih ingin membantah dan meyakinkan dia bahwa mesin waktu untuk kembali ke masa lalu adalah penemuan yang sangat berguna. Namun waktuku mampir ke jaman ini hanya tersisa beberapa menit lagi. Setelah ini aku sudah harus kembali ke jaman di mana aku tinggal. Jaman di mana aku sudah menjadi seorang sutradara terkenal dan hidup bahagia bersama seorang istri yang sangat kucintai, dan dikaruniai seorang anak laki-laki tampan yang nakal bukan main, tapi mewarisi sifat teguh dan pantang menyerah dari ayahnya.
"Lalu?" tanyanya. "Untuk apa kamu datang ke sini?"
"Tentu saja untuk..", aku menghela nafas. Perempuan cantik di depanku kembali tersenyum, dan aku semakin salah tingkah melihatnya. Jantungku mulai berdegup lebih kencang, pikiranku mendadak kacau. Setengah mati aku berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk mengatakan tujuan sebenarnya aku datang ke jaman ini.
"Kamu," ujarnya setengah berbisik. "Laki-laki dari masa depan, untuk apa kamu datang ke sini?"
"Untuk meyakinkanmu," jawabku cepat. "Ini memang baru pertama kali kita bertemu. Tapi kamu harus percaya, kita akan bertemu lagi suatu hari nanti."
"Aku tidak mengerti."
"Kita.. akan bertemu.. lagi," ucapku terbata. "Mungkin.. saat itu kamu tak akan mengenaliku. Karena yang kamu lihat sekarang ini.. hanya tubuh pinjaman." Lanjutku. Sebisa mungkin aku berusaha agar kalimat absurd itu tidak terdengar mengada-ada. "Kita.. akan bertemu lagi, di waktu dan tempat yang takkan pernah kamu duga sebelumnya. Dan kuharap kamu yakin, di masa depan nanti kita akan menjadi..."
Kalimat itu belum selesai kuucapkan. Namun seberkas cahaya putih kebiruan sudah kembali datang menerpaku. Cahaya yang sama dengan yang membawaku ke sini beberapa menit yang lalu. Earphone di telinga kiriku berbunyi bip..bip..bip pelan, kemudian suara merdu seorang perempuan terdengar dari sana.
"Maaf, waktu anda telah habis. Terima kasih telah menggunakan jasa mesin waktu."
*
"Kalau aku jadi perempuan dalam cerita itu, aku juga tak akan mau kembali ke masa lalu." Ujar Indi. "Aku setuju dengan yang Sheila On 7 bilang, yang sudah biarlah sudah."
"Kalau urusan mantan pacar sih, iya. Yang sudah biarlah sudah. Lagian masa lalu yang kumaksud juga nggak selalu berarti mantan pacar kan?" tanyaku. "Bisa saja itu keteledoran yang mengakibatkan pekerjaan kacau balau, keterlambatan sekian menit yang membuat kita melewatkan sebuah kejadian penting, atau kesalahan-kesalahan kecil yang membuat orang yang kita sayangi bersedih, atau bahkan menangis. Aku pernah tak sengaja dan khilaf mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas dan agak kasar pada adikku. Saat mendengar itu, yang menangis tak hanya adikku, tapi juga Ibuku. Padahal mereka adalah orang-orang spesial yang seharusnya tak boleh kubiarkan bersedih, apalagi menangis. Kalau mengingat-ingatnya, aku ingin sekali bisa kembali ke masa itu lalu berusaha lebih menjaga emosi agar kata-kata yang kurang pantas itu tak pernah ada."
"Sudahlah, Cesa." Kata Indi pelan sambil menatapku sejuk. "Kamu sudah minta maaf kan? Aku yakin mereka pasti mengerti. Dan aku yakin kamu sudah berjanji untuk lebih berhati-hati tiap berbicara dengan orang-orang yang kamu sayang." Sambungnya. Tangan Indi lalu menyodorkan secarik kertas kepadaku. Ada gambar wajah sedang tersenyum, gelas berisi bongkah-bongkah es, beberapa helai daun mint, dan tentu saja sebuah cupcake di sebelah gelas itu.
"Kali ini cupcake dengan topping mint?" tanyaku.
"Mint dan coklat. Karakter rasanya manis, namun masih ada sedikit pahit coklat. Lembut dan dingin, cocok dinikmati siang hari atau malam yang gerah seperti ini."
"Namanya?"
"The Special One," jawab Indi sambil tersenyum.
Racikan cupcakenya cukup membuatku penasaran. Dan lagi-lagi Indi memilih nama yang kurang tepat bahkan cenderung aneh, pikirku. Tapi kali ini aku memilih tetap diam.
***
~ (oleh @monstreza)