Warung Bebas

Tuesday, 27 September 2011

Remang Cahaya

Aku ingat seorang teman kuliahku yang bernama Vanessa. Dia seorang penulis cerpen yang cukup produktif. Karyanya selalu ada hampir di semua majalah remaja. Bahkan satu cerbungnya pernah tembus majalah wanita dewasa. Gila deh!

Kemarin aku mendapat kabar bahwa dia baru menerbitkan novel perdananya. Keren kan? Aku langsung menghubungi Facebook-nya. Dia sangat kaget karena aku dapat menemukan akunnya. Kutulis di dindingnya, "Ya eyalah aku inget, Ness! Orang beken kayak kamu tuh gampang dicari!" Lalu kami membuat janji bertemu di coffee shop favoritnya di kantornya di daerah Sudirman.

Kami menghabiskan waktu sekitar dua jam dan aku mendapat buku pertamanya berserta sebuah kalimat, "Jangan membayangkan apa yang tak seharusnya kau bayangkan." Agak membingungkan. Tapi aku diam saja dan memutuskan menyimpan segala pertanyaanku sampai ke atas kasurku nanti.

**

Baru membaca sampai halaman 20, aku mulai menebak-nebak apa yang sedang Nessa pikirkan ketika membuat kisah ini. Begitu lugas, apa adanya, terkesan agresif, dan seperti nyata. Wow, beginikah gaya penulisan dia? Keren juga. Tapi aku teringat tulisannya di samping halaman daftar isi.

Apakah tulisan ini... Aku tak berani menduganya, tetapi jelas semua yang tertulis di sini membuatku penasaran. Aku mengirimkan BBM padanya. Terkirim tetapi tak dibalas. Aku semakin geregetan. Kuhabiskan malam itu dengan ratusan kata yang membuat kepalaku semakin berdenyut...

**

Aku memaksa Nessa untuk menyisakan waktu sore ini, seminggu setelah aku membaca novelnya. Ia selalu menghindar. Aku yakin dia tahu apa yang akan kubicarakan. Aku tak peduli. Maka aku ada di sini. 

Vanessa datang dengan wajah berat. Kulihat dia membawa seorang anak kecil. Cantik. Wajahnya mirip Ness... Sa? Aku menelan ludah. Dengan kikuk, aku mempersilakan keduanya untuk duduk. "Hai, Manis. Siapa namamu?" tanyaku mengacak rambutnya yang tergerai.
"Caca," jawabnya malu-malu. Aku tersenyum dan mengalihkan tatapanku pada Nessa. 
"Aku tak perlu menjawab apa pun, kan?" tanyanya sinis. Aku menghela nafas berat sekali.
"Terserah padamu. Apakah aku harus menyimpulkan isi novelmu dengan seorang anak kecil?" tanyaku lugas.

Vanessa Mengepalkan jemari tangannya. Seperti cemas, gugup, bingung, dan takut. Nafasnya memburu perlahan. Matanya mulai berair. Sementara Caca asyik bermain pasir dan boneka Barbienya. Aku menunggu.

Setelah hening sepuluh menit, "Tulisan itu hasil menyepiku. Di penjara, lima tahun yang lalu. Ya, aku membunuh pacarku. Papanya Caca. Alasan klise, dia tak mau bertanggung jawab." Nessa mencibir pahit. Getir dalam suaranya.

"Aku tak pernah bertemu keluarganya lagi setelah itu. Mereka tak mau tahu juga bagaimana keadaan Caca. Aku pun tak peduli. Biar saja Caca seperti sekarang, tenang bersamaku. Toh aku tak minta makan pada mereka," Nessa mendengus kesal.

"Sekarang?" tanyaku nyaris tanpa ekspresi.
"Aku sedang ikut kursus membuat kue. Selain tetap menjadi kontributor," jawabnya santai.
"Kenapa aku gak tau ya?" gumamku tak yakin.
Vanessa mendengarnya. "Kejadiannya di Perth."
Bibirku membulat. Baiklah.

"Ada satu cerita tentang seorang pria..." suaraku menggantung.
Vanessa tersenyum tipis. "Itu Rico."
"Ah, ya! Tentu saja. Bagaimana aku bisa tak mengetahuinya?" aku mendadak kikuk.

Vanessa dan Rico pernah berpacaran. Meski hanya setahun, tetapi menjadi pasangan paling heboh di kampusnya Rico. Ah, kisah mereka dulu bak di negeri dongeng. Aku sampai iri.

"Kudengar sekarang kamu dekat dengannya ya, Tan?" tanya Nessa mengejutkanku.
"Hm, biasa aja sih. Kenapa?" aku berusaha bersikap wajar.
"Ya gak papa juga. Dia masih seperti dulu. Hangat dan penuh perhatian. Sayang kalau pria sebaik dia dianggurin," Nessa tergelak.

Caca mendekati Vanessa dengan manja. "Mommy, i am hungry. Can we go to Burger King now?"
"Walah, makanannya Burger King? Jangan sering-sering, ah!" aku terkejut.
"Hahaha, gak kok. Sebulan sekali aja," Nessa mencium kening Caca dan mengajakku untuk bergabung makan dengan mereka. Aku mengangguk.

Sore yang hangat. Melihat Caca memakan burgernya sampai belepotan itu menyenangkan. Tawa Nessa yang lepas seolah tak pernah menyiratkan duka dan luka yang sangat dalam itu. Aku mencoba masuk ke dalam dunia masa lalunya. Kupejamkan mata sejenak.

Aku seperti hanyut dalam pusaran hitam yang berputar cepat dan menyedot segala kebusukan tanpa ampun. Mendadak nafasku sesak. Sekuat tenaga kubuka mataku dan menemukan taman surgawi di hadapanku. Caca menyuapi Nessa penuh kasih. Anak yang baik.

Tak terasa aku menangis. Kini, aku merasa lemah. Aku yang mendadak ketakutan. Aku tak mungkin sekuat Nessa bila aku ada di posisinya. Tetiba aku menggigil. "Tante kenapa?" tanya Caca menyadarkanku. Aku terhenyak.
"Hm? Apa, Sayang?"
"Ah, Tante! Jangan melamun dong! Itu burgernya masih utuh. Kalau gak mau, biar Caca kasih buat pengemis aja," gerutunya menohok dadaku.
"Caca!" tegur Nessa sambil melotot.
"Gak papa, Nes. Aku yang salah. Caca anak yang cerdas. Kamu beruntung memiliki permata sebaik dia. Jaga dan lindungi dia sebaik kamu menjaga dirimu sendiri."

Vanessa mengangguk mantap. Satu lagi lembaran hidup yang kubaca dan kunikmati prosesnya.

-----
Special: Vira, si Lajang Cantik ;)




~ (oleh @Andiana)

0 comments em “Remang Cahaya”

Post a Comment