Indah. Serius, ini kata yang paling pas untuk mendeskripsikannya.
Adrian mengajakku ke Sungai Hocking yang terletak tidak jauh dari rumah Tuan Ryjeka. Berbeda dari Sungai Elizabeth di Norfolk, Sungai Hocking hanyalah sebuah sungai biasa yang mengalir di tepi sebuah hutan pinus kecil. Seharusnya, tempat ini sanggup membuatku merinding, tapi ternyata Adrian
sudah menyiapkan obor-obor kecil di tepi sungai.
"Ayo, duduk! Kamu pasti capek daritadi jalan pakai widgets itu!" tawar Adrian sambil menarik tanganku. "Rumputnya kering, kok!" Aku duduk di sampingnya, lalu melepaskan widgets yang sukses membuat telapak kakiku lecet dan pegal di tumit.
"Bintang tamunya Alex Goot."
"Eh? Kok kamu malah ngasih tahu aku, sih?" protesku langsung. "Kan jadi nggak kejutan lagi!"
"Justru itu, kalau seandainya kamu nggak mau nonton, kita bisa diem di sini sampai pesta selesai. Tapi, kalau kamu mau nonton, aku nggak akan banyak basa-basi dan nganterin kamu ke tempat pesta pukul sepuluh. How?"
Sudah cukup melewatkan Dashboard Confessinal gara-gara Ares! "Oke. Antar aku nanti."
Kepalanya mengangguk patuh. "Jadi, Hye-jin udah cerita kalau sebenarnya kami ini saudara tiri?"
"Ya, dia nyeritain semuanya tadi. You must be proud to have a sister like her, no?" tanyaku.
"She's a nice sister. Kali pertama kami bertemu sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu. Ibu kandungnya, yang desainer itu, sebenarnya ingin Hye-jin tumbuh mengikuti jalannya. Tapi, appa menentang dan ingin Hye-jin memilih jalannya sendiri."
Hye-jin tidak pernah menceritakan ini padaku. Mungkin dia tidak ingin tahu orang-orang tahu masa lalunya yang suram dibalik sifatnya yang ceria.
"Tapi, dia juga tidak ingin menyia-nyiakan bakat yang diturunkan dari ibunya. Itu yang aku suka dari Hye-jin." Matanya menerawang ke arah hutan pinus. "Dan kalau Hye-jin bilang dia merahasiakan ini karena alasan
popularitas... she lied."
Aku melongo. "Terus? Kalau bukan demi 'menyelamatkan' kalian berdua?"
Adrian meringis, perlahan kepalanya menoleh padaku dengan tatapan yang entah kenapa... membuatku bergeming.
"Itu karena... aku menyukai..."
Kata terakhir tertutupi oleh sorakan yang berasal dari rumah Tuan Ryjeka. Adrian menggerutu; seolah-olah usahanya tadi jadi sia-sia. Sementara aku jadi makin penasaran dan mencondongkan kepala agar bisa mendengarnya lebih jelas.
"Suka apa?" tanyaku.
"Kamu."
"Hah?" Alisku terangkat kaget. "Perfect sentence, please?"
Adrian menghela nafas panjang. Matanya memicing ke samping sejenak untuk memastikan tidak ada gangguan kedua. Mestinya memang tidak ada... itu kan acara dansa!
"Aku—" Adrian menggeram karena ada satu sorakan tak terduga kembali muncul. Tanpa pikir panjang, Adrian mengucapkan ini dengan cepat,
"AKU SUKA SAMA KAMU, DITA!"
Dalam sekejap, suasana tiba-tiba menjadi hening. Bahkan aku hanya bisa memandanginya dengan mulut terbuka. Benarkah? Tempat ini cukup sepi dan aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Adrian salah tingkah – beberapa kali dia mengacak-ngacak rambutnya. "It should've been in a romantic way."
"Apa?" Akhirnya aku merasa tenang untuk bicara. "Romantis?"
Dia berdehem beberapa kali dan makin salah tingkah. Bahkan beberapa kali menolak kontak mata denganku. "Emh, aku kira... kamu suka dengan cara-cara romantis. Hye-jin told it, so..."
Hah?! Apa Hye-jin selama ini jadi mata-matanya? Oke, tenang Dita, mungkin ini kali pertama bagi Adrian menyatakan perasaannya pada lawan jenis dan aku tahu, itu bukan hal yang mudah. Semakin penasaran, aku sempat bergeser beberapa kali agar Adrian mau bertatapan denganku. Dia akhirnya menyerah dan menoleh padaku lagi.
"Maaf, Dita, bukannya aku bermaksud jadi stalker..."
"No, wait. It's such a surprice for me to have a secret admirer nowadays," potongku cepat, tidak percaya. "Tapi, Ad, dalam menyatakan sebuah perasaan, aku nggak peduli apa itu harus romantis, ekstrim, biasa aja, atau mewah. As long as you clearly say it from your heart and mine can accept, that will touch my heart inside."
Dahinya mengerut. "Did your ex do that?"
Aku hanya mengangguk.
"Pardon me, should've not asked that," katanya buru-buru. "Awalnya, aku nggak mau menyatakan perasaan ini karena terkesan tiba-tiba dan kamu juga... baru putus. Tapi, Hye-jin terus mendukung, jadi... ya."
Tanganku teracung – memintanya untuk diam sebentar. "Jangan, Ad, jangan pernah memendam perasaan terlalu lama. It will hurt both of us. Meski aku belum bisa membalas perasaan kamu sekarang, aku sangat menghargai keberanian kamu."
Jujur saja, aku merasa sedih dan terenyuh dengan pernyataannya. Seandainya aku tidak pernah bertemu Ares, mungkin ceritanya akan lain lagi. Luka di dalam hatiku masih teralu basah untuk menerima cinta baru.
Perlahan, aku mengusah punggung tangannya. "Tapi, terima kasih, Adrian. Untuk waktu dan perhatian yang kamu berikan sejak aku pulang ke asrama satu bulan yang lalu. It would be hard for me to rearrange my heart pieces if I was alone."
"Anytime, dear. I can't stand to see you getting hurt." Lalu, Adrian memberiku sebuah dekapan – aku bisa merasakan kehangatan menjalar dari tubuhnya yang seketika itu juga membuatku nyaman.
Aku mendesah panjang. "Bener, kan, seharusnya kita kenalan satu tahun lebih awal?"
Adrian tertawa dan perlahan melepaskan pelukannya. "Ya, ya, tapi ini juga bukan berarti hubungan kita berakhir di sini, kan?"
Bola mataku berputar. "Kamu ngomong apa, sih?! We're still good friends!"
Tak lama kemudian, kami mendengar Tuan Ryjeka mengumumkan sesuatu. Adrian terbelalak kaget begitu melihat arlojinya. "Hampir pukul 10! We should go!"
"Hei, tunggu!" Aku mengambil widgets, namun tanpa diduga, Adrian menyambarnya lebih cepat untuk... dipakaikan pada kakiku! Well, aku hanya bisa diam dan membiarkannya melakukan ini untukku. Hmm, dia cukup cekatan untuk ukuran cowok. Romantis.
"Done?" Kepalanya terangguk dan aku menarik pundaknya mendekat untuk mengecup pipinya. "Trims, Ad." Dia sempat diam termangu sebelum membantuku berdiri.
"Umh, haven't told this..." Adrian berdehem-dehem sejenak "...you look pretty gorgeous, Aphrodite."
Pipiku memanas. "Thanks. You too, stunning Adrian."
Kami berdua saling memandang, kemudian tergelak memecah keheningan. Namun, kami tidak bisa lama-lama diam di sini dan cepat-cepat pergi saat intro We Could Love dimainkan.
**So how can you remember everything?*
**Is there a rulebook for our love I'm not reading?*
**If we could just free up the laws that blind our lives*
**Then we could love, yeah, we could love*
(We Could Love – Alex Goot)
***
~ (oleh @erlinberlin13)