Warung Bebas

Sunday, 25 September 2011

Delapan #10

Seperti biasa di pagi-pagi sebelumnya, aku bisa dikatakan sebagai siswi tercepat sampai di sekolah. Ini semua karena ayahku adalah tipe manusia disiplin yang punya pendirian bahwa lebih baik menunggu satu jam dari pada terlambat satu menit. Jadi dari jadwal masuk sekolah yang sebenarnya adalah 6.45 pagi, maka 6.10 aku sudah duduk dalam kelas. Malah kadang pukul 6 teng, aku yang membuka pagar terlebih dahulu barulah bapak yang biasa membuka pagar datang.

Hari itu Senin. Rutinitas Senin pagi sampai saat ini belum pernah ditinggalkan PKL. Upacara bendera. "Kalau upacara bendera yang tinggal berdiri sebentar saja ananda sekalian tidak mau ikut atau malas-malasan, bagaimana bisa ananda hidup saat Belanda dan Jepang menjajah negara ini?" Begitu lah pertanyaan Kepala Sekolah saat diamanahkan menjadi pembina upacara setahun lalu, yang bahkan aku masih ingat betul raut mukanya ketika menyampaikan.


Dini datang dan langsung menghambur ke tempatku duduk dengan sebelumnya meletakkan tas terlebih dahulu di kelasnya. Aku sedang duduk di pelataran pinggir lapangan basket sambil membaca sebuah novel. Masih novel yang sama ketika Milan meminjam remot AC waktu itu. Bacaanku terhenti saat mendengar suara nyaring Dini.


"Woi! Sendirian aja? Milan mana?"

"Mungkin masih dijalan Din. Ngga tau juga"
"Hmmmmmmmmmmm gituuu"
"Emang di kelas ngga ada gitu, Din?"
"Seingat otak dan penglihatan saya, alis matanya sama sekali tak berkibar-kibar di kelas, Nona Anggi"
"Sok puitis sekali anda, Nona Andini"
"Apa bedanya dengan anda barusan?"

Lama aku dan Dini bercerita sampai-sampai aku lupa untuk meneruskan novel tadi. Dini katakan kalau Milan itu sangat lucu. Lawak, tepatnya. Milan pernah selebrasi di kelasnya dengan menari mengelilingi bangku dan meja yang ada. Aku ingin sekali melihat itu. Milan pernah marah dengan muka serius tapi logatnya seperti main-main. Urat lehernya kelihatan. Matanya membesar. Tangannya memukul-mukul meja. Aku juga ingin melihat Milan melakukan itu. Sedang asyiknya kami berdua tertawa terbahak-bahak, tetiba saja suara objek yang sedang kami ceritakan terdengar.. Sejurus kemudian aku terdiam. Pipiku memerah. Sisa tawa Dini masih ada, menggantung di udara.


"Deneee! PR Kimia udah selesai? Tolong bantu plis plis plis"

"Milaaan! Minta bantu sama master Kimia aja nih plis plis plis"
"Master Kimia? Siapa?"
"Siapa lageeee. Anggita Syifa Prameswari Farera Ibda dooooonggg"
Pipiku bertambah panas. Alis mata Milan naik sebelah dan mulutnya sedikit menganga, menatapku sekilas seolah tak percaya. Ia lalu tertawa memperlihatkan behel-behelnya. Tawa Milan barusan seperti menghipnotis bibirku untuk membalasnya.

"Bentar ya Nggi. Kita kasih pertolongan pertama dulu nih si ganteng satu. Ntar cerita lagi deh"


Mereka berdua berlalu. Aku balik badan, dan tertawa sendiri sampai sepertinya mataku tampak tinggal segaris. Aku senang sekali. Pagi-pagi sudah bertemu 'mood booster'. Bayangkan nilai berapa yang aku dapat di ulangan harian Kimia setelah upacara nanti. Belum selesai aku mengimajinasikannya, suara cempreng Dini terdengar lagi, "Tangkap Nggi!" Bersamaan dengan melempar sebelah sepatu Milan. Sebagai respon yang sangat mendadak, aku terima sepatu yang sempat mengenai perutku. Sedikit sakit.


"Astaga Diiin. Apaalah ini.. Ambil lagi sepatunya sana"

"Ambil sendiri kalau emang ngaku laki-laki hayoo"
"Mohon ini Din.. Serius.."
"Bhahahahahahak! Sama Anggi aja ngga berani"

Dengan muka setengah terpaksa setengah kesenangan, Milan melompat-lompat dengan kaki kanan diangkat. Iya, dia melompat dengan hanya sebelah kaki untuk mengambil pasangan sepatunya padaku. Aku berikan sepatu itu lalu Milan mengucap kalimat terimakasih. Hatiku melompat-lompat seperti dia barusan. Hari itu, 18 Mei 2009.



~ (oleh @captaindaa)

0 comments em “Delapan #10”

Post a Comment