Masih di panti...
"Bunda, kenalin ini pacar Sera. Namanya Jazzy." Sengaja aku memberi penekanan di kata 'pacar'. Dan Jazzy pun langsung bangkit dari dudukannya.
"Bukan bunda, kami teman biasa kok." Elaknya.
"Memang pacar bukan teman? Teman justru artinya lebih dari sekedar pacar." Bunda dan Jazzy kini saling berjabat tangan. Dan Jazzy pun hanya tersenyum malu mendengar jawaban bunda Rose.
"Jazzy ini bunda Rose, pemilik yayasan ini. Ibu asuhku. Dia melebih ibu kandungku sendiri." Aku memeluk bunda Rose rapat. Aku memang ingin memeluknya sejak tadi pagi. Bunda Rose pun langsung masuk ke dalam setelahnya, karena dia masih harus menidurkan anak-anak.
Saat ini aku dan Jazzy duduk saling berhadapan dalam kebisuan. Aku tau dia pasti kaget. Jelas saja dia bingung harus mengatakan apa, maka aku pun berinisiatif untuk mencairkan suasana.
"Hey." Aku memanggil Jazzy dan dia pun menatap padaku. Wajahnya memikirkan sesuatu.
"Apa tidak mau mengatakan apa pun? Pasti sedang merasa kekenyangan untuk bicara ya. Kamu pasti ketularan aku deh." Aku mencoba meledeknya dan dia bereaksi dengan memberiku senyum yang dipaksakan.
"Jangan kasihan padaku. Aku bukan anak yatim piatu seperti adik-adikku yang lain di sini. Ayahku yang menitipkanku di sini. Dia tidak suka padaku. Ketika usiaku 8 tahun ibuku pergi dan ayahku bilang kalau dia benci lama-lama menatapku. Kasihan ya dia, bahkan tidak bisa menyadari kecantikanku. Hahaha."
"Di bagian mana yang lucu? Kenapa kamu ketawa?" Jazzy menanggapi dingin. Aku gagal total.
"Di bagian cantiknya tau, kamu tau sendiri kan kalo aku cantik banget." Aku menyandarkan tubuku ke sandaran sofa. Dan membuang napas panjang.
"Ibuku pergi dari rumah belasan tahun lalu. Dan semenjak itu aku tinggal di sini. Walau pun begitu aku tidak pernah kekurangan apa pun karena ayahku cukup kaya untuk menjadi donatur tetap di yayasan ini. Karena itu aku bisa kuliah dan punya barang-barang bermerek. Dia selalu memberikan semua barang yang aku butuhkan bahkan yang tidak aku inginkan. Tidak pernah perlu merasa repot untuk sekedar bertanya apa yang aku inginkan. Semua yang aku punya, adalah keinginannya. Tapi kebanyakan bukan kebutuhanku."
"Bisa kamu bayangkan itu, memiliki hal yang bahkan tidak pernah kamu ingin miliki. Aku harus lebih banyak bersyukur untuk tidak mengeluhkan banyak hal dalam hidupku. Aku bawa kamu kesini untuk jujur pada diriku sendiri hari ini. Untuk menjadi seseorang yang mampu menerima kenyataan bukan sebagai mimpi buruk. Terimakasih ya sudah mau mampir, sekarang kamu boleh pulang tapi nggak boleh mutusin aku ya. Aku kan anak panti, aku harus kamu jaga lebih baik lagi mulai hari ini." Jelasku.
Jazzy mengarahkan pandangannya padaku. Bangkit dan beranjak ke kursiku. Menatapku lekat-lekat, entah apa yang dia cari. Aku hanya menatapnya dalam diam hingga kemudian beberapa menit pun berlalu dan aku tidak tahan untuk ditatap lebih lama lagi, aku bisa tiba-tiba menciumnya kalau begini.
"Jazzy, sudah ya liatin akunya. Kenapa sih?"
"Sedang mengingat sesuatu dan sekarang sudah selesai. Aku bisa pulang kan?" Jazzy pun bangkit dan aku menganggukkan kepalaku.
Kami berjalan dalam diam sampai ke luar dari teras rumah. Aku berjalan mengantar Jazzy sampai ke mobilnya, walau dia bilang dia bisa jalan sendiri. Tak ada yang kami bicarakan soal kejadian tadi. Beberapa kali Jazzy menatap kelangit, kurasa dia sedang mencoba mencairkan suasana hatinya sendiri dan aku mengerti dengan baik. Aku lah yang seharusnya lebih tegang darinya, bagaimana jika setelah kepergiannya ini dia tak lagi pernah muncul di hadapanku.
Jazzy pun pulang. Malam itu dia pulang tanpa mengucapkan sepatah kata perpisahan pun. Aku tidak tau apa yang ada di pikirannya melihat ini semua. Tapi aku tau pria baik sepertinya, akan mengerti jauh lebih baik- bahkan melebihi aku.
***
~ (oleh @falafu)