"Bagus, kan?"
Helen menunjukkan cincin tunangannya yang tersemat di jari manisnya. Kami sedang mengobrol via Skype setelah Helen mengabariku tentang kedatangan Jared ke Bandung tiga hari yang lalu untuk berjenalan dengan keluarganya.
Aku mendesah iri sambil bertopang dagu. "Jadi, kapan kalian nikah?"
"Emh, sekitar lima atau enam bulan lagi. Kita lagi nunggu keluarga Jared dari Richmond." Wajahnya berubah menjadi pucat. "Aku tegang banget, Dit. I mean, I'm 23 and I'm going to be Jared's wife..."
"Wish I were there to company you, darl," hiburku meski iri begitu menyadari hubungannya dengan Jared bisa bertahan sampai LIMA TAHUN. "Setelah menikah, kamu ikut Jared ke Amerika?"
Kepalanya terangguk. "Sayang juga sih ngelepas pekerjaan di restoran Nerv. Tapi, aku juga nggak bisa seegois itu minta Jared buat tinggal di sini. Aku selalu inget kata nyokap, Dit, istri harus mengikuti suaminya."
"Aaaah, Helen!!!" pekikku terharu. "Virtual hug!!!"
"Hug!!!" sahutnya dengan mata berkaca-kaca. "By the way, kamu di sana gimana? Ketemu Ares nggak? Dia kerja di New York Times, kan?"
HAAAAAAAAAHHH!!!
"Aku baru aja ketemu dia tadi siang, tapi..." bibirku mengulum sejenak.
"Len, apa cowok suka jadi 'dingin' kalau ketemu mantannya? I mean, Ares emang cuek, tapi, tadi itu nggak biasa. Kayak ada batas di antara kita."
Dahinya mengerut. "Mungkin dia kaget aja kali, Dit! Terus, kalian ngobrol?"
"Dikit, dan dia malah ngasih nomor telepon karena tadi buru-buru mau lunch," keluhku sebal sambil memutar bola mata. "Jadi jurnalis di tempat dengan nama besar seperti itu pasti bikin dia sibuk."
"Atau..." Helen mengambil jeda sejenak. "Dita, kamu masih nyimpen perasaan sama Ares?"
Aku langsung memicingkan mata padanya. "Kamu bilang apa tadi?"
"Eh, nggak. Nggak jadi," sahutnya cepat. "Aku mau pergi dulu, ya? Jaga diri baik-baik. Cerita aja kalau ada masalah. Take care, bye!"
"Kamu juga, Len! Salam buat semuanya, bye!"
Aku langsung mematikan notebook dan duduk di samping jendela apartemen New York – a city that never sleeps. Sudah pukul 11 malam, tapi lampu-lampu dari gedung dan kendaraan di jalan protokol malah menyala semakin terang.
Aku menekuk kaki ke atas dan memeluknya erat untuk menghangatkan tubuh dari cuaca yang semakin dingin.
Bayangan Ares kembali muncul dalam pikiranku. Sebagai jurnalis, tentu saja dia berpenampilan lebih rapi dari yang kuingat dua tahun lalu. Namun, sorot matanya tidak pernah berubah – selalu membuatku meleleh. Hangat. Manis.
Menggetarkan.
Aku menarik nafas panjang. Dalam situasi seperti ini, aku tiba-tiba teringat Yudika. Kami tidak bicara lagi sejak insiden open mic di Strabucks. Sampai dua bulan yang lalu, dia mengirim sebuah postcard sebagai kejutan.
Ternyata, dia dan Tomomi menjadi relawan di Afrika selama saru tahun. Senang dan bangga, meski itu menjadi satu-satunya kabar yang kuterima darinya.
Namun, bukan itu yang mengingatkanku pada Yudika sekarang. Tapi, tentang posisinya sebelum insiden open mic.
Sekarang, aku tahu betul bagaimana perasaannya.
Aku menunggu sebuah kesempatan kedua.
*Instead of holding you, I was holding out
*I should've let you in, but I let you down
*You were the first to give, I was the first to ask
*Now I'm in second place to get a second chance
(Second Chance – Faber Drive)
***
Adrian mengajakku jalan-jalan pagi ini ke Central Park, Manhattan. Dia baru mengambil cuti sebagai hadiah dari atasannya berkat interview denganku dan kerja kerasnya di musim panas tahun lalu. Woo, jadi dia akan menemaniku sebagi guide di kota ini!
"Why don't you call him, Dita?" tanyanya tanpa basa-basi setelah menceritakan pertemuanku dengan Ares kemarin siang. "Siapa tahu dia emang lagi sibuk kemarin dan kaget lihat kamu tiba-tiba muncul di sana."
Kepalaku menggeleng. "Tapi—"
"Kamu mau dia dipecat?" todongnya langsung.
"Ng-NGGAK! Jangan...," sahutku semakin frustasi. Adrian kemudian mengacungkan jempol dan kelingkingnya, lalu menggerakannya ke arah telinga. Tanda aku harus segera menghubungi Ares.
Meski ragu dan gugup, aku meraih ponsel dan mencari nomor Ares yang baru kusimpan tadi malam. Jari-jariku hampir beku dan mati rasa ketika menekan tombol call. Sementara Adrian yang duduk di sampingku terus memberi tatapan penuh semangat.
Aku mendesah kesal. Voice mail. "Ares, ini Dita. Kalau kamu terima pesan ini, please call me back. Thanks in advance."
Bola mata Adrian berputar. "Sesibuk itu, ya?"
"HAH!" Sekarang, aku benar-benar kesal karena Ares tidak peduli. Maksudku, untuk apa dia memberiku kemeja itu? Kupikir, itu semacam 'kode' untuk bertemu atau membicarakan hubungan kami lebih lanjut. Tapi, nyatanya—Ponselku bergetar. Aku mengeluh karena Ares membalasnya hanya dengan sebuah pesan. PESAN! Dia memberiku alamat apartemennya dan mengundangku untuk datang akhir pekan ini.
"It seems like you're expecting more than a message," gumam Adrian.
"AKU KAN NYURUH DIA TELEPON, AD! TE-LE-PON!" hardikku keras dan menarik perhatian beberapa orang yang sedang jalan-jalan di sekitar kolam. Aku buru-buru menundukkan kepala dan Adrian pura-pura tidak mendengar. "Aku tahu dia jadi super sibuk dengan profesinya di sebuah tempat yang punya nama sebesar itu!"
Tiba-tiba, Adrian menepuk pundakku. Matanya memberi sorot curiga.
"You're expecting he gives you, no... YOU BOTH, a second chance!"
"Ad—"
Tangannya terlipat di dada. "Come on, Dita! kalian berpisah baik-baik, kalian sudah memenuhi janji untuk menjadi orang yang sukses. Setelah itu... apa? Bukannya kalian juga saling mendukung untuk terus maju?"
Sial, dia menangkapku basah. "I'm just curious to know his life now."
"Dita, look at me—"
"NO!" Aku menepis tangannya. Adrian pasti akan mengirimku sebuah sugesti untuk pertahanan diri. Dia sebenarnya jurnalis atau ahli hipnotos, sih?
Tapi..., tidak. Aku benar-benar ingin tahu Ares dan kehidupannya tanpaku seperti apa. "Maaf."
Kedua tangannya terangkat – tanda menyerah. "Fine, do what you want. But, as a note, aku nggak akan berhenti untuk mengingatkan kamu, Dita."
Dan yang terakhir, lebih terdengar seperti ancaman.
***
~ (oleh @erlinberlin13)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)