Warung Bebas

Saturday, 24 September 2011

#13: Farewell (pt. 1)

            All those days gone forever
            Wonder if we're going to ever
            See all our younglife friends that we made again
            Have we all lost connections?
            The life pulls in all direction
            Memories bring us back to where we've been...
            (Younglife – Anberlin)

"CANTIIIK!!!"
Aku, Lisa, dan Hye-jin menatap bayangan kami di cermin dengan gaun untuk farewell party malam ini. Mata kami bergerak mengamati, saling mengagumi bagimana gaun-gaun ini bisa sangat bisa sangat pas seolah-olah diciptakan hanya untuk kami.
Oh ya, Tuan Ryjeka meluluskan semua laporan terakhir kami – dari para mahasiswa asing. Di akhir pertemuan, beliau mengumumkan kalau kami akan dijemput dua bus yang akan mengantarkan kami ke rumahnya. Bintang tamu masih dirahasiakan.
"Setelah itu, lusa kita ke bandara." Mata Lisa yang hitam melirik koper-koper kami di sisi tempat tidur. "It's bittersweet."
Kemudian, Hye-jin menggenggam tanganku dan Lisa. "Senang bisa mengenal kalian sebagai teman di sini selama satu tahun."
"Hei, come on, pestanya belum dimulai! Jangan nangis dulu!" hiburku sambil merangkul pundak mereka.
Bus datang pukul setengah delapan malam; laki-laki dan perempuan dipisah. Entah apa maksudnya, padahal nanti kami akan berbaur juga di rumah Tuan Ryjeka. Selama di perjalanan, kami semua berusaha untuk terlihat senang dengan banyak bercanda atau menyanyi. Melupakan bahwa ini adalah hari terakhir kami bersama seorang dosen favorit seperti Tuan Ryjeka.
Rumahnya terletak di samping sebuah bukit kecil. Menurut Hye-jin, tempat ini bisa sangat romantis saat sore datang, tapi berbeda dengan Lisa yang langsung bergidik ngeri melihat hutan pinus di sana. Terlepas dari itu semua, kami dibuat kagum mengetahui sebesar apa Tuan Ryjeka menggelar pesta ini. Sepuluh meter menuju gerbang rumah, ada lampion-lampion kecil yang menerangi jalan setapak. Ini sangat membantu kami.
Hmm, rumah Tuan Ryjeka tidak sebesar yang aku pikir. Klasik bergaya Prancis, khas dengan cerobong asapnya. Halamannya yang membuat tempat ini besar – sangat luas! Mungkin bisa menampung 20 mobil di sini. Kami berjalan ke sebuah gang kecil yang mengantar kami ke halaman belakangnya yang tidak kalah luas.
"Dia bisa bikin lapangan bola kalau mau," gumam Yosef, mahasiswa dari Dubai.
Ada panggung kecil di tengah taman – Tuan Ryjeka berdiri di sana dengan kemeja putih, jas hitam, dan jins biru dongker. Semi formal. Di belakangnya, ada instrumen-instrumen musik seperti gitar, bass, piano, dan drum. Di setiap sudut taman, ada stand makanan dan minuman, juga deretan kursi untuk duduk. Mungkin konsepnya adalah garden farewell party, atau hill farewell party? Karena, view di belakangnya adalah perbukitan Appalachian!
Satu yang kuharapkan: tidak ada acara dansa.
Tuan Ryjeka mengetuj-ngetuk mic-nya. "Sudah berkumpul semua?"
Kami berkumpul di depan panggung. Sorot matanya yang hangat membuat kami merasa nyaman. "Satu tahun adalah waktu yang sangat sebentar bagiku untuk mengenal kalian semua. Rasanya, aku seperti dikirimi dunia dalam bentuk yang lebih kecil. Aku sangat senang bisa berbagi pengalaman dengan kalian semua.
"Ada beberapa mahasiswa yang datang dari negara-negara yang aku sendiri sangat kagumi kebudayaannya." Tuan Ryjeka turun dari panggung dan menemui para mahasiswa itu. "Kagiso yang sering memberiku frikkadel*, Arkadi dengan les Bahasa Rusia-nya, bol'shoe spasibo*." Kemudian, tanpa diduga, Tuan Ryjeka menghampiriku, Hye-jin, dan Lisa. "Ah, dan ini dia Charlie's Angels-ku! Atau, perlu kusebut Ryjeka's Angels? Gadis-gadis dari belahan dunia timur dengan keramahan dan keceriannya yang memancar kuat; Lisa, Hye-jin, dan Dita."
Tepuk tangan bergemuruh, sementara kami bertiga tersipu malu.
"Berat rasanya untuk melepaskan kalian semua yang sudah aku anggap sebagai teman. Sayang sekali, universitas hanya memberikan waktu sampai pukul 12 malam untuk pesta ini," sesal Tuan Ryjeka yang disambut berbagai keluhan. "Tapi, itu bukan berarti kita tidak bisa menikmati pestanya! Sebagai pembuka, bisakah aku meminta relawan untuk bermain piano, bass, dan juga gitar?"
Tanpa hitungan menit, tiga orang mahasiswa langsung naik ke atas panggung dan menempati instrumen-instrumen itu. "Oh ya, kita juga punya teman-teman dari jurusan Jurnalis yang akan meliput pesta ini. Bisakah salah satu di antara kalian bermain drum untukku? Eh, Adrian Choi?"
Sontak, selurih perhatian para mahasiswi tertuju padanya. Adrian muncul dari belakang dengan blazer hitam, kemeja biru, dan juga jins yang agak belel. Tapi keren.
"Hmm, aku sudah berlatih dengan putraku untuk membawakan lagu ini." Tuan Ryjeka tersenyum geli. "Pink, Get the Party Started."
"WOOO!!!"
Dalam satu detik, pesta langsung meriah oleh koor, tepuk tangan, suara-suara sumbang, dan tawa keras. Perfomance dosen ini patut diacungi jempol karena beliau sanggup meng-cover lagu ini menjadi rock di awal 90-an. Kami juga sangat kompak menyanyikan bagian ini;
I'm coming up so you better get the party started!
Ketika Tuan Ryjeka selesai menyanyikan lagu ini, kontan kami semua berteriak, "WE WANT MORE, WE WANT MORE!!!"
"Cukup, cukup. Sekarang, mari beri kesempatan untuk juara karaoke kita!" Tuan Ryjeka memberikan mic-nya pada Alberto, mahasiswa dari Spanyol. Suaranya memang bagus, kami bahkan menjulukinya sebagai Alberto Iglesias.
"Gracias," katanya malu-malu. "Tapi, aku bingung harus nyanyiin lagu apa. Any suggest?"
"Anberlin!!!" seru si pemain piano.                                                           
Alberto mengangguk. "Younglife."
***
Setelah lima lagu, Tuan Ryjeka meminta sound operator untuk memutar lagu-lagu yang lebih santai, tapi tetap ala pesta. Bintang tamu akan bermain pukul 10 malam, tapi yang membuatku sebal adalah... ternyata acara dansanya ada. Setengah jam sebelum bintang tamu.
"Adrian tadi keren banget!" puji Hye-jin sambil menyesal cocktail-nya. Kami ditinggal pergi Lisa yang terpesona oleh Alberto, jadi sekarang dia sedang berada di entah dimana. "Ternyata, rumor dia jago ngegebuk drum itu bener banget!"
Pandanganku menyapu ke seluruh mahasiswa yang ada di taman. "Emang kamu seriusan suka sama Adrian?"
Matanya memicing curiga. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu?"
"Umh, penasaran?" sahutku ragu. "Just answer, Hye-jin! Kamu yang paling sering ngomongin dia!"
Tiba-tiba, sebuah senyuman penuh misteri melengkung di wajahnya. Dia menarikku ke deretan kursi yang lumayan sepi dan kami duduk di baris paling belakang. I sense something called surprise.
"Aku punya rahasia," bisiknya, "and I'm gonna reveal it for you."
Keningku mengerut curiga. "Rahasia apa?"
"Ini tentang kenapa aku sering banget ngomongin Adrian," katanya dengan seringai yang membuatku makin penasaran. Aku mulai menduga-duga. Apa sebenarnya dia adalah pacar Adrian?
"Aku dan Adrian," dia melanjutkan, "adalah saudara tiri."
"HEH?!" Aku cepat-cepat menutup mulut dan berusaha untuk tenang dalam menanggapinya. Aku tahu marga Hye-jin adalah Choi, tapi di kampus ada sekitar 17 orang Korea dengan marga ini dan mereka tidak datang dari satu keluarga! Lalu... BAGAIMANA BISA HYE-JIN MENYEMBUNYIKANNYA DARIKU?!!
Hye-jin terkikik melihatku terperangah. "Maaf ya aku merahasiakannya cukup lama. Tapi, ini juga demi Adrian. Dengan kepopulerannya itu, aku khawatir dia malah didekati cewek-cewek nggak jelas dan aku juga nggak mau diperalat nantinya. I admire him as my brother. Aku mau dia merasa nyaman dengan kuliahnya."
Kepalaku terangguk paham. Penjelasan yang masuk akal, jadi bisa kuterima. "Tunggu, apa di Korea kalian bener-bener nggak ketemu?"
Bahunya mengedik. "Kami cuma ketemu pas di rumah appa karena Adrian lebih senang travelling sendiri ke berbagai seminar berbau jurnalis."
"Trims, Hye-jin. Nggak tahu kenapa pengakuan kamu membuat aku lega luar biasa," kataku, dengan perasaan ganjil.
"Tapi, ini belum semuanya, Dita. Masih ada yang mau Adrian sampaikan," timpalnya dengan alis naik-turun. Oke, aku pikir itu artinya Adrian sendiri yang akan mengatakannya padaku.
Tidak lama kemudian, Tuan Ryjeka naik ke atas panggung. Kami diminta berkumpul, tapi aku lebih memilih duduk dan menunggu du kursi. Siapa tahu ini tentang acara dansa.
"Maaf harus mengganggu acara kalian, tapi arlojiku sudah menunjukan pukul sembilan lewat 25 menit," katanya sambil menunjuk arloji. "Ya, aku tahu ini bukan acara pernikahan, tapi ternyata di antara kalian ada yang ingin menunjukkan bakat dansanya."
Beberapa mahasiswa mengeluh kesal, sebagian lagi tersenyum dan mulai berbisik-bisik. Aku memutuskan untuk pergi mengendap-endap lewat gang kecil menuju halaman depan. Sesekali melirik ke belakang, takut-takut ada yang mengikuti. Di teras ternyata ada beberapa mahasiswa yang, oke... aku tidak bisa sebutkan sedang apa, dan aku cuek dengan terus berjalan sampai keluar gerbang.
"Hei, love goddess, where are you going?"
Kakiku langsung membeku di tempat. Adrian muncul dari balik gerbang dan menghampiriku. "Cewek jalan sendiri di tempat kayak gini bahaya, lho! Ingat cerita-cerita seram di Athens?"
Bisa-bisanya dia menakutiku! "A-Aku cuma mau cari udara segar."
Tapi, Adrian ternyata punya ingatan yang baik. "Kamu nggak suka dansa, kan? That was the way you met your ex; ran away from a wedding party and met at the shoreline."
Aku menatapnya tajam. "Ad!"
Dia tidak peduli dan malah meraih tanganku. "Kamu belum pernah lihat Sungai Hocking, kan?"
***

*frikkadel: makanan khas Afrika
* bol'shoe spasibo: terima kasih banyak dalam Bahasa Rusia


~ (oleh @erlinberlin / @artemistics)

0 comments em “#13: Farewell (pt. 1)”

Post a Comment