Warung Bebas

Thursday, 22 September 2011

Rekam Imaji #10

Hilang. Aku hilang kabar dari Langit dan Pelangi. Keduanya
tidak bisa dihubungi, bahkan lajur waktu benar-benar menjadi beku.  Dalam kepalaku masih terngiang wajah Langit
yang tengah murka padaku, sebelumnya ia tak pernah semarah itu kepadaku. Kini,
lebam dimataku menjadi bukti betapa aku sudah menyakiti dua orang yang
terpenting dalam hidupku.
"Jangan lagi memancing
rasa kalau kamu sendiri tidak punya nyali!"
Kali ini aku benar-benar habis. Kehilangan sahabat sekaligus
perempuan yang aku sadar betul seberapa rasa yang ku tanam untuknya, hingga
kini sudah tumbuh menajdi begitu rindang. Yang aku tahu memang tidak akan ada
pernikahan, entah siapa melepas siapa. Maaf saja tak akan pernah cukup untuk
keduanya.
Tanpa kulihat nama di layar, telepon genggam ku angat,
"hallo?"
"Bumi...".
Aku terdiam, mengenal, sangat mengenal suara di seberang
sana. Jantungku berdegup sedikit lebih kencang.

Desember 2010
Menemani perempuan belanja sama sekali bukan keahlianku.
Berkeliling membandingkan harga ini dan itu, mencari warna ini dan itu,
seharusnya sebelum berbelanja dipertimbangkan dulu mau pilih yang mana,
kebutuhannya. Sayangnya sepertinya banyak perempuan yang spontan dalam hal
berbelanja. Lihat ini mau ini tapi bandingkan dulu dengan toko sebelah, beda
harga seribu jadi masalah. Cih!
"Gwe ke toko buku aja deh! Lo muter-muter aja sendiri, cape
gwe!" Kataku ketus pada adik perempuanku yang sedang masanya menjadi centil.
"Iya, sana! Gwe masih pilih-pilih nih!" Jawabnya tak kalah
ketus tanpa menoleh ke arahku. Pandangannya lebih disibukkan memilah di atas
tumpukan T-shirt yang semuanya terlihat sama di mataku. Berwarna cerah seperti
Barbie, di sebelahnya berderet pakaian mini. Tidak habis pikir kalau sampai
melihat si bungsu ini memakainya...
Setidaknya berada di dalam toko buku membuatku lebih santai,
lebih tenang. Berbagai buku keluaran terbaru berderet. Mulai dari penulis
senior sampai pendatang baru dengan novel remaja kesukaan adikku.
Saat itu mataku tertarik pada etalase yang memajang sebuah
buku dengan cover bernuansa senja, dengan pemandangan padang ilalang yang
dibuat sedikit buram. Rekam Imaji, begitulah judul yang tertera di covernya.
Hmm...rasanya familiar betul dengan kata-kata itu. Mataku kemudian mencari-cari
nama si penulis. Pelangi Sekar Sahari. Sesaat aku terdiam. Lama tak ku dengar
nama itu, jarang mungkin. Padahal Februari dulu hingga beberapa bulan lalu
namanya selalu berkeliaran di kepala, terutama ketika kubuka lajur waktu,
tempatnya asyik meracau.

"Sebuku aksara rindu
untuk pria imaji di dalam lajur waktu tanpa temu...
Sesapan resah yang menumpuk dalam
coretan waktu yang semakin kelabu.
Rindu, yang berakar pada namamu...
Tanpa perlu mengusikmu, ku susun tiap
rekah rasa di antara lajur waktu yang menggelisah...
Seakan temu selalu sebatas pada
rindu,
Pada rayu yang sesekali menggelayut,
namun mengusik, memaksa untuk sedikitnya ikut larut...
Untukmu, sebuku rindu ku ciptakan
rekam imaji tentangmu...
Yang hadirnya bagai kotak pandora,
dengan sengaja ku nikmati kutukan yang menusuk entah sampai kapan.
Batasan-batasan yang ku diamkan, tak
perlu sengaja ku beri kamu kata, cukup remah yang sekali waktu mungkin bisa kau
temukan...
Sesekali intiplah rekam ini, tak
perlu kasihani...cukup tadahkan sebelah tanganmu,
Setidaknya nanti ku tahu, sedikitnya
kamu tahu,
Sebuku ini adalah jejak imaji
tentangmu..."

Membaca sinopsis di bagian belakang buku malah membuatku tak
tahan menyunggingkan senyum. Akhirnya kamu membukukan deretan aksaramu yang
sering kali ku temukan tumpah meruah dalam wajur waktu. Membuatku enggan memalingkan
mata dan terkadang sedikit bermain dengannya, entah apa kamu menyadari
itu...menyadari kadang aku mengusikmu...
Selanjutnya aku menemukan diriku tenggelam dalam kubangan
aksara seorang Pelangi. Membacanya seperti menggerakkan jarum jam yang telah
lama terhenti, hingga tanpa sadar memori Februari terulang lagi.
Pelangi...melantunkan rindu melalui aksara tanpa nama apakah
tidak terlalu ambigu? Sudah berapa pria yang mengenalmu tertipu dengann racauan
rindumu yang menyayat layaknya pisau tajam yang baru saja kau asah.
Kamu tahu? Bibit tanaman yang ku tanam dulu serasa disirami
dengan setangkup senja dan seliter embun...
Suara telepon genggamku berbunyi menyadarkanku dari memori
lalu. Di atasnya nama seorang sahabat berkedip-kedip. "Hey!" Sapaku dengan
sumringah.
"I'm in love!" Itulah kata pertama dari sahabatku di
seberang sana. Aku terkekeh, sepertinya pembicaraan ini akan lama. Mengingat ia
hampir tak pernah bercerita mengenai perempuan sejak bertahun lamanya.
Langit nama sahabatku sejak SMA. Kami memiliki banyak
persamaan, rasanya sampai selera perempuan sekalipun. Ia tengah bercerita
mengenai seorang perempuan di tempat kerjanya. Perempuan keras kepala yang
sering kali berbeda pendapat dengannya. Berbeda dengan perempuan lainnya yang
sering kali menurutinya dan bersikap centil seperti makhluk penggoda.
Ya...berbeda denganku, Langit lebih kaku kalau soal perempuan.

"Lo ribut sama dia hampr tiap hari tapi lo bilang ke gwe lo
jatuh cinta? Hahaha...". Aku terbahak mendengar cerita Langit. Membayangkan perempuan
keras kepala macam apa yang sudah berani mengusik ketenangannya. "Perempuan
macam apa yang bisa mengusik kekerenan seorang Langit?! Hahaha...". Tawaku
lagi.
"Shit Mi! I can't stop thinking of her!"
"Oke..oke...then?"
"Ya, gwe Cuma mau bilang kita lagi menjalani hubungan yang
serius."
"Shit!" Giliranku memaki. "Jadi lo telpon gwe Cuma buat
pamer? Shit lo man!" Makiku tapi dengan nada canda. Karna jujur saja aku turut
senang.
"Yeah...gwe udah ngelamar dia."
"Woh! 5 bulan dan lo udah berani ngelamar dia?!" Tanyaku
sungguh tak percaya.
"Yap. Orang tuanya udah fine ko...Orang tua gwe juga."
"Selamat man! Gila! Emang gwe dari dulu udah yakin kalo lo
duluan yang bakal di jajah perempuan! Wahahahaha...". Langit-pun ikut tertawa.
"Gwe mau minta tolong."
"Apa aja buat lo."
"Be my wedding photographer."
"Ngit...lo kan tahu gwe paling ogah disuruh moto nikahan
gitu."
"Gwe ngerti..tapi gwe kan sahabat lo, gwe tahu kemampuan lo.
Gwe Cuma bisa percaya sama lo. Lagian lo backpakeran mulu, travelling ke
mana-mana..ni bisa jadi ajang reuni lah...".
Beberapa menit aku diam, memikirkan tawaran Langit.
Hah....desahku, "oke...di mana kita ketemu?"
"Jogja. Gwe ada kerjaan di sana awal Januari, sekalian gwe
kanalin lo sama calon istri gwe. Tapi inget...".
"What?"
"Jangan jatuh cinta lagi sama pilihan gwe."
"Hahahaha...sial! Gwe bukan lagi remaja labil Ngit!"
"Good then..". Langit terkekeh, "kita ketemu di sana."
"Good then..". Langit terkekeh, "kita ketemu di sana."


~ (oleh @NadiaAgustina)

0 comments em “Rekam Imaji #10”

Post a Comment