Semenjak kejadian itu, perlakuanku ke Arya nggak ada yang berubah. Tapi aku lebih mengenalnya. Sekarang aku tahu sifatnya Arya. Tapi tidak membuatku mundur atau bahkan membencinya.
Kejadian itu tidak membuatku jera. Bahkan, beberapa pertengkaran sering diwarnai dengan kekerasan fisik lagi. Entah aku yang tak pernah jera atau Arya yang memang nggak punya hati. Kebiasaannya, setiap habis memukul atau menampar atau nonjok, sampai dia mendengar aku mengerang kesakitan dan pasrah tanpa perlawanan, dia selalu memelukku, meminta maaf dan mengompres semua luka-lukaku. Dan bodohnya lagi, aku selalu memaafkannya. Setelah itu, we're pretending nothing really bad ever happens.
SICK!
Selain kekerasan dalam hubungan yang aku derita, Arya tidak hanya menyiksaku secara lahiriah. Dia juga kadang menyiksaku secara emosional.
Seperti, di suatu hari yang telah lama aku tunggu-tunggu bersama sahabat-sahabatku. Kami akan melakukan ritual kumpul bareng setelah 2 tahun nggak bertemu langsung dan kumpul dengan formasi lengkap - Aku bersahabat 5 orang cewek dari jaman SMA-. Malam itu aku merencanakan akan menginap di tempat Ajeng. Vania, Raya dan Lia sudah siap dan akan menjemputku, sampai didetik terakhir aku mau berangkat, Arya masih tetap tak mengijinkanku pergi bersama sahabat-sahabatku.
"Kamu kenapa sih, Ya… Mereka kan sahabat-sahabatku. Kenapa mesti nggak ngijinin aku nginep sih? Kamu juga udah kenal mereka kan? Nggak usah khawatir!" aku marah-marah langsung di depan Arya. Karena malam itu rencananya memang aku akan di jemput sahabatku setelah aku pulang kuliah bareng Arya.
Arya menghembuskan nafas, berusaha tenang, "Justru karena aku kenal mereka, Sari… aku tau mereka suka ngapain."
Aku melotot, melihat ke arah Arya yang sotoynya nggak ketulungan ini. Udah sok kenal banget aja dia. "Emang ngapain?"
"Palingan juga dugem, pulang malem…ya kan? Nggak ah! Aku nggak mau kamu ngikut-ngikutin mereka!"
"Astaga, Arya… ya nggaklah.. palingan juga kita semua cuma ngobrol doang di cafe."
"Sambil minum kan?"
Aku berusaha mencerna kata-kata Arya yang barusan, selama 2 tahun ini jadi dia belum benar-benar mengenalku. "Aku nggak akan minum. Janji! Jadi boleh yah aku nginep? Pleaseee… " aku sudah diburu waktu. Mereka udah di jalan untuk menjemputku, dan aku masih disini, di dalam mobil Arya, di depan rumah, belum packing.
"NGGAK! Sekali nggak tetep nggak yah… Awas kamu keluar! Udah deh! Masuk rumah sana!" bentaknya.
Ngga ada lagi yang bisa aku lakukan, selain menuruti perintah Arya. Turun dari mobil dan masuk rumah. Aku menelepon teman-temanku yang saat itu sudah dekat ke rumah untuk menjemputku.
"Jeng, gua gak ikut yah… duh, gua nggak enak badan nih. sorry banget in a last minute gini." aku sengaja menyerak-nyerakkan suaraku, aku sengaja bohong ke mereka supaya mereka nggak marah dan malah membenci Arya.
Ajeng dan yang lain kecewa, mereka justru mau membatalkan rencana ini dan malah pengen nginep di rumahku. Aku ingin sekali bertemu mereka, pengen kabur tanpa bilang Arya. Tapi ketakutanku akan Arya lebih besar dari keberanianku mengendap-endap ruang tengah mengambil kunci pintu dan melompati pagar rumah dan ketauan orang tuaku. DAMN!
"Jadi lo nggak ikut kita nginep karena Arya ngelarang lo?" Vania sudah marah-marah ditelepon begitu barusan aku bbm alasanku sesungguhnya. Cuma ke Vania aku bisa jujur dan menceritakan semuanya.
Aku hanya diam, kaget, karena Vania langsung menelepon.
"Dia pikir kita ini cewek kayak apa sih? Emang kita bandel? Emang kita mau ngejerumusin lo? Sar, kita ini udah temenan lebih dari 8 taun… Masa kita tega?"
Aku menangis, sedih, "Van.. bukan salah Arya semua kok. gua juga salah, gua ngga bisa ngeyakinin dia. Yaudah, besok siang aja yah kita ketemunya.. Van? Please…"
"Nnggak deh, besok siang anak-anak udah pada balik ke kota masing-masing. Sama gue juga males… Urusin aja deh sana cowo lo yang posesif itu!" Vania marah sekali, dia menolak ajakan meeting-ku.
Great! udah punya cowok sedikit sakit jiwa, sekarang aku ditinggal sahabat-sahabatku.
What a wonderfull world, God! teriak batinku.
~ (oleh @_citz)