"Vina..." Dokter Riana bangkit dari kursinya dan memelukku. Aku tak mengerti apa maksudnya.
"Kenapa, dokter?"
Ia melepas pelukannya, lalu tersenyum menatapku.
"Saya harap ibu dan Vina bisa menerima semua ini." Dokter Riana menghela nafas sejenak, "kanker itu kembali. Stadiumnya sudah tergolong tinggi." Dia terdiam.
"Maaf, Vina. Tapi bagi saya kamu adalah gadis yang tegar. Saya merasa tidak ada yang perlu disembunyikan di sini. Bagaimanapun saya menyembunyikannya, sesungguhnya kamulah yang merasakan semua. Kamu lebih mengerti apa yang terjadi dalam tubuhmu."
Aku terpaku. Tiada lagi tenagaku untuk sekedar menangis. Kakiku mendadak melemas. Ingin rasanya aku berteriak. Menerbangkan semua beban dalam dadaku.
Aku lelah, Tuhan. Aku lelah...
"Sabar ya, sayang." Mama memelukku. Aku tau mama mengerti segala sakitnya hatiku mendengar kanker itu telah kembali.
"Dokter, Vina masih bisa sembuh, kan? Saya akan melakukan apa aja, dok." Mama yang biasanya berusaha tegar di hadapanku, kini air matanya mengalir tanpa bisa dibendung lagi.
Dokter Riana menggeleng perlahan, "saya tidak bisa memutuskan. Resikonya sangat besar."
"Tolong, dokter. Tolong saya." Mama berujar lirih.
"Stadium kankernya tidaklah kecil, bu. Sebaiknya Vina dirujuk ke dokter yang lebih ahli."
Kami berpamitan, tanpa keputusan yang pasti.
Kanker itu kembali dengan stadium yang lebih tinggi dari sebelumnya, dan aku tau akan semakin meninggi. Menurut buku yang pernah kubaca, harapan hidup penderita kanker stadium akhir tidaklah lama. Walau memang, vonis dokter tidak selalu benar. Bagaimanapun Tuhanlah penentu segalanya. Tapi, tetap aku takut. Masih banyak keindahan-keindahan dunia yang belum sempat kunikmati. Banyak cinta yang belum sempat kusayangi. Banyak cita-cita yang belum sempat kusambangi.
Ujian Nasional semakin dekat, tinggal berjarak beberapa bulan lagi. Aku harap aku masih memiliki nafas untuk melewati UN. Dengan maksimal, tanpa harus dalam kekangan kankerku.
"Revand..." Aku lirih dalam pelukannya.
"Gimana, sayang? Kamu nggak apa-apa, kan?" Revand membelai halus rambutku.
"Aku kanker lagi."
"Ya, Tuhan..." Suaranya melemah.
"Maafin aku. Kamu seharusnya nggak ngasih uang simpanan kuliahmu untuk biaya kesembuhanku waktu itu. Nyatanya, ia kembali. Kanker itu datang lagi." Aku menangis sekuat yang kubisa.
"Vina, aku ikhlas dengan semuanya. Kamu nggak boleh ngomong gitu."
Hening. Hanya isak aku dan mama yang terdengar. Juga nafas Revand yang memburu.
"Rev, makasih sempat mengizinkan aku merasakan sehat kembali. Walau hanya beberapa bulan."
Revand memelukku. Ia mungkin kelu untuk menjawab.
Ternyata Cinta, tulus dan ikhlas. Meski harus terasa sekilas, akan terngiang dengan membekas.
***
"Aku bahagia dapat mengenal kalian, guys." Aku mengatakannya dengan tiba-tiba.
"Kita juga, Vin!" Azizah mewakili.
"Vin, lo udah sembuh, kan?" Viva setengah berbisik.
Aku menggeleng, "kanker itu kembali."
"Revina..." Ia tertegun.
"Jangan bahas itu, ah."
Viva mengangguk. Melanjutkan perjalanan pulang dengan kesunyian di tengah keramaian.
Aku sendiri, berkali-kali mengeluh. Bukan bermaksud putus asa, atau menyerah; Hanya, masih tak paham cara bersahabat dengan takdir. Masih banyak pertanyaan tentang kenyataan yang berkelebat tiap arus detik.
Tuhan, mengapa ia kembali? Terkadang, itu yang kuterka dalam hati, dalam balutan dingin malam, dalam cekikan hal abstrak di dadaku.
~ (oleh @LandinaAmsayna)
Wednesday, 21 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)