Warung Bebas

Monday, 26 September 2011

Kesempatan Kedua

Rani mendekatiku dengan ragu. Aku sedang sibuk dengan tumpukan berkas yang harus dikirim segera melalui kurir sore ini. Sudah berapa kali aku salah membuat invoice. Sinting! Kepalaku pecah konsentrasi. Butuh kopi. Aku memanggil Paijo dan meminta kopi hitam. Lalu kulihat Rani.

Gadis berusia 23 tahun itu tampak pucat. Aku mengangkat alisku dan mencoba tersenyum. "Rani?"
"Mbak Tania, sore ini setelah pulang kerja ada waktu gak?"
"Waduh, aku gak tau ini selesai jam berapa, Ran. Ada apa nih?"
"Kutunggu deh. Gak papa," desak Rani. Aku mencari sesuatu di bola matanya. 
"Nginep di tempatku yuk? Mau? Kita makan malam dulu di Bulungan. Gimana? Kostanmu jauh kan, ya?"
"Iya, Mbak. Di Pluit. Beneran gak apa-apa nih kalau aku nginep?" mata Rani mengerjap lucu.
"Oke, kuselesaikan dulu kerjaan ini ya? Nanti tunggulah aku di Coffee Bean. Kamu boleh pesan duluan. Aku sepertinya agak lama, ya?"

Rani mengangguk dan berlalu ke mejanya. Badannya ringkih. Kutahu dia baru saja sakit dan absen dua minggu. Aku kembali larut dengna pekerjaanku.

**
Ketika makan malam dengan menu ayam bakar, Rani mulai menggumam. "Rani, bagaimana kabar Ibumu di Pekalongan?"
"Alhamdulillah baik, Mbak," jawabnya sumringah.
"Masih aktif membatik?"
"Sudah mulai jarang. Sekarang Ibu yang ngatur penjualannya. Alhamdulillah sudah mulai sering dapat order dari Taiwan dan Meksiko, Mbak."
"Wuih, keren dong! Syukurlah kalau begitu. Semoga tambah sukses dan bisa menjadi barometer industri rumah tangga yang mendunia. Ngiri deh!"
"Aduh, Mbak bisa aja deh. Terlalu berlebihan ah!" Rani salah tingkah.

Aku tertawa. Rani ini cantik dengan model jilbabnya yang unik. Nada suaranya yang pelan membuat orang yang baru pertama mengenalnya seperti harus memakai alat bantu dengar. Oh, itu terlalu berlebihan ya? Baiklah, gak kok. Tapi memang cantik. Kenapa masih.. "Kapan mau ngenalin pacarmu ke aku?" tanyaku menggodanya yang membuatnya malah tersedak.

"Uhuk! Aduh... Uhuk! Euh, belum ada kok. Ehm, beneran!" jawabnya gugup. Agak lama hening, kemudian Rani berbisik, "Ada sih, Mbak, yang membuatku suka saat ini."
"Wow! Siapa? Orang mana? Kerja di mana?" tanyaku kalap.
"Mbak!" cubitnya di pinggangku.
"Aw! Eh, maaf. Masa segitu aja kamu malu? Oke, kita cerita di tempatku aja yuk? Udah selesai kan makannya? Beli kacang kulit dan pizza dulu ya buat ngemil sambil rumpi?"

Kami beranjak dari tempat makan malam. Sepanjang jalan, tanpa rencana, aku menceritakan tentang masa laluku yang pernah menjalin kasih dengan seorang duda. Entah mengapa aku alirkan cerita itu pada Rani. Kulihat wajah Rani menegang. Kuurungkan niat melanjutkannya. 

**

Di kamar, aku dan Rani sudah mandi dan memakai daster. Kami saling mentertawakan. "Ahahaha, ternyata Mbak begini aslinya?"
"Hyah, kamu sendiri ternyata gitu?"
"Yah, sudahlah. Mari kita menggalau," Rani merebahkan diri di kasur.
Aku bengong. Galau? Sejak kapan Rani akrab dengan kata itu?

Dan dimulailah cerita itu...

Rani ternyata sedang menjalin hubungan dengan seorang pria yang usianya 10 tahun lebih tua darinya. Duda beranak dua. Bekerja di perusahan BUMN dan memiliki tiga usaha waralaba. Mantan istrinya meninggal. Mereka bertemu tiga tahun lalu pada resepsi sepupunya Rani.

Oh ya, nama pria itu Burhan. Orangtua Rani tidak setuju karena sudah menjodohkan Rani dengan sepupunya sendiri. Dan ternyata, Burhan pernah berpacaran dengan tantenya Rani ketika masih SMA. Pernah menghamilinya pula. Itu yang menyebabkan orangtua Rani menlak mentah-mentah.

"Tapi kan setiap orang pasti berubah, Mbak. Aku percaya Mas Burhan sudah berubah. Dia kan punya dua anak perempuan, Mbak," Rani membela Burhan dengan emosi. Aku menghela nafas dan tersenyum tipis.

"Sudah cukup kan dia mendapat hukumannya? Istrinya meninggal, anak pertamanya tuna netra, dan anak keduanya mengidap kelainan jantung. Itu kan berat, Mbak," Rani mulai terisak.

"Aku mencintainya, Mbak. Juga masa lalu dan anak-anaknya. Aku ingin mendampingi dia, Mbak," ujarnya dengan nada ditekan. Berusaha meyakinkanku.

Kugigit pizza vegetarian favoritku. Kucoba mencerna setiap kalimat Rani. Harapannya, ketakutannya, kebahagiaannya, kekuatannya, dan doanya. Kulihat matanya yang berkilat marah pada dirinya sendiri. Ia merasa lemah dan bingung. Ia menatapku penuh harap.

"Kamu mau aku gimana, Ran?" tanyaku bingung.
"Bantu aku meyakinkan Ibu, Mbak."
"What? Eh! Aduh, Ran! Kok gitu?" aku gelagapan.
"Mbak, aku gak tau harus bicara pada siapa lagi. AKu gak tau harus minta tolong pada siapa lagi. Aku gak tau..."
"Stop! Stop!" aku memotong kalimatnya. "Sabar, Rani. Segala sesuatu akan berjalan dengan sendirinya. Melalui jalan yang telah ditentukan Tuhan. Rencana Tuhan selalu lebih indah."
"Aku tahu itu, Mbak," sergahnya tak sabar.
"Rani," aku meraih tangannya. "Tetaplah perjuangkan apa yang sudah kamu yakini. Minta padanya juga untuk melakukan hal yang sama. Yakinkan dia bahwa kamu serius. Ingat, dia tak semata mencari istri. Ia pasti lebih mencari seorang ibu yang dapat memberi pelukan terhangat pada kedua putrinya."

Mata Rani mulai berkaca. Sedetik kemudian tumpahlah telaga bening itu. AKu memeluknya erat. Membiarkan dia menangis hingga terlelap. Perlahan, kubantu dia tidur dengan nyaman. Kuselimuti gadis manis itu. 

Aku keluar kamar dengan perlahan dan menuju kamarku sendiri. Aku menghela nafas. Tuhan, tolong bantu Rani.

------

Special: Kiki, rikues soal duda yang menjadi sebuah flash fiction. Gak papa ya? Atau kudu pembahasan ilmiah? *halah*


~ (oleh @Andiana)

0 comments em “Kesempatan Kedua”

Post a Comment