Warung Bebas

Friday, 30 September 2011

#6 Rage of The Beast




            Dia menemukan dirinya basah kuyup oleh guyuran hujan yang ditumpahkan dari langit tanpa kenal ampun. Beberapa kali langit terlihat berkilat terang oleh kilas cahaya halilintar yang menyambar disertai dengan bunyi ledakan yang memekakkan telinga. Selama beberapa lama dia mencoba memahami apa yang terjadi dengan dirinya. Kemudian dia samar-samar mulai mengenali jalanan gelap tempatnya berada sekarang.
Oh tidak... Tidak lagi...
Pandangannya kabur karena kacamatanya telah basah oleh air, tetapi dia masih dapat melihat cukup jelas saat perlahan-lahan mengangkat kedua tangannya. Darah kecoklatan itu masih melekat kuat membungkus tangannya.

Ariyo terbangun secara kasar dari tempat tidurnya. Meskipun AC kamarnya saat ini sudah terpasang pada suhu delapan belas derajat celcius, tetapi entah mengapa saat ini udara di sekitarnya terasa panas dan menyesakkan. Dia harus mengeluarkan usaha ekstra untuk kembali mengatur napasnya secara normal. Tangannya perlahan menyeka butir-butir keringat sebesar biji jagung di dahinya.
Mimpi itu datang kembali.
Ariyo perlahan-lahan tersenyum. Senyuman kepasrahan.
Seberapa jauh pun kau mencoba berlari, kau tetap tidak akan bisa terlepas dari dosa masa lalu...
 

            Lagi-lagi, seperti biasanya, Adiana menemukan dirinya terlambat pada jam kuliah pertama. Setengah berlari dia menyusuri koridor yang menuju ke Ruang Kuliah Anatomi. Meskipun hari ini masih pagi, tetapi sudah terdapat titik-titik keringat di dahinya. Tetapi tidak ada waktu bahkan untuk menyekanya. Tiba-tiba, entah kakinya sendiri atau memang terdapat benda asing di sana, kakinya terasa terantuk sesuatu dan dia merasakan adanya sentakan hebat yang mendorongnya ke depan.
Adiana tahu dia akan terjatuh. Tetapi tidak ada rasa takut dalam dirinya karena akan ada yang menjaganya.
            BUK!
            Gadis itu tersungkur di atas lantai dengan cukup keras. Untuk beberapa saat waktu terasa berhenti baginya. Dia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tidak ada seorang pun di sana. Dia berdiri sambil menepuk-nepuk tubuhnya. Matanya melirik pasrah ke beberapa noda cokelat yang melekat di pakaiannya.
            Dia masih dapat bersyukur bahwa dia tidak terluka. Setidaknya tidak di tubuhnya.
            Adiana lupa. Penjaga yang diharapkannya sudah pergi.

            "Jadi kalau menurut gue lebih baik kalau kita semua membagi tema penelitiannya berdasarkan insidensi penyakit yang terjadi di masing-masing Rumah Sakit." ujar Matahari sambil menatap teman-temannya satu persatu.
            Ketiga temannya mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi Matahari merasa ada yang kurang. Tepat di seberangnya Adiana sedang melihat ke arahnya, tetapi sinar matanya menunjukkan bahwa pikirannya sedang berada di tempat lain.
            "Ana? Loe dengerin gue atau nggak, sih?" tanya Matahari sedikit kesal.
            Adiana tersentak. Di hadapannya keempat temannya sedang memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya.
            "Ah, sorry... Iya, gue juga setuju kok dengan loe semua." jawab Adiana dengan nada tidak yakin.
            "Ana, ada apa sebenarnya? Sedari tadi gue lihat loe sama sekali tidak fokus ke riset kita. Apa yang loe pikirkan?" tanya Ima penasaran.
            "Ah, tidak kok... Tidak apa-apa..." Adiana terdiam sejenak. "Gue cuma sedikit lelah. Itu saja. Tadi malam gue sedikit terlalu larut tidurnya."
            "Tumben? Biasanya loe yang paling cepat tidur di antara kita semua." komentar Ima.
            "Well... Mungkin saja kalau dia bukan menggunakan waktunya untuk tidur dan justru telepon-teleponan sama cowok." ujar Yenny sambil tersenyum nakal.
            "Hoo... Benarkah? Dengan Adit?" tanya Ima sambil tertawa kecil.
            Yenny mengangkat bahu. "Yah, gue rasa itu salah satu keuntungan berada dalam satu tempat kos dan memiliki dinding tipis. Atau justru kesialan ya?" kali Yenny tidak dapat menahan tawanya.
            Adiana hanya menjawabnya dengan senyuman malu.
            "Oh iya, ngomong-ngomong soal cowok... Gue jadi ingat sesuatu. Tadi gue sempat bertemu Ariyo di Kafetaria, meskipun tidak menyapa sih, seperti biasa. Jadi? Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Yenny ringan tanpa sungkan-sungkan.
            Adiana terbatuk kecil. Seperti ada yang menusuk hatinya dan terasa sangat menyakitkan. Keempat temannya sekali lagi memandangnya, tetapi kali ini pandangan mereka penuh penilaian dan jelas-jelas sangat menuntut jawaban darinya. Dia tidak habis pikir darimana teman-temannya tahu mengenai apa yang terjadi antara dirinya dengan Ariyo. Tetapi apapun itu, Adiana tahu dia tidak bisa kabur dari ini.
            "Well... Semuanya tidak berjalan dengan baik. Itu saja. Gue sih sebenarnya mengharapkan kita berdua bisa tetap dekat atau setidaknya membicarakannya terlebih dahulu, tetapi tampaknya memang sulit untuk..."
            Adiana berhenti saat menyadari ada yang aneh dari tatapan teman-temannya. Kening mereka semua berkerut dan raut wajah mereka justru terlihat semakin bertambah bingung setelah penjelasannya.
Ada apa ini? Kenapa mereka...
            "Ehm... Ana, jujur saja gue tidak mengerti... Maksud gue tadi adalah soal ada hubungan apa antara loe dan Ariyo. Karena jujur saja, seminggu lalu itu kita semua cukup kaget melihat loe bisa jalan berdua dengan Ariyo. Dan loe belum pernah cerita apapun soal itu kan." kata Yenny berhati-hati.
Adiana merasa ingin memukul kepalanya sendiri—atau setidaknya bersembunyi dari tempat itu.
            Bodohnya gue! Tentu saja bukan itu pertanyaannya, Adiana! Bagaimana mungkin mereka tahu tentang masalah gue dan Ryo? Jangankan itu, gue bahkan tidak pernah menceritakan ini pada siapa pun kalau kami berdua cukup dekat satu sama lain.
"Ngg... Jadi maksud loe, loe dan Ariyo dekat satu sama lain....? Atau...?" tanya Ima hati-hati.
            Adiana merasa harus mengerahkan seluruh kemampuan bahasanya untuk menanggapi pertanyaan ini, sekaligus mencoba untuk tidak berbicara terlalu terbuka.
            "Mmm... Maksud gue adalah memang iya gue dan Ryo akhir-akhir ini sempat beberapa kali berinteraksi lebih daripada yang dulu-dulu. Yah, gue cuma berpikir, masa sih gue tidak mengenal teman seangkatan gue sendiri. Hanya saja... Yah, kalian semua juga tahu kan tentang Ryo dan sikapnya. Ternyata memang tidak mudah berteman dengan dia." Adiana memaksakan tersenyum.
            "Ooohh... Jadi kalian berdua memang berteman, ya? Wah, gue harus mengakui kalau gue sama sekali tidak menyangka loe bisa berteman dengan Ariyo. Loe mungkin cewek pertama, Na, yang gue tahu bisa mendekati cowok dingin itu." kata Ima masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.
            "Ah, ini tidak seaneh kelihatannya kok. Ryo juga tidak seburuk yang kalian duga!" Adiana sedikit berteriak saat mengatakannya. "Maksud gue, dia masih bisa diajak mengobrol hal-hal yang menarik kalau mau." Adiana buru-buru menambahkan saat melihat teman-temannya sedikit terkejut medengar teriakannya.
            "Hoo... Benar kalian hanya berteman? Lalu bagaimana dengan kencan kalian seminggu yang lalu itu?" tanya Yenny menggoda Adiana.
            "Itu... Itu sama sekali bukan kencan! Waktu itu gue memang sudah ada rencana pergi ke Grand Indonesia, dan kebetulan Ryo juga ingin kesana, jadi ya gue sekalian bareng sama dia. Hanya itu saja. Biasa saja, kan? Gue dan Ryo tidak lebih dari teman biasa. Benar, deh, Percayalah." Adiana terlihat salah tingkah.
            "Iya, iya, tenang Ana... Kita percaya kok. Tidak perlu panik begitu, dong." ujar Yenny mengangka tangannya seraya tertawa.
            "Tapi gue sedikit kecewa sama loe lho, Na, karena loe sama sekali pernah cerita soal hubungan loe sama Ariyo ke kita semua." ujar Ima pura-pura kesal.
            "Ah... Soalnya menurut gue tidak ada yang istimewa.dari itu semua. Maksud gue... Wajar saja kan kalau gue berteman dengan anak angkatan kita sendiri. Sama saja seperti gue berteman dengan loe semua. Jadi ya... Begitulah." Adiana mengangkat bahu seraya tersenyum.
            "Tapi kalian berdua sekarang sudah tidak berteman lagi, kan?"
            Adiana menoleh ke pemilik pertanyaan tersebut, diikuti oleh teman-temannya yang lain. Matahari sedang menatapnya tajam.     
"A... Apa maksud loe, Tar?" tanya Adiana sedikit gugup.
            "Iya... Tadi loe sempat mengatakan bahwa tidak mudah berteman dengan dia. Gue menebak dari situ bahwa pertemanan kalian tidak berjalan dengan baik? Berarti kalian tidak berteman lagi, kan?"
            Adiana berusaha meyakinkan dirinya salah, tetapi—entah mengapa—dia dapat merasakan ada sesuatu yang tidak baik di balik pertanyaan sahabatnya tersebut. Seolah-olah dia memang mengharapkan jawaban "iya" dari Adiana.
            "Oh... Well... Yah, mungkin bisa dikatakan seperti itu." jawab Adiana singkat.
            Matahari mendengus. "Yah, gue rasa memang itu yang terbaik. Untuk apa loe menghabiskan waktu loe bersama cowok jahat seperti itu. Dia memang tidak pantas untuk bisa berteman dengan siapa pun." Matahari menyeringai penuh kepuasan.
            Adiana menatap heran ke arah Matahari. "Tar, kenapa sih loe harus bicara seperti itu? Tolong, jangan terlalu memojokkan Ryo. Seperti yang gue bilang, dia juga tidak seburuk itu.
            "Tidak seburuk itu?! Loe masih ingat kan apa yang sudah dia lakukan ke gue? Apa menurut loe perbuatan yang dia lakukan itu bukan sesuatu yang keterlaluan? Dia tidak bersikapnya layaknya seorang cowok baik-baik!" ujar Matahari geram.
            "Tar, loe menilai dia hanya dari kesan pertama. Gue mengakui bahwa itu memang bukan sikap yang menyenangkan, apalagi untuk loe. Tapi gue rasa itu hanya salah paham atau Ryo memiliki alasannya sendiri."
Adiana terdiam sejenak mengingat saat laki-laki itu menolongnya dari pelecehan di dekat tempat kos-nya, mengantarkannya pulang, menemaninya membeli hadiah, dan banyak lagi peristiwa yang berkelebat di pikirannya.
"Ryo memang bukan tipe cowok yang akan selalu bersikap ksatria kepada cewek. Justru dia adalah cowok paling sinis, menyebalkan, dan dingin yang pernah gue kenal. Tapi..." Adiana tidak dapat menahan diri untuk tersenyum tipis. "Seandainya loe memberikan waktu untuk mengenalnya, loe akan bisa melihat bahwa dia memiliki banyak sisi baik."
"Hah! Memberikan waktu? Jangankan mengenalnya, bahkan untuk menyapanya pun gue malas."
"Well... Kalau begitu loe tidak akan pernah melihat kebaikan dia." komentar Adiana sedikit dingin.
Matahari menatap Adiana dengan sinis. "Hmm... Lalu kalau memang Ariyo sebaik itu, kenapa loe menghentikan pertemanan loe dengan dia?"
Adiana merasa ada yang meninju perutnya. Mulutnya terlihat bergerak-gerak, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar. Seperti dia membutuhkan segala kekuatannya untuk dapat berbicara.
"Well, itu... Yah... Ada sedikit masalah. Tidak begitu penting. Biasa kan yang namanya berteman kalau ada masalah." Adiana berusaha mengelak. "Lagipula, bukan berarti gue tidak berteman lagi dengan Ryo, hanya sedikit setback... Tidak akan nyaman rasanya kalau bermusuhan dengan teman seangkatan sendiri, kan."
             Matahari tertawa kecil dengan dingin. "Oh ya? Bukannya memang itu yang diinginkan oleh Adit? Apa loe sengaja menentang permintaan cowok loe itu?"
            Adiana menahan napas seraya membelalakkan kedua matanya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan bahwa dia baru saja menerima kejutan yang sangat tidak terduga.
            "Ehm... Sorry... Tapi ada apa ini sebenarnya? Kenapa kalian berdua?" tanya Yenny dengan wajah khawatir.
            "Tari, bagaimana loe bisa tahu soal itu?" tanya Adiana dengan nada dingin.
            Matahari terlihat sedikit menarik dirinya. "Well... Itu tidak penting bukan? Yang penting sekarang adalah loe..."
            "Loe sama sekali tidak punya hak untuk melakukan itu!" Adiana berteriak secara tiba-tiba, mengejutkan ketiga temannya. "Ini adalah masalah pribadi gue, kenapa loe harus ikut campur?!"
            "Gue tidak ikut campur apapun. Gue hanya menceritakan apa yang gue lihat tepat di depan mata gue. Kenyataannya benar kan loe pergi berdua dengan Ariyo?!" balas Matahari tidak kalah berteriak.
            "Kalaupun itu benar, untuk apa loe cerita-cerita ke Adit? Gue bisa bercerita kepadanya sendiri. Karena loe harus cerita macam-macam, dia juga jadi berpikir macam-macam, dan membuat masalah yang tidak perlu."
            "Cerita macam-macam, hah?" Matahari mendengus sinis. "Sudah gue bilang, gue hanya bercerita apa adanya ke cowok loe itu. Apa yang terjadi setelah itu, bagaimana gue bisa tahu?!"
            "Hei, hei... Kalian berdua, tenanglah..." seru Yenny seraya menahan Matahari yang setengah menyorongkan tubuh ke arah Adiana.
            "Apapun itu, kita bisa bicarakan secara baik-baik..." kata Ima sambil meletakkan tangan di bahu Adiana.
            "Lagipula pada akhirnya loe sendiri yang menentukan pilihan, kan?" kata Matahari sinis.
            Adiana mengerutkan dahi. "Apa maksud loe?"
            "Maksud gue seperti apa yang gue katakan. Meskipun Adit mungkin memang yang menyuruh loe melakukan itu semua, tetapi pada akhirnya semua terserah kepada loe, kan? Kalau memang loe tidak berhubungan lagi dengan Ariyo..." Matahari berhenti dan tersenyum dingin. "Artinya loe yang memutuskan seperti itu. Lalu kenapa loe sekarang marah-marah?"
            Adiana berdiri secara tiba-tiba dengan kasar, menyentakkan tangan Ima hingga gadis itu sedikit terpental ke belakang. Selama sesaat, Ima ingin mengatakan sesuatu kepada Adiana, tetapi seketika dirinya terasa membeku saat melihat wajah gadis tersebut. Seingat Ima, Adiana belum pernah memunculkan ekspresi seperti ini. Dia selalu menjadi gadis yang paling pemalu dan lembut di antara mereka berempat. Seorang gadis yang selalu berusaha tersenyum dalam keadaan apapun. Tetapi kali ini di wajahnya terlukis ekspresi penuh kemarahan yang dapat menggetarkan siapapun yang melihatnya.
            Tanpa mengatakan apapun, Adiana memasukkan barang-barang miliknya ke dalam tasnya kemudian menariknya ke atas bahu.
"Sorry... Gue duluan." ujar Adiana singkat sambil melangkah meninggalkan kelompok itu. Dia sama sekali tidak menoleh ke belakang lagi.
"Tari... Sebenarnya ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ima dan Yenny hampir serempak.
Matahari tidak menjawab. Dia terus memandangi Adiana yang melangkah semakin jauh dengan tatapan dingin.

Adiana baru saja akan mencapai gerbang keluar yang berada di dekat lapangan basket, saat sebuah suara memanggil namanya dan menghentikannya. Dia mengatur napasnya sejenak sebelum membalikkan badan.
Matahari berdiri sekitar dua meter di hadapannya.
"Ana, apa yang sebenarnya loe harapkan? Sebuah keadaan utopis? Dimana loe bisa mendapatkan semuanya dan semua orang senang? Dunia tidak berjalan seperti itu, Ana. Loe harus memilih salah satu di antara mereka berdua dan mengorbankan yang lain. Gue hanya ingin membantu loe menyadari hal itu."
Adiana sempat tersentak. Dia ingat seseorang yang juga pernah mengatakannya. Tetapi kemudian dia berhasil menguasai dirinya kembali dan menatap sinis.
"Tari, gue bukan anak kecil lagi. Gue tidak butuh diberi tahu apa yang seharusnya gue lakukan. Jadi terima kasih untuk perhatian loe, tapi lebih baik kita mengurus urusan kita masing-masing." Adiana mengatakannya sambil beranjak pergi dari tempat itu.
"Jadi apa yang akan loe lakukan sekarang? Ingin mencoba berhubungan lagi dengan Ariyo? Ingin mencoba mengatakan pada Adit bahwa kalian hanya teman biasa dan tidak apa-apa? Ingin mencoba mendapatkan keduanya?"
Adiana tidak menoleh dan hanya berkata singkat. "Sekali lagi... Ini bukan urusan loe."
Setelah mengatakan itu, gadis tersebut melangkah pergi meninggalkan Matahari yang masih berdiri mematung di situ.
 

Ariyo mengangkat tangan dan melihat ke arah arlojinya. Pukul 18.30. Laki-laki itu meletakkan tas ranselnya di atas salah satu sofa cokelat di teras luar Perpustakaan FKUI dan menghempaskan badan di sebelahnya. Pada saat hari sudah gelap seperti ini, ini adalah satu-satunya tempat dia dapat mendapatkan sofa empuk bagi tubuhnya. Saat dia mengedarkan pandangan ke sekitarnya, dilihatnya tidak ada seorang pun di tempat itu selain dirinya. Bahkan tidak juga di lapangan basket yang berada di depan Perpustakaan.
Sedikit mengherankan karena sangatlah jarang area FKUI menjadi sesepi ini. Walaupun memang sudah tidak ada lagi kegiatan resmi yang dilakukan pada jam-jam seperti ini, tetapi biasanya tetap ada beberapa orang yang masih tetap tinggal, berkutat dengan urusannya masing-masing. Tidak seperti biasanya, tetapi dia toh tidak berniat memikirkannya lebih lanjut.
Ariyo tidak mengira bahwa diskusi kelompok praktikumnya dengan dokter pembimbing mereka akan berlangsung hingga selarut ini. Sebenarnya dia sudah selesai sekitar lima belas menit yang lalu, tetapi dia tidak berniat untuk segera pulang. Pada hari biasa seperti ini, lalu lintas di Jakarta dapat dipastikan akan seperti neraka. Apalagi bila dia tidak dapat melewati Jalan Sudirman karena peraturan Three in One. Dia memilih hingga peraturan tersebut berakhir sekitar setengah jam lagi karena dia merasa tidak memiliki cukup tenaga—dan kemauan—setelah melalui diskusi yang sulit tadi.
Ditambah dia memang tidak pernah datang ke kampus dengan energi penuh.
Ariyo menyandarkan tubuhnya sambil menghela napas. Pandangan matanya menunjukkan bahwa pikirannya berkelana jauh.
Mimpi-mimpi itu masih juga datang tiap malam di setiap tidurnya. Bukanlah sesuatu yang luar biasa baginya sebenarnya. Dia toh sudah memiliki mimpi tersebut selama yang tidak mampu lagi dia ingat. Baginya mimpi tersebut sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak setiap bagian dalam hidup itu manis, tetapi apapun itulah yang harus kita terima. Dan dia menerimanya.
Tetapi sudah beberapa lama ini mimpi-mimpi tersebut tidak hadir kembali kepadanya. Dia tidak lagi terbangun dini hari dengan jantung berdebar-debar, napas memburu, dan keringat yang bertetesan. Dan dia dapat bangun pagi dan memulai aktivitas dengan kekuatan penuh. Dia sempat berpikir bahwa mimpi-mimpi tersebut sudah meninggalkannya. Hingga beberapa hari terakhir ini mimpi tersebut kembali menghantuinya.
Sejak gadis itu sudah tidak bersamanya.
            Ariyo sekali lagi melihat arlojinya.
            Baiklah. Sepuluh menit lagi Three in One selesai. Saatnya pulang...
            Ariyo baru hendak beranjak berdiri saat lift di dekat Perpustakaan tersebut berdenting. Secara refleks dia melihat ke arah tersebut dan memperhatikan orang-orang yang keluar dari lift tersebut. Ternyata memang masih ada orang di FKUI malam ini. Dia merasa tidak ingin bertemu dengan siapapun karena itu dia tetap duduk di sofa itu. Menunggu hingga semuanya sepi kembali.
            Lampu bohlam di depan teras Perpustakaan sudah lama rusak, sehingga tempat itu saat ini terlihat gelap. Cukup gelap untuk menyembunyikan keberadaanya secara utuh. Tepat seperti apa yang diharapkannya.




            Aditya bergegas menuruni tangga yang menuju ke Lobi Utama FKUI. Dia baru saja menyerahkan makalah praktikum kelompoknya kepada dokter pembimbing mereka di Departemen Faal dan sekarang pikirannya tertuju kepada Adiana yang berniat disambanginya di Ruang Senat FKUI. Seharusnya saat ini rapat Senat yang diikuti gadis itu sudah selesai dan mereka dapat pulang bersama ke tempat kos.
            Dia berbelok menuju ke arah lapangan basket. Dilihatnya area di sekitar lapangan basket tersebut masih cukup ramai oleh para mahasiswa/mahasiswi, meskipun tidak ada yang sedang berlatih basket saat ini. Dia berjalan semakin cepat melintasi lapangan basket tersebut, dan berada tepat di tengah-tengahnya, saat ada yang memanggilnya dari belakang.
            Aditya baru menoleh sekilas saat sebuah hantaman keras menghujam telak ke wajahnya. Seketika rasa sakit yang menyengat mendera kepalanya. Laki-laki itu terhuyung ke samping. Susah payah dia berusaha mempertahankan keseimbangannya. Dia tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi dia tidak sempat untuk memikirkannya lebih lanjut karena sebuah hantaman keras kembali mendarat di samping rahangnya.
            Kali ini dia tidak dapat mencegah dirinya terjatuh dengan keras ke atas lapangan basket. Permukaan lapangan yang keras itu serasa meremukkan tulang punggungnya. Rasa pusing yang teramat sangat membuat pandangannya kabur sesaat sebelum memunculkan bayangan hitam besar yang menutupi lapang pandangnya. Sesosok wajah yang dikenalnya samar-samar tergambar di retinanya.
             Ariyo?!
            Ariyo menjepit tubuh Aditya dengan lututnya dan terus melayangkan tinjunya tanpa ampun ke arah wajah laki-laki itu. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegarangan yang teramat mengerikan. Saat ini Ariyo terlihat bagaikan hewan buas yang sedang mencabik-cabik mangsanya.
            Aditya sebenarnya bertubuh sedikit lebih besar dibandingkan dengan Ariyo dan seharusnya dia dapat lebih memberikan perlawanan, tetapi dua pukulan awal yang dilancarkan oleh Ariyo tampaknya efektif untuk melumpuhkannya. Ditambah dengan tekanan lutut di atas ulu hatinya yang semakin menusuknya dengan tajam. Dia hanya dapat mengangkat tangannya berusaha melindungi wajahnya sebisa mungkin dari pukulan demi pukulan Ariyo. Usaha yang tidak begitu berhasil. Makin lama mulutnya semakin terasa asin. Rasa asin darah.
            Mulai terdengar keriuhan di sekitar kedua laki-laki tersebut. Orang-orang yang kebanyakan para mahasiswa/mahasiswi Kedokteran terlihat berlarian ke arah mereka. Suara-suara teriakan dan makian terdengar silih berganti. Keadaan yang tidak begitu berbeda dengan saat adanya tawuran. Kacau.
            Beberapa orang mencoba melerai dan menghentikan Ariyo, tetapi laki-laki itu seperti kesetanan dan berhasil meneruskan menghajar Aditya. Perkelahian—atau mungkin pembantaian—tersebut baru benar-benar berakhir saat beberapa orang laki-laki dari angkatan Ariyo berhasil menariknya menjauhi Aditya, meninggalkan laki-laki tersebut terkapar tidak berdaya di atas lapangan dengan wajah bersimbah darah.
            "Ariyo, berhenti! Tenanglah! Tenang!" teman-teman prianya saling berteriak mencoba menenangkan Ariyo yang masih menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri dari cengkeraman teman-teman seangkatannya.
            "HENTIKAN!!!"
            Semua orang menoleh ke arah teriakan tersebut. Adiana terlihat berlari diikuti dengan beberapa teman perempuannya mengekor di belakangnya. Dia menerobos kerumunan di lapangan itu dan langsung menghampiri tubuh Aditya.
            Adiana menahan napasnya saat melihat keadaan laki-laki tersebut. Luka menganga di beberapa tempat di wajahnya. Darah mengalir dari kedua lubang hidungnya dan tiap sudut bibirnya. Perasaan ngeri tergambar jelas di wajah gadis itu.
            "Adit! Adit?! Ada apa ini? Apa yang terjadi?" teriaknya sambil memeluk tubuh laki-laki itu. Yang ditanya tidak menjawab apapun. Tidak bisa lebih tepatnya. Yang dapat dilakukannya hanya membuang ludah bercampur darah ke atas lapangan.
Adiana mengalihkan pandangan ke arah Ariyo. "Ryo, apa yang loe lakukan?! Kenapa loe melakukan hal ini?" ekspresi wajah gadis itu menunjukkan kemarahan yang bercampur dengan ketakutan yang mendalam.
Ariyo sudah berhenti mencoba melepaskan diri dari teman-temannya dan membiarkan kedua tangannya dipegangi dengan erat. Dia tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya berdiri diam sambil terus menatap dingin ke arah Aditya. Tatapannya seperti dia sungguh-sungguh ingin membunuh laki-laki itu.
Adiana berdiri dan menghampiri Ariyo dengan tubuh bergetar. "Ryo! Jawab pertanyaan gue! Ada apa ini?! Kenapa loe melakukan ini?!"
Masih tidak ada suara.
"Ryo! Jangan diam saja! Jawab!" Adiana semakin mendekati Ariyo. Jaraknya sekarang tidak ada lima puluh senti di hadapan laki-laki itu.
Ariyo mengalihkan tatapannya kepada Adiana. Dia mengangkat alisnya. Wajah gadis itu terlihat tidak kalah garangnya dengan dirinya tadi. Tetapi ada yang berbeda. Kedua mata gadis itu mengalirkan air mata yang terlihat berkilau bening. Seketika serasa ada sesuatu yang menyedot segala emosinya. Kebuasaan yang terpancar dari wajahnya lenyap.
Ariyo memalingkan pandangan dari wajah gadis itu. Dia tidak mampu melihat eskpresi wajah gadis itu.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ariyo.
"Ryo! Ada apa ini!"
Laki-laki itu masih tidak menjawab Adiana. Dan gadis itu mengulang pertanyaannya dengan sekali lagi didahului oleh tamparan di tempat yang sama. Pipi kanan Ariyo terlihat berwarna merah. Jelas sekali itu menyakitkan. Tetapi laki-laki tersebut sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia bahkan tidak mengeluarkan suara apapun. Dia terus memalingkan wajahnya ke samping. Seolah-olah dia memang menyediakan dirinya untuk kembali ditampar.
Adiana sudah mengangkat tangannya dan jelas akan melakukan tamparannya yang ketiga, bila teman-teman perempuannya dari Senat tidak menahan dirinya.
"Ana, sudahlah! Ayo Ana, tenanglah..." ujar teman-temannya seraya menariknya menjauhi Ariyo
Gadis itu tidak melawan tarikan teman-temannya. Dia terus menatap Ariyo dengan penuh amarah. Air mata yang menghiasi kedua matanya terlihat semakin deras mengalir. Gadis itu tidak berkata apapun lagi dan berlutut di samping Aditya. Dia mencoba membantunya berdiri dengan bantuan dari teman-temannya yang lain. Sedikit terhuyung karena berat badan laki-laki tersebut, tetapi akhirnya dia mulai memapah Aditya menjauhi tempat itu.
Setelah beberapa meter, Adiana tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia menarik napas dan menoleh ke belakang.
Adiana menatap Ariyo lekat-lekat selama beberapa saat. Tatapannya menunjukkan perasaannya yang terluka. "Setelah gue mengatakan akan berhenti berhubungan dengan loe, gue selalu mempertanyakan keputusan gue itu. Detik demi detik, gue selalu menganggap bahwa gue sudah melakukan kesalahan yang besar. Gue bahkan merasa kehilangan karena menurut gue, loe adalah seseorang yang sangat baik."
Gadis itu menghapus air matanya dengan sebelah tangan.
"Tetapi apa yang gue lihat hari ini... Apa yang dapat loe lakukan..." Adiana menatap Ariyo penuh kebencian. "Tampaknya gue salah."
Gadis itu membalikkan badannya dan kembali berjalan pergi.
Ariyo menunduk melihat bekas-bekas percikan darah di atas lapangan. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan menatap punggung Adiana yang semakin menjauh. Kerumunan di sekitarnya masih memunculkan suara-suara ribut, sesekali namanya terdengar diucapkan dengan keras. Tetapi dia tidak mempedulikannya.
Memang tidak perlu. Semua keriuhan yang ada di sekitarnya, baginya di dalam pikirannya, hanyalah keheningan kosong belaka. Bagaikan berdiri seorang diri di tengah-tengah lapangan luas tanpa batas.
Tangannya terangkat dan menyentuh sekejap bagian pipinya yang masih tampak merah.
Dia tidak perlu mengerti...
Ariyo menghela napas dan tersenyum.
Senyuman getir.


~ (oleh @Satrio_MD)

0 comments em “#6 Rage of The Beast”

Post a Comment