Warung Bebas

Sunday, 25 September 2011

Elang Pulang

“Iya, aku hamil dan ini bukan anak kamu” akhirnya aku memberanikan diri membalas BBM Elang.

“Siapa yang menghamili kamu Sinar? Apa yang terjadi” Elang membalas BBMku.

Aku menangis makin jadi, aku membiarkan BBM Elang tetap tak terjawab. Aku memukul perutku, kenapa harus Bayang?! Kenapa anak ini harus anak Bayang?! Aku terisak mengatakan kalimat tersebut sambil terus memukul perutku.

--

Jakarta, 6 Juli 2011

Jam 12 siang, kuliahku selesai, aku memutuskan untuk duduk-duduk sebentar di bangku depan kelasku. Aku tidak berani melihat isi BBM Elang, aku membuka SMS dari Bayang.

-SMS-

“Sinar, aku mau bicara sama kamu”

Bayang sedari tadi meneleponku namun tidak satupun aku jawab, SMS inipun tidak aku balas. Aku masih belum tau apa yang harus aku katakan, baik ke Elang, Bayang atau Ricardo. Aku masih belum tau apa yang harus aku lakukan dengan bayi yang sekarang hidup di rahimku. Apa yang harus aku katakan kepada Ibuku? Aku menangis di dalam hati. Tetiba di depan pandanganku yang mengadap ke lantai aku melihat sepasang sepatu berwarna putih dengan tinggi hak kira-kira 7 senti. Aku mengangkat wajahku, melihat pemilik sepatu tersebut.

“Sinar, aku mau bicara sama kamu” ternyata Dini.

Aku mengajak Dini ke sudut kampusku yang lumayan sepi dan jarang ada yang lewat. Aku memandang wanita ini, ada yang salah di raut wajahnya, dia tidak seceria biasanya.

“Aku dapat kabar dari mas Elang, kamu hamil? Benar, Sinar?” dia membuka pembicaraan.

Aku mengangguk. “Ya, Tuhaan..” dia menutup mulutnya dan mulai mengeluarkan air mata.

“Bayi itu anak tunanganku?” Dini melanjutkan ucapannya, kali ini dengan mata berkaca-kaca.

Aku terkaget mendengar pertanyaannya kali ini, ah, tentu saja dia berfikir anak Radit, karena yang dia tau selama ini aku berhubungan dengan Radit.

“Bukan, ini bukan bayi Radit. Ini bayiku” aku menjawabnya dengan nada tegas dan menatap matanya yang makin berkaca-kaca.

Dia menjatuhkan tubuhnya, posisinya sekarang jongkok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, terisak menahan tangis yang tidak terbendung. Aku tidak bisa mengatakan bayi ini milik Bayang sekarang, sampai aku siap aku akan terus mengatakan ini bayiku.

--

Aku berjalan setelah turun dari bus menuju rumahku, di tengah jalan langkahku terhenti oleh bayangan tinggi yang berada di depanku, Radit. Dia langsung memegang pundakku dan memelukku. Mengelus rambutku dengan terisak dia mengeluarkan suara, “Sinar, itu bayiku? Yang ada di rahimmu saat ini adalah pasti bayiku” ucapnya. Ah, ternyata Dini telah memberi tahu Radit. Aku terdiam dalam pelukannya.

Dari pandangku aku melihat mobil Ricardo, dia menepi, no..no...jangan sekarang Ricardo, Ricardo tidak boleh melihat ini.

Terlambat, Ricardo keluar dari mobilnya, berlari ke arahku, sontak aku melepaskan pelukan Radit, Radit menyadari kehadiran Ricardo yang seketika langsung menarik baju dan memukulnya dengan keras.

Radit terjatuh, “Mau ngapain lagi lo? Gak puas kemarin lo udah nyakitin Sinar?” ucap Ricardo sambil menari Radit berdiri.

“Gue udah bilang, jangan sampe gue liat muka lo lagi, lo malah berani dateng ke mari nganterin nyawa lo” Ricardo menghajar Radit kembali, wajah, perut, entah setan apa yang merasuki Ricardo kali ini, dia terlihat begitu kuat, hingga tiap pukulan yang mengenai Radit membuat Radit tidak sempat mengelak apalagi melawan.

“Do! CUKUP! Berhenti!” ucapku dengan nada kencang dan terisak.

“Hentikan, Do..” aku mencoba memisahkan mereka, aku menghampiri Radit yang dibuat tidak berdaya oleh pukulan-pukulan Ricardo. Aku lihat bibirnya mengeluarkan darah, mata kanannya memerah. Kali ini Radit berdiri, menyuruhku menyingkir. Membuang darah yang ada di dalam mulutnya.

“Jadi gini cara lo? Nyerang orang dengan tiba-tiba pas orang itu belum siap?” Radit memberikan tendangan ke perut Ricardo, Ricardo terjatuh, lalu langsung berdiri lagi.

“Lo tau? Sekarang Sinar hamil! Dan itu anak gue. Lo masih mau jauhin gue dari Sinar?” ucapan Radit ke Ricardo membuat Ricardo langsung melihatku dengan raut wajah tidak percaya, dan Radit langsung menghajar wajah Ricardo disaat aku tau kali ini Ricardo pasti sedang bingung dan tidak percaya dengan kalimat yang baru saja Radit katakan.

Kali ini gantian Ricardo yang menjadi bual-bualan Radit, aku berlari kearah mereka memisahkan mereka, dan..

BUUK!

Pipiku terasa panas, penglihatanku menjadi samar, atu hantaman keras mengenai wajahku, . Pukulan Radit mengenai wajahku saat aku mencoba melindungi Ricardo dari pukulannya. Aku merasakan hangat darah mengalir dari pinggir bibir sebelah kiriku. Sakit. Penglihatanku makin buyar. Pukulannya keras sekali.

“Nar, Sinar” Ricardo memegang pundakku.

Radit terlihat panik dan mencoba memegang tubuhku, namun Ricardo menepis tangannya. Ricardo meninggalkanku terduduk dipinggir jalan dan kembali menghajar Radit.

“BANGSAT LO!” teriak Ricardo sambil memukuli Radit, pandanganku makin samar, dan gelap kembali menutup penglihatanku.

--

Aku membuka mataku, langit-langit ini, bukan langit-langit kamarku, bau obat, tanganku hangat, seseorang menggenggam tangan kananku di sisi tempat tidur.

“Nar, lo sadar, Nar?” suara Ricardo terdengar, ah sepertinya aku disebuah klinik. Ruangan kecil berwarna putih dengan lampu yang terang dan bau obat.

“Dok, temen saya sudah sadar, Dok” teriak Ricardo, pandanganku masih sedikit samar, kepalaku sakit sekali.

Seseorang memasuki ruangan tempatku berada, memeriksa denyut nadiku, dadaku, perutku, luka-luka di wajahku. Memberikan aku suntikan.

“Keadaannya sudah stabil, luka-lukanya hanya dibagian luar, bayinya tidak apa-apa. Tapi jangan sampai kejadian seperti ini, kandungan adek ini lemah sekali, jika sampai dia kena shock lagi bisa-bisa keguguran, kandungannya masih sangat muda” ucap pria paruh baya yang baru saja memeriksa kondisiku kepada Ricardo.

“Iya, Dok. Saya akan jagain dia dengan nyawa saya” Ricardo menjawab ucapan pria tadi.

Aku masih sangat pusing, penglihatanku mulai jelas, aku menengok ke arah Ricardo, dia menangis sambil menggenggam tanganku. Dia tidak mengatakan apa-apa, aku melihat wajahnya yang memar tadi diberi perban, sisi bibirnya masih terlihat jelas bekas luka pukulan Radit.

Aku menyentuh wajahnya. Menghapus air mata yang keluar dari sudut mata kirinya.

“Do, jangan nangis” ucapku sambil memberikan senyum dan berusaha untuk ikut menangis.

“Nar, maafin gue Nar.. maafin gue gak bisa jagain lo” Ricardo membuka mulutnya, menahan tangis yang tidak bisa dia sembunyikan di depanku.

Aku bangun dari posisi tidurku, Ricardo segera membantuku duduk di atas tempat tidurku.

“Gue yang seharusnya minta maaf ke elo, gue udah ngecewain lo, gue yang gak bisa jaga diri, gak bisa jaga hati. Liat, sekarang elo yang babak belur” ucapku.

Ricardo langsung memeluknya. Aku merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari milikku, dia tersisak memelukku dengan erat.

“Ini balesan Tuhan atas perbuatan yang gue bikin sendiri, Do. Tuhan marah sama gue, Dia benci gue” ucapku di dalam pelukannya.

Ricardo melepas pelukannya dengan perlahan, memegang bahuku, menatapku dengan erat.

“Sinar, God can do anything. Only one thing that He can’t do; Stop loving you. Therefore I’m here. Dia ngirim gue ada di sisi lo untuk buktiin bahwa Dia sayang sama lo” ucapnya memecahkan tangisku. Aku menangis di dalam peluknya. Di dalam ruangan kecil berwarna putih dan berbau obat ini aku merasa hangat di dalam peluknya.

--

Ricardo membersihkan lukaku, aku menutupinya dengan make up. Aku dan Ricardo sepakat untuk menyembunyikan hal ini dari Ibuku untuk sementara waktu hingga aku mendapatkan solusinya, setelah aku bisa mengatakan kepada Bayang bahwa aku mengandung anaknya.

Ricardo telah aku ceritakan semuanya, tentang Bayang, kenyataan siapa Bayang sebenarnya Aku tau dia geram tiap kali aku menyebut nama Bayang, namun dia menutupinya.

Kami memutuskan untuk pulang, jam 9 malam. Ricardo mengantarku pulang. Saat membuka pagar rumahku dia terdiam sejenak, aku mengintip apa yang dia lihat hingga dia terdiam seperti itu.

Seorang lelaki yang sedang ditemani Ibuku mengobrol, di sampingnya ada sebuah tas besar yang biasa dipakai untuk berpergian jauh. Elang. Dia sekarang berada lima meter di depanku, di sampingnya Ibuku.

“Nah itu Sinar, kamu kemana aja, Nak.. ditelepon kok mati hpnya. Ini temen kamu udah nunggu 3 jam” ucap Ibuku saat melihatku di depan pagar bersama Ricardo.

Elang melihat Ricardo menggenggam tanganku, berdiri dan menghampiri kami. Aku melepaskan genggaman tanganku dari Ricardo.

“Do, itu kenapa muka kamu luka-luka gitu?” tanya Ibuku ke Ricardo saat kami memasuki teras.

“Biasa tante, anak laki” ucap Ricardo sambil sedikit tertawa.

“Kamu ini yah, masih aja brantem-berantem udah gede juga, sampe luka-luka gitu mukanya” Ibuku melanjutkan ucapannya.

“Bu, Do, bisa tinggalin aku dan Elang sebentar?” ucapku memotong ucapan Ibuku kepadanya dan Ricardo.

Ricardo tersenyum dan mengajak Ibuku masuk ke dalam rumah, menutup pintu rumahku, membiarkan aku dan Elang tersisa di teras.

Aku duduk di bangku sebelah tempat Elang tadi duduk bersama Ibuku, Elang menghampiriku. Dia tidak duduk, dia bersimpuh di depan dudukku, menatap mataku dengan erat, kedua tangannya menggenggam kedua tanganku.

“Benar semua yang dikatakan Dini?” ucapnya seolah aku sudah mengetahui apa yang sedang dia bahas.

“Kapan kamu sampai di Jakarta? Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.

“Tadi siang Dini menelponku sambil menangis dan menceritakan semuanya. Aku langsung memesan tiket dan langsung terbang ke Jakarta, ke rumah kamu karena kamu tidak bisa dihubungi. Nunggu kamu, agar aku bisa tau apa yang terjadi sebenarnya dari mulut kamu sendiri. Selain itu memang hari ini aku sudah cuti untuk menghadiri pernikahan Dini besok. Sinar, apa semuanya benar? Anak yang ada di rahimmu adalah anak Radit tunangan sepupuku?” tanyanya sekali lagi.

Aku menggelengkan kepalaku, menunduk dan mulai terisak.

“Sinar, jawab aku, apa yang terjadi sebenarnya? Benar selama ini kamu membohongi aku dan berhubungan dengan pria lain saat aku jauh dari kamu?” Elang terus bertanya.

Aku masih menunduk dan menangis.

“Maafin aku, Lang.. maafin aku..” hanya kata maaf yang bisa kukeluarkan dari mulutku.

Elang mulai melemahkan genggaman tangannya, dia melepas kedua tanganku, dia berdiri lalu membalikkan badannya. Memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Aku menatap punggungnya dan kemudian kembali menundukkan kepalaku.

Elang mengambil tasnya dan menghampiriku, dia memelukku dan mencium keningku cukup lama, lalu dia beranjak meninggalkanku, “Ini bukan anak Radit” ucapku menghentikan langkahnya, dia membalikkan badan dan menatapku.

“Ini bukan milik Radit, ini milik aku, bukan Radit ayahnya” lanjutku.

Elang menatapku dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, dia menutup kedua matanya sebentar, lalu kembali melanjutkan langkahnya, aku melihat punggungnya, dia membuka pintu pagar rumahku dan menutupnya kembali. “Ini bukan milik Radit” ucapku pelan dan mulai menangis lagi.

“Sulit ku kira kehilangannya, sakit terasa memikirkannya. Hancur warasku kau tlah berlalu, tinggalkan aku begitu, rapuh hidupku, remuk jantungku. Semua salahku tak jaga dirimu, untuk hatiku sungguh ku tak sanggup, semua terjadi seperti mimpi, mimpi burukku kehilanganmu. Karena kamu nyawaku, karena kamu nafasku, karena kamu jantungku, karena kamu.. rapuh hidupku, remuk jantungku..”

-Geisha Remuk Jantungku-

Ricardo keluar dari rumahku, menghampiriku lalu memelukku, “Ibu di mana, Do?” tanyaku lirih.

“Ibu lo udah di kamarnya, aman. Dia kayaknya udah tidur. Gue denger semuanya, maafin, Nar. Tadi gue nguping” ucap Ricardo.

Aku masih menangis di dalam peluknya. Dia tidak mengatakan apa-apa, membiarkan aku menangis melepas penat atas apa yang baru saja terjadi hari ini.

--

Jakarta, 7 Juli 2011

Hari ini seharusnya hari pernikahan Radit. Apa aku harus datang? Tidak, sepertinya aku tidak perlu datang. Aku menggelengkan kepalaku.

Aku melihat hpku, ada BBM dari Elang.

“Siap-siap, jam 5 sore aku jemput kamu, kita kepernikahan Dini” isi BBM Elang.

Aku tidak menjawabnya, tidak, aku tidak boleh ke pernikahan mereka. Aku tidak mau. Setelah apa yang aku lakukan terhadap hubungan mereka, aku tidak pantas berada di sana.

Aku ingin pergi kesuatu tempat sendirian. Kulihat jam di hpku, masih jam 9 pagi. Aku merapikan diri, aku ingin menulis ditempat yang tenang, sudah lama aku tidak melakukan hobi menulisku belakangan ini, dengan perasaan seperti ini sepertinya menulis akan menjadi sebuah pelarian yang tepat untuk menuangkan isi hatiku.

--

Aku membuka pintu pagarku, dan kulihat di depanku sebuah mobil sedan hitam milik Bayang parkir di sana. Pemilik mobil itu keluar dari mobilnya, membuka kacamata hitam yang dia kenakan, Bayang.

Dia menghampiriku, memegang tangan kananku.

“Aku mau bicara sama kamu, ijinkan aku mengungkapkan apa yang aku rasakan” ucapnya.


Bersambung...


Oleh: @ekaotto di http://ekaotto.tumblr.com

0 comments em “Elang Pulang”

Post a Comment