Aldo meneleponku dari Surabaya. Aku juga baru tahu. Dia sudah lima hari di sana. Kupikir masih di Makassar. Something's wrong. Kenapa Aldo berubah? Dia hanya berkata dengan nada terburu-buru, "Sayang, aku lagi ada di Surabaya. Baaru lima hari sih. Mungkin pulang ke Jakartanya lusa, ya? Dah, Sayang."
Begitu saja. Kuhempaskan tubuhku ke sofa di gerai donat favoritku ini. Segelas Iced Green Tea lumayanlah menenangkan hatiku yang tak karuan. Ponselku berbunyi. "Iya, Haris. Ada apa? Oh bisa, kok. Ke sini aja. Masih dua jam lagi menuju sore kok. Aku udah kelar rapat. Oke, di tempat biasa. Bye."
Haris datang sambil menenteng ransel bututnya. Dengan jaket lusuh dan rambut gondrongnya, mengingatkanku pada seseorang. Siapa ya? "Hai, Tania!" sapanya hangat dan langsung duduk di hadapanku.
"Hai, Ris! Macet ya?"
"Sempet kejebak tadi di Radio Dalam. Tapi motorku selalu bisa menembusnya dong! Hm, pesen kopi dulu ah!" Haris berdiri lagi dan berjalan menuju kasir. Tak lama ia kembali lagi.
"Jadi, apa ceritamu sore ini, Ris?" tanyaku setelah selesai mengunyah donat stroberiku.
"Aku butuh bantuanmu. Kamu pasti tahu maksudku," ujarnya salah tingkah.
Aku mendesah berat. "Kasusmu belum selesai?"
"Belum. Pengacara yang katanya pengalaman itu tak bisa memberi kepuasan dalam melacak kasusku. Aku mulai kehabisan dana. Aku minta kamu mencarikanku pengacara pengganti."
"Aku paham. Nanti kucoba hubungi Ryan. Kamu tahu dia kan?"
"Oh, yang barusan memenangkan kasus pemerkosaan itu ya? Gila banget tuh orang. Bisa aja gitu nemu celah sempit yang sepertinya mustahil untuk mengunci lawan. Keren! Kamu kenal dia di mana?" mata Haris berbinar.
"Dia teman kecilku. Teman bermain sejak sama-sama masih suka ngompol! Ahahaha... Jadi aku udah tau bagaimana dia. Cerdas luar biasa. Aku aja masih terkagum-kagum sampai sekarang. Nah, selain itu, ada lagi yang mau kauceritakan?"
Haris tetiba terdiam. "Aku kangen Angel."
Aku menggigit bibir dan meraih tangan Haris. "Aku juga."
"Tapi kamu tau kan kalau aku..."
"Sangat mencintainya?"
"Begitulah. Meski ya memang tak akan pernah bisa terwujud. Bukan karena dia sudah tak ada, tapi..."
"Aku mengerti perasaanmu. Tapi itu bukan berarti menghalalkanmu berbuat yang di luar batas, Ris. Aku tak bisa memaafkan kelakuanmu itu."
"Maaf. Aku benar-benar emosi dan kalut. Siapa sih yang gak kecewa gadis pilihan hati yang sangat dicintai memilih pria lain untuk menikah?"
Dengan cara mabuk, ngeganja, had three days non stop party for sex with lot of girls , dan judi? Hello, Haris!" aku melotot. Setengah berbisik kudekatkan wajahku padanya, "Dan inget dong kamu nyaris ngebunuh orang. Plis deh, Ris!"
"I know. Tapi rasanya msih berat. Apalagi mengetahui paling akhir ketika dia meninggal."
Kami berdua terdiam cukup lama. Tenggelam dalam kenangan masing-masing. Aku masih ingat bagaimana dulu Haris mendonorkan darahnya untuk Angel ketika tengah malam gadis itu drop. Padahal Haris sedang berada di Cirebon.
Aku juga masih ingat ketika Haris membopong Angel yang pingsan ketika acara arisan komunitas fotografer diadakan di Puncak Pass. Angel yang tak tahan udara dingin memaksakan diri hadir karena mengetahui Joshua akan datang. Nyatanya Joshua tak pernah datang...
Angel merupakan gadis yang mampu membuat Haris berubah. Meski hanya sementara. Ketika kepergian Angel yang mendadak membuat hancur dunianya, Haris menyalahkan dirinya sendiri karena tak berani berterus terang pada Angel dan merasa menjadi seorang pengecut.
"Tania..." panggilnya memecah lamunanku.
"Ya?"
"Kemarin aku ke makam Angel. Aku bersumpah di sana. Aku akan berubah. Demi diriku sendiri. Demi cintaku. Setelah kasus ini selesai, aku akan menetap di Sleman. Jogja lebih cocok untukku."
"God bless you, Ris. Aku berdoa yang terbaik untukmu. Jika itu bisa membuatmu lebih nyaman dan tenang, go ahead."
"Terima kasih, Tania. Sorry ya aku gak bisa lama-lama. Dari sini masih harus ke Tebet. Aku tunggu kabar darimu soal pengacara itu ya?"
"Oke, Ris. Hati-hati di jalan. Gak usah ngelamun. Nanti kukabarin lagi kalau aku berhasil menghubungi Ryan."
"Bye, Tania," Haris mencium pipi kanan kiriku.
"Bye, Haris," balasku.
Aku menatap punggung Haris yang menjauh. Hm, kita memang tak pernah tahu bagaimana cinta bisa membuat kita jatuh dan merasa sakit. Sama seperti rasa aneh dan menyebalkan yang kurasa saat ini pada Aldo. Duh!
-----
Special: Bhaga, yang selalu penuh semangat untuk berbagi :)
~ (oleh @andiana)