Warung Bebas

Tuesday, 20 September 2011

Rekam Imaji #9

Jogja
Langit duduk  tertunduk bersandar pada dinding kaca. Sedang aku menatap lurus ke luar
jendela, memandangi jelang senja yang perlahan mendung, seperti mewakili
perasaan Langit yang sama mendung.


"Tidak bisakah kita menyembunyikannya saja?"

"Menyembunyikannya sampai kapan? Apa bisa membangun hidup
dengan berpura-pura lupa?"

"Aku bisa...aku bisa demi kamu, bersamamu Pelangi...".
Pertama kalinya Langit terisak. Untukku, dan sungguh tak pantas!

"Kamu berharap aku menyakitimu lebih dan lebih lagi?"
Ku hampiri Langit, membenamkan pilunya dalam pelukku.
"Maaf...maaf...".

Tidak bisa menyakitimu lebih dari ini...
"Tidak seharusnya kupertemukan kamu dengan Bumi..harusnya
tak ku biarkan kalian menghabiskan banyak waktu bersama...Harusnya tak ku
biarkan lagi Bumi berada di antara hidupku dan perempuan yang ada di
sampingku!".

"Hentikan Langit!" Ku paksa Langit menatapku. "Rekam Imaji
ada sebelum kamu datang...merindunya adalah salahku...".

"Lalu salah siapa tetap menikmatinya ketika seharusnya ia
tahu bagaimana cara melepasmu? Salah siapa tidak memiliki nyali untuk menahanmu
sebelum aku meminangmu?..."
Aku diam...aku belum mendapat jawabannya dari seorang
Bumi...



Jogja, awal Januari

"Benar tidak perlu mengatakannya kepada Bumi?"
Aku menggeleng. "Begini saja dulu...".
Langit mengecup dahiku, "hubungi aku kapanpun. Ini.." ia
menunjukkan sepasang cincin yang menggantung sebagai liontin kalung yang
melingkar di lehernya. "Masih selalu untukmu."

Aku tersenyum, "simpanlah untuk wanita yang benar
menumpahkan penuh hati dan rindunya untukmu. Suatu hari...bawalah padaku, biar
ku lihat seperti apa wanita cantik yang merebut hati Langit-ku."

Kami terkekeh. Sekali lagi saling tatap. Melepas Langit
sungguh adalah kebodohan terbesar. Melepas pria yang sungguh tulus memberikan
hati dan hidupnya padaku. Sungguh aku berusaha mencintai Langit, belajar...tapi
belajar sampai kapan? Sedang setengah hati seperti terikat mati pada Bumi,
berpasangan serasi dengan rindu yang sakitnya hingga menyayat hati.

"Sampai kapan kamu akan di sini?"
Terakhir kalinya kami bergandengan tangan, menyusuri lorong
stasiun yang hingar bingar. Sepasang usia senja berpelukan. Sang wanita
sumringah di antara garis tua di wajahnya, menyambut kekasih yang akhirnya
pulang.


"Salah satu yang ku kagumi dari seorang wanita...".

"Apa?"
"Keteguhan hati,..."
"Untuk menunggu?"
"Mungkin...aku tidak pernah tahu dari mana nyali menunggu
itu datang."

"Hemm...andai aku pria beruntung yang kamu tunggu itu."
Aku hanya tersenyum, karena aku saja tidak tahu mengapa
harus Bumi yang aku tunggu.

"Baiklah..keretaku sudah datang."
Sekali lagi Bumi menatapku. "Aku akan sangat merindukanmu."
"Aku juga...berbahagialah."


Bumi...apa warnamu
sebenarnya? Kalau kamu sehijau dedaunan di dalam hutan, maka ijinkan aku
menjadi coklat seperti tanah dan batang pohon tempatmu tinggal. Kalau kamu
sebiru lautan, izinkan aku menjadi sewarna pasir pantai yang sering kau
singgahi kala pasang. Kalau kamu sehijau hamparan ilalang, ijinkan aku menjadi
kuning yang kau letakkan dipuncak hingga ketika senja datang membaur bersama
nila. Kalau kamu sebiru langit kala pagi tanpa mendung, maka biarkan aku
menjadi seputih awan yang berarak seperti dalam dekapmu...


Keteguhan hati untuk menunggu...menunggumu Bumi. Dan
entahlah...sama seperti ketika aku belajar menempatkan Langit di hatiku, entah
sampai seberapa batasan belajar ada dalam diriku. Sampai akhirnya ku lepaskan, bukan
menyerah, tapi menempatkan rasa di tengah rindu dan rasa yang lain bukanlah
perkara mudah. Apalagi kini ketika dihadapkan pada temu dan sentuhan yang
seharusnya hanya menjadi milik Langit.

Aku tidak akan mengerti apa rencana Tuhan ketika
mempertemukanku dengan Bumi dan Langit. Yang jelas, aku tidak ingin
menyandingkan keduanya dalam ruang hati yang sama. Langit selalu menjadi sosok
yang nyata, bersamanya, mungkin saja aku akan menikmati hubungan aman tanpa
perlu menemui kegagalan lagi. Rindu tanpa ragu dan tahu di mana harus
menempatkan rindu.

Sedang Bumi, terlanjur menikmatinya sebagai imaji adalah
salahku, hingga tak tahu cara membedakan rindu ini nyata atau hanya imaji. Ada
rasa dengan percik kasmaran atau hanya keingintahuan.


Aku tidak ingin bertemu Bumi dalam rasa seperti ini, rasa
yang dulunya hanya ku kenal sebatas imaji dengan rindu yang menggebu hingga
tumpah ruah dalam Rekam Imaji, tapi kini justru ku pertanyakan sendiri.
Bagaimana ketika Bumi dan temu adalah nyata? Lalu apa setelah temu? Bersama,
hidup bahagia selamanya? Apa sesimpel itu? Apa nyaliku telah sampai pada
tahapan itu? Apa...Bumi memiliki nyali menjadi sepasang hingga senja?


Sesungguhnya bukan
rasa yang ku sangsikan, tapi nyalimu. Setelah sekian waktu ku pertaruhkan nyali
dan tunggu..aksaramu kadang bisu, kadang lisanmu merayu, ulur hati dan waktu.
Kamu Cuma tahu menimbang rasamu..Menunggumu kadang serasa sia belaka,
mencintaimu, mempertaruhkan nyali hingga tak setetes tersisa.
dan waktu.
Kamu Cuma tahu menimbang rasamu..Menunggumu kadang serasa sia belaka,
mencintaimu, mempertaruhkan nyali hingga tak setetes tersisa.





~ (oleh @NadiaAgustina)

0 comments em “Rekam Imaji #9”

Post a Comment