Warung Bebas

Monday, 19 September 2011

#5 A Decision for A Choice




            Pada saat jam makan siang, Kafetaria FKUI selalu dipenuhi oleh para pengunjung yang kelaparan. Bukan hanya para mahasiswa/mahasiswi yang makan di tempat itu, tetapi juga para dosen, dokter, dan praktisi kesehatan lainnya yang bekerja di FKUI atau di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di sebelahnya.. Rasa bintang lima dengan harga kaki lima adalah suatu rahasia umum yang dibutuhkan oleh sebuah tempat makan untuk laris dipenuhi pengunjung dan Kafetaria itu memenuhi syarat tersebut.

Ariyo berdiri di depan counter Kafetaria FKUI sambil membawa nampan berisi sepiring nasi dengan bistik sapi dan segelas es kelapa muda. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan untuk mencari meja yang kosong. Tidak beberapa lama kemudian dia melihat ada pengunjung yang baru saja beranjak pergi. Posisinya berada di sudut terdalam dari Kafetaria tersebut. Sesuai dengan keinginannya. Dengan sedikit terburu-buru dia berjalan ke meja tersebut. Sebagian kecil es di dalam gelasnya jatuh ke dalam nampan, tetapi dia tidak memiliki pilihan lain. Sedikit saja terlambat, akan ada orang lain yang menempatinya.
Dia baru setengah jalan menikmati makanannya saat sebuah tepukan keras mendarat di bahunya dan membuatnya tersedak.
"What the f..." Dia mendongak dan melihat wajah Erlangga dan Aldian yang sedang membawa nampan berisi makanan di hadapannya.
"Gue keselek, bodoh!" seru Ariyo sambil menenggak minumannya.
            "Sorry... Bercanda sedikit." Erlangga tertawa kecil. "Lagian tiba-tiba menghilang begitu saja, tahu-tahu sudah makan di sini."
            "Gue kira loe akan makan bersama Lena dan Aldi biasanya juga sudah menghilang bersama Ima."
            Erlangga dan Aldian mengambil tempat di hadapan Ariyo yang sudah kosong. "Lena sudah ada janji bersama teman-temannya, kalau Aldi..."
            "Ima tidak tahu kemana, tapi tadi dia meninggalkan pesan supaya gue menjemputnya di Gramedia Matraman..." Aldian melihat arloji tangannya. "Sekitar sejam lagi."
            Ariyo dan Erlangga mendengus bersamaan. Aldian memang tidak pernah bisa melawan segala perintah pacarnya itu.
            Mereka bertiga menikmati hidangan masing-masing sambil mengobrol satu sama lain. Ariyo baru saja menyelesaikan piringnya, saat Aldian tiba-tiba menanyakan sesuatu kepadanya.
            "Jadi? Loe pergi kemana saja bersama Adiana?"
            Erlangga terbatuk. Dia menatap sahabatnya tersebut dengan terkejut, tetapi kemudian segera menyadarinya.
            "Ima?"
            Aldian mengangkat bahunya. "Memang siapa lagi?"
             "We've been bestfriend for about five years and you still don't tell us this..." Erlangga menggelengkan-gelengkan kepalanya. "Jadi? Ada apa dengan loe dan Adiana?"
"Well..." Ariyo mencoba mengatur kata-katanya. "Tidak ada apa-apa. Just like that..."
Erlangga memukul sahabatnya itu. "Yeah right... Nothing... Tapi loe dan dia kencan berdua." tatapan mata Erlangga penuh penilaian.
"Itu bukan kencan." Ariyo memberikan tekanan pada nada suaranya. "Gue cuma menemani dia membeli kado untuk ulang tahun nyokapnya, itu saja. Biasa saja."
"Dari semua cowok yang ada, dia memilih loe untuk menemaninya. Gue rasa itu sudah cukup menjelaskan. Ayolah, ceritakan saja apa adanya. Ini gue sama Aldi, Yo. Loe santai saja."
Untuk sesaat Ariyo tampak hendak berkelit dan mengalihkan pembicaraan. Tetapi melihat sinar mata dari kedua sahabatnya, dia tahu bahwa dia tidak akan bisa melarikan diri kali ini.
Ariyo menghela napasnya. "Loe berdua ingin tahu apa lagi? Memang tidak ada yang perlu diceritakan. Baiklah, gue mengakui, gue dan Adiana mungkin memang sedikit lebih dekat akhir-akhir ini, tapi tidak ada apa-apa di antara kami berdua. Kami hanya teman biasa."
"Dan menurut loe dia juga berpikir seperti itu?" tanya Aldian.
Ariyo terdiam sejenak. "Sepertinya begitu."
"Sepertinya? Loe tidak yakin, ya?"
Ariyo berdecak sinis. "Dengar, gue bukan cenayang yang bisa membaca pikiran orang. Bagaimana bisa gue tahu apa yang dia pikirkan? Dan lagipula... Gue tidak peduli dengan apa yang dia pikirkan." jawab Ariyo dingin.
Erlangga tertawa sinis. "Masih juga belum berubah."
"Memangnya apa yang harus dirubah? Gue rasa gue baik saja-saja." nada suara Ariyo mulai meninggi.
"Sudah, sudah... Cukup sampai di situ." Aldian menengahi.
Selama beberapa lama tidak ada yang berbicara di antara mereka bertiga, hingga Erlangga angkat suara. "Sampai kapan loe akan terus begini, Yo? Kejadian itu memang buruk, tetapi itu sudah terjadi. Yang sudah terjadi, terjadilah. You should forget the past and think about the future..."
"Easy for you to say that... Bukan loe yang melakukannya." tukas Ariyo dengan nada marah. "Lagipula, berapa kali harus gue bilang dari dulu kalau gue tidak membutuhkan pendapat dari loe berdua!"
Erlangga mendengus. "Masalahnya, terlihat jelas kalau loe tidak bisa berpikir jernih."
Ariyo menatap sahabatnya tersebut dengan dingin.
Erlangga menggelengkan kepalanya. "Gue rasa "orang itu" juga akan kecewa kalau melihat loe seperti ini."
Ariyo berdiri dengan marah. Tanpa berkata apa-apa dia segera beranjak pergi dari tempat itu. Hampir menabrak seorang mahasiswi di pintu masuk Kafetaria. Gadis tersebut berteriak marah kepadanya, tetapi dia mengacuhkannya dan terus berjalan. Erlangga dan Aldian memperhatikan semua kejadian tersebut.
Aldian bersiul pelan. "Fuuuhh... Lagi-lagi loe berdua berantem soal masalah ini."
"Yah... Mungkin memang harus ada memukul kepalanya agar dia mengerti." ujar Erlangga seraya menghabiskan teh botolnya.
"Give him a break, Ga... Dia masih belum bisa melupakan kejadian itu. Ryo masih butuh waktu untuk berkompromi dengannya. Dosa itu terlalu berat baginya untuk dia tanggung."
Erlangga mengibaskan tangannya. "Kita semua memiliki dosa kita masing-masing. Dan masing-masing dari kita harus menanggungnya. Tapi bukan berarti kita harus terikat olehnya. Kita semua mencari penebusan dari dosa kita, tapi penebusan bukan berarti kita bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Kenyataan yang buruk tidak akan pernah hilang. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah melangkah maju untuk memastikan kita tidak akan pernah lagi melakukan hal yang sama."
Aldian mengangguk-angguk membenarkan perkataan sahabatnya tersebut. "Menurut loe, dia akan bisa melakukan semua itu?"
Erlangga menerawang jauh. "Well... Lebih tepat bila dikatakan dia harus. Kalau tidak, dia akan terus menderita seumur hidupnya."
Mereka berdua tidak berkata-kata lagi setelah itu dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Bangunan FKUI tidak menempati lahan di Salemba sendirian. Di sekitarnya terdapat banyak bangunan fakultas-fakultas lain dari Universitas Indonesia, seperti Fakultas Kedokteran Gigi, Program Pasca Sarjana, Program Ekstensi, dan beberapa bangunan lain lagi yang di luar fungsi pendidikan. Di salah satu bangunan tersebut terdapat sebuah kafe yang lebih sering digunakan sebagai tempat makan oleh orang-orang di luar Fakultas Kedokteran, meskipun ada juga sebagian kecil yang memilih makan di tempat tersebut.
 Adiana sudah menunggu di 7 Cafe selama hampir setengah jam. Dia sudah menghabiskan satu gelas jus Mangga, tetapi orang yang ditunggunya belum datang juga. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Meskipun begitu, dia tahu dia harus tetap menunggu di sana karena orang tersebut yang menyuruhnya menunggu di sini. Dan seterlambat apapun, orang itu selalu menepati janjinya.
Saat Adiana mengedarkan pandangan ke sekitar kafe, dia dapat melihat bahwa Kafe tersebut tidak terlalu ramai. Hanya ada 1-2 meja yang terisi selain mejanya. Tidak terlalu mengherankan karena memang saat ini sudah sedikit melewati jam makan siang. Adiana sebenarnya merasa lapar, tetapi dia harus sabar menunggu untuk bisa mengisi perutnya karena orang tersebut tidak suka bila ada yang mendahului makan di saat mereka sudah berjanji untuk makan bersama. Setidaknya jus mangga tadi sedikit membantu untuk mengganjal perutnya.
 Pintu 7 Cafe terbuka. Seketika Adiana menoleh ke sana. Sepasang laki-laki dan perempuan melewati pintu tersebut dan menempati sebuah meja di ujung ruangan. Adiana menghela napas. Setelah berpikir beberapa saat, dia meraih Blackberry-nya dan menekan beberapa nomor. Dia baru akan menekan tombol dial saat Aditya Hermawan memasuki kafe tersebut.
"Sorry, aku terlambat. Tadi masih banyak harus kukerjakan bersama kelompok diskusiku." kata Aditya seraya menarik kursi di depan Adiana.
"Ah, tidak apa-apa kok. Aku juga belum lama di sini."
"Kalau begitu ayo kita pesan makanan. Aku sudah lapar sekali." tukas Aditya seraya tangannya mengangkat memanggil pelayan kafe tersebut.
Sembari menunggu makanan, mereka berdua mengobrol selayaknya pasangan yang baik. Sesekali suara tawa menghiasi obrolan mereka. Tidak beberapa lama kemudian, seorang pelayan wanita datang membawakan pesanan mereka. Spagehtti Carbonara dan Jus Melon untuk Aditya, sedangkan untuk Adiana, Oyakodon dan sebotol air mineral. Meskipun menyukai jus, tetapi untuk makanan Adiana tidak pernah berubah, air mineral adalah pasangan terbaik menurutnya.
Keduanya mulai melahap makanan mereka sambil meneruskan mengobrol. Mereka berdua sudah menghabiskan sekitar tiga perempat porsi makanan mereka, saat Aditya berkata sesuatu kepada Adiana. 
"Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan sama kamu hari ini sekalian makan siang."
Adiana menatap laki-laki itu dengan penasaran. "Membicarakan apa?"
Aditya menyedot jus melonnya sebelum menjawab. "Bukan apa-apa... Aku cuma minta supaya kamu dan Ryo tidak saling berhubungan lagi."
Adiana tersedak mendengarnya. Dia segera meminum beberapa teguk air mineralnya, sebelum merespon kata-kata Aditya.
"A... Apa maksud kamu?"
"Maksud aku tepat seperti yang aku katakan. Aku tidak mau kamu bertemu, berbicara, atau apapun dengan dia."
"Ta... Tapi... Memangnya kenapa... Maksud aku..." Adiana berusaha semampunya untuk merangkai kalimatnya. "Kenapa Ryo harus ada sangkut pautnya dengan kita?"
Aditya menatap gadis itu dengan sinis. "Bukannya sudah jelas? Aku juga sama dengan semua cowok di dunia ini. Tidak akan ada cowok yang suka bila ceweknya dekat dengan laki-laki lain."
"Ah, tapi... Aku dan Ryo tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya sebatas teman biasa, itu saja."
"Oh ya? Kamu tidak memberitahu aku kalau kamu mau pergi berdua bersama Ryo ke Grand Indonesia. Kalau aku tidak menelepon kamu waktu itu, mungkin kalian berdua tidak akan pulang-pulang, ya."
"Tidak... Bukan begitu... Aku..." Adiana merasa seperti kehabisan kata-kata.
"Dan sewaktu di rumah kamu, bukannya kamu juga sudah mengaku salah dan bilang kepadaku bahwa kamu tidak akan berbuat seperti itu lagi? Aku waktu itu kamu tidak serius mengatakannya?" Aditya menatap tajam ke arah Adiana.
"I... Iya, tentu saja aku serius. Tapi maksudku bukan seperti in..." kata Adiana panik.
"Aku justru membantumu untuk mempermudahnya kan?" potong Aditya.
Adiana merasa lemas. "Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu? Kita semua kan satu angkatan. Masa kamu berharap aku sama sekali tidak menyapanya kalau bertemu di jalan? Itu tidak mungkin, Adit. Bagaimana caranya?"
"Ya, tepat sekali seperti itu harapan aku. Masalah bagaimana caranya, bukannya seingat aku juga sebelumnya kalian berdua tidak pernah saling bertegur sapa? Anggap saja ini mengembalikan ke keadaan sebelumnya saat semuanya sesuai pada tempatnya."
Adiana merasa kehabisan kata-kata.
"Tapi aku akan memberi kamu satu kesempatan terakhir untuk berbicara dengan Ryo. Kamu jelaskan saja pada dia apa adanya, bahwa aku tidak suka kalau dia masih mendekati kamu. Beres kan? Kalau dia memang seorang cowok seharusnya dia bisa mengerti itu." kata Aditya seraya memasukkan suapan terakhir makanan ke dalam mulutnya.
Adiana merasa banyak sekali yang ingin dia ucapkan, tetapi serasa ada yang mengelem mulutnya rapat-rapat. Dia hanya dapat tertunduk lemas di kursinya, memikirkan apa yang harus dilakukannya kepada Ariyo.

Aditya membanting tasnya dengan keras ke dinding ke atas meja belajar kayunya. Raut wajahnya tampak menunjukkan kemarahan yang teramat sangat. Dia masih merasa sangat terganggu dengan apa yang dikatakan Erlangga siang ini di Kafetaria FKUI. Laki-laki itu membuka kemeja kotak-kotak merahnya dan mencampakkannya begitu saja di lantai. Dengan masih mengenakan kaos dalam dan celana jeans, dia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Pandangannya menerawang ke arah langit-langit.
Forget the past? Ariyo mendengus sinis. Memberikan saran memang terasa lebih mudah bila tidak mengalaminya sendiri. Do me a favor... Try to put your feet in someone else's shoes, then see if you can walk with it!
Semakin lama dia memikirkannya, semakin besar amarah yang berkumpul di hatinya. Sambil mengerang keras dia berkali-kali meninju dinding di samping tempat tidurnya, hingga buku-buku jarinya mulai mengeluarkan darah. Pembuluh-pembuluh darah di wajahnya dipenuhi oleh darah hingga wajahnya terlihat memerah. Dengan terengah-engah dia menurunkan tangannya ke samping tubuhnya. Tidak ada sedikit pun rasa sakit yang dirasakannya.
Dia baru saja mulai mengatur napasnya, saat cordless phone  hitam miliknya berdering nyaring. Dengan malas dia mengangkat cordless phone  tersebut dan menerimanya sambil duduk di atas kursi meja komputernya.
"Halo?"
"Halo... Ryo, ini gue..."
Ariyo mengerutkan dahinya. "Adia? Ada masalah penting apa?"
"Eh, darimana loe tahu kalau gue menelepon untuk masalah penting?"
"Well... Pertama-tama, ini adalah telepon dari loe yang pertama. Biasanya kita berbicara melalui blackberry messenger. Jadi kalau loe berbuat di luar kebiasaan, itu memberi tahu gue kalau ada sesuatu yang penting."
"Oh i... Iya ya... Loe sedang apa sekarang, Yo? Lagi sibuk di rumah?"
"Sibuk di rumah? Kegiatan gue tidak sebanyak itu sampai gue harus sesibuk itu. Tidak sedang apa-apa."
"Oh, ya... Baguslah... Semoga gue tidak menganggu, ya..."
Ariyo dapat menangkap ada yang salah dari nada suara gadis tersebut. "Adia, ada apa? Loe tidak terdengar seperti biasanya."
"Emm... Sebelumnya, sekali lagi terima kasih ya Ryo, loe sudah menemani gue membeli kado ulang tahun untuk Ibu. Ibu senang sekali menerima hadiah itu. Pilihan kado yang bagus."
"Well, glad you're Mom like it... Tapi gue rasa loe tidak menelepon cuma untuk memberi tahu itu, kan?"
"Tidak..." suara Adiana menghilang sejenak. "Ngg... Ryo, apa loe ingat waktu itu ada yang menelepon gue di Grand Indonesia sebelum kita pulang? Yang kita sempat berpisah selama beberapa menit?"
Mana mungkin gue melupakan ekspresi wajah loe waktu itu.
"Ya, gue ingat. Dan setelah itu sampai perjalanan pulang loe bersikap aneh sekali. Sebenarnya siapa yang menelepon waktu itu?" tanya Ariyo.
"Eh... Emm... Itu... Aditya." jawab Adiana denga suara bergetar.
Entah mengapa Ariyo tidak merasa begitu terkejut mendengar jawaban Adiana tersebut. "Oh, begitu... Lalu apa hubungannya dengan loe menelepon sekarang?"
"Sebenarnya..."
Adiana menceritakan semuanya yang terjadi. Dari mulai Aditya yang memarahinya di telepon dan menyuruhnya untuk segera pulang, lalu bagaimana setelah itu Aditya datang tepat setelah Ariyo meninggalkan rumah Adiana dan menekannya habis-habisan di rumahnya sendiri. Selama Adiana menceritakan semua itu, tidak ada satupun komentar yang keluar dari mulut Ariyo. Laki-laki itu hanya diam mendengarkan.
Hingga akhirnya sampai pada waktu dimana Adiana tidak terdengar berbicara lagi. Barulah Ariyo angkat bicara.
"Jadi... Loe menelepon gue untuk menceritakan semua itu?"
"Well... Ya dan tidak..." Adiana terdengar gugup saat mengatakannya. "Salah satunya memang itu, tapi masih ada alasan lain..."
"Alasan apa?"
"Ngg... Sebenarnya... Adit tidak suka kalau kita dekat seperti ini. Jadi..." Adiana menelan ludah sebelum mengatakannya. "Dia meminta supaya kita tidak berhubungan lagi."
Lama tidak ada reaksi atau jawaban dari sisi Ariyo. Hingga Adiana kembali mulai berbicara.
"Ryo... Katakan sesuatu, jangan diam saja. Jadi kita harus bagaimana?" tuntut Adiana.
"Dan apa jawaban loe atas itu?" tanya Ariyo.
"Gue... Gue tidak tahu, Yo. Menurut loe bagaimana gue harus menjawabnya?"
Ariyo berdecak. "Salah satu kebiasaan buruk loe adalah di saat loe dihadapkan pada sebuah pilihan, loe selalu tidak bisa memberikan keputusan sendiri. Loe selalu melarikan diri dan hanya mengikuti orang lain. Kenapa loe harus selalu meminta saran orang lain untuk menyelesaikannya?"
Adiana mengabaikan kesinisan Ariyo. "Karena gue harus meminta pendapat loe, Ryo. Ini kan bukan cuma menyangkut gue, tapi juga loe."
"Gue? Apa hubungannya dengan gue? Ini masalah antara loe berdua. Gue tidak mau terlibat di dalamnya."
Adiana tidak percaya Ariyo bisa mengatakan hal tersebut. "Bagaimana loe bisa berbicara seperti itu? Sedikit banyak loe termasuk ke dalam semua ini. Yang dipermasalahkan oleh Adit bukan hanya gue seorang, tapi kita berdua. Jadi loe juga harus memikirkannya."
Ariyo terdiam selama beberapa lama, sebelum akhirnya menjawab. "Ya sudah... Kalau begitu berarti sebaiknya mulai sekarang kita tidak terlalu dekat lagi."
Adiana merasa seperti tersambar petir mendengarnya. "A... Apa? Jadi loe baik-baik saja dengan hal ini? Loe akan setuju begitu saja?"
"Memangnya kenapa? Gue tidak mau sampai harus terjebak di tengah-tengah hubungan orang lain. Kalau memang cowok loe itu maunya seperti itu, ya sudah. Terserah saja."
Adiana setengah berteriak. "Bagaimana loe bisa semudah itu mengatakannya?! Loe itu salah satu teman dekat gue, Ryo! Apa buat loe semua ini tidak ada artinya?! Apa buat loe gue bukan teman yang penting buat ada?!"
Ariyo menghela napas. "Adia... Jadi sebenarnya loe itu maunya bagaimana? Loe minta gue menjawab dan itu jawaban gue. Kenapa sekarang loe jadi marah-marah?"
"Ya, karena..." Adiana sedikit kebingungan menjawabnya. "Karena loe sepertinya sama sekali tidak menganggap penting pertemanan kita. Gue tidak mau kehilangan seorang teman dekat gara-gara hal ini. Apa bagi loe gue bukan teman yang penting buat loe?"
"Dan loe mau kehilangan cowok loe itu?" tanya Ariyo singkat.
"Ah, itu..."
Lama tidak tedengar suara apapun dari Adiana. Gadis itu berusaha sekuat mungkin untuk menyusun kalimat di dalam pikirannya, tetapi seperti ada yang menghambat aliran saraf di otaknya hingga yang ada hanyalah kekosongan dalam pikirannya.
Ya Tuhan... Kumohon berikan aku kata-kata. Apa saja!
Ariyo berkata dingin. "Sikap diam loe sudah menjawab semuanya. Loe sebenarnya sudah membuat pilihan. Loe hanya berharap ada orang yang mengatakan pada loe, bahwa itu bukan pilihan yang benar."
"Seandainya... Ini hanya seandainya... Pilihan itu terjadi... Menurut loe itu pilihan yang benar?" tanya Adiana pelan.
"Apa yang gue pikirkan tidaklah penting. Pada kenyataannya, benar atau salah bukanlah permasalahan yang utama, yang penting adalah pilihan itu sendiri. Loe memilih dan loe terima apapun hasilnya."
"Meskipun itu artinya kita tidak bisa saling berteman lagi?"
Suara Adiana tiba-tiba terdengar sangat dingin. Bahkan Ariyo pun dapat merasakannya. Laki-laki itu terdiam sesaat karena terkejut. Ini pertama kalinya dia mendengar suara gadis itu menjadi seperti ini.
"Well... Tidak ada utopia di dunia ini. Loe tidak bisa melakukan sesuatu, kemudian berharap bahwa itu akan membuat semua orang senang. Setiap pilihan yang kita ambil akan selalu menyenangkan satu pihak dan mengecewakan pihak yang lain."
"Dan loe termasuk ke pihak yang mana?"
"Gue? Gue tidak termasuk ke dalam keduanya. Menurut gue adalah suatu hal yang wajar kalau sampai masalah ini terjadi. Gue hanya menempatkan diri secara obyektif. You just do what you gotta do..."
"Berarti memang loe sama sekali tidak menganggap bahwa kehadiran gue penting buat loe..." suara Adiana menyiratkan kekecewaan yang amat mendalam.
Tiba-tiba Ariyo merasa ada perasaan bersalah di hatinya. "Bukan begitu, Adia... Hanya saja..."
"Sudah cukup! Loe tidak perlu bicara apa-apa lagi!" teriak Adiana marah. "Gue kecewa sama loe, Yo. Sama sikap loe, pemikiran loe, semuanya! Jujur saja gue senang karena gue kira selama ini gue memiliki seorang teman dekat yang bisa gue ajak berbagi dan menghabiskan waktu bersama. Waktu Adit meminta gue untuk tidak lagi berhubungan sama loe, gue berpikir bahwa pertemanan kita cukup berharga untuk dipertahankan." Adiana tertawa miris. "Tapi ternyata cuma gue yang berpikiran seperti itu."
Ariyo dapat mendengar suara Adiana mulai bergetar dan terdengar sedikit sengau.
"Adia, gue tidak bermaksud..."
"Gue benar-benar bodoh, ya... Tenggelam dalam pemikiran gue sendiri, tanpa sadar bahwa semuanya cuma harapan kosong belaka..."
"Adia, dengarkan gue..."
"Tidak, Ryo! Loe yang dengarkan gue!" perintah Adiana sambil berteriak.
Kali ini Ariyo jelas mendengar Adiana berbicara sambil menangis. Nada suaranya dipenuhi dengan kekecewaan dan kemarahan. Tiba-tiba Adiana merasa tidak mampu berbicara lebih banyak lagi, sehingga hanya-hanya tiga kata singkat yang keluar dari mulutnya.
"Ryo...  Selamat tinggal..."
"Adia..."
TUT... TUT... TUT....
Hanya nada telepon terputus yang terakhir didengar oleh Ariyo.


~ (oleh @Satrio_MD)

0 comments em “#5 A Decision for A Choice”

Post a Comment