Tiga hari kemudian, aku menjemput Lisa dan Hye-jin di bandara. Pesawat dari Korea Airlines tiba lebih dahulu dan Hye-jin, yang tiba-tiba mengingatkanku dengan Yoon Eun Hye, langsung memekik girang begitu melihatku. Sementara pesawat transit dari Taiwan tiba lima menit kemudian dan Lisa muncul dengan sunglasses terpasang diwajahnya.
"Aaaahhh, seneng bisa ketemu kalian lagi!" Hye-jin merangkul pundakku dan Lisa. "Jadi, sebelum kita mulai laporan terakhir, ngapain dulu, nih?"
"SPA!" seruku dan Lisa mantap.
Setelah kembali ke asrama untuk menaruh barang-barang; aku, Hye-jin, dan Lisa langsung pergi ke tempat spa langganan kami. Aku tahu sebenarnya mereka masih dilanda jetlag, tapi baik Lisa maupun Hye-jin, mereka tetap ingin melepas penat dulu dengan pijat relaksasi. Lumayan, aku juga ingin melepas beban pikiran.
Hye-jin yang pertama menceritakan liburannya yang menyenangkan di Pulau Jeju dan Pantai Incheon – dua tempat rekreasi favorit di Korea Selatan. Dia menyesal karena lupa mencari Adrian yang juga menghabiskan liburan musim panasnya di sana. Tapi, dia tidak lupa memberiku dan Lisa oleh-oleh berupa patung batu wanita tua dari Pulau Jeju.
Tapi, Lisa sebaliknya. Dia tidak bisa menikmati liburannya dan malah membantu kedua orang tuanya di kedai pizza dan pasta. Namun, bagiku, itu terdengar menyenangkan karena Lisa tinggal di daerah pedesaan Italia. Setiap harinya, dia mengurus anak-anak kecil yang senang bermain di sekitar kedai, sementara para orang tua bercengkrama di dalam.
"Aku nggak bawa apa-apa selain resep pasta terbaru," katanya setengah mendengkur. "Kita bikin buat makan malam, ya?"
Hye-jin mengangguk setuju, lalu matanya melirik padaku. "Kamu nggak pulang ke Indonesia, ya, Dit?"
Tiba-tiba saja, suhu ruangan di tempat sauna jadi makin panas.
"Emh, iya, aku liburan di Norfolk sama temen," paparku pendek. "Nothing special. Paling cuma festival kembang api."
Lisa dan Hye-jin bertukar pandang. "Oke, so tell us about the festival. Perayaan empat Juli, ya?"
Sial! Ini sih ceritanya aku mengarang bebas! Aku berusaha tenang saat menceritakan festival kembang api itu. Dengan membuang Ares dan menggantinya dengan Helen, membuatku jadi lebih lihai sebagai pendongeng. Hye-jin dan Lisa cukup terperangah ketika aku menceritakan festival di Virginia Beach Boardwalk dan parade kembang apinya yang menghidupkan langit. Uap di ruang sauna setidaknya mengaburkan wajahku yang memerah karena menahan tangis.
Bukannya tidak percaya, tapi aku merasa kurang nyaman untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Norfolk pada mereka berdua. Aku hanya bisa menceritakannya pada orang-orang tertentu...
...dan kenapa aku bisa senyaman itu dengan Adrian?
"Wah, sayang kamu nggak sempet foto kembang apinya," keluh Lisa. "Padahal, itu bisa jadi kenang-kenangan begitu kita beres kuliah di sini."
Hye-jin malah mendesah sedih. "Kurang dari sebulan lagi kita bareng-bareng di Athens..."
Itu membuatku sedih juga. Sudah hampir satu tahun kami berjuang bersama di sini; sejak 'pemolesan' Bahasa Inggris di bulan pertama, pengenalan kampus, kamar asrama yang berdekatan (room mate Hye-jin kyang bersahabat dengan kami), dan ada banyak hal lainnya yang bisa membuat kami sedekat ini.
"Tapi, kita nggak boleh lost contact ya setelah keluar dari kampus?!" kataku yang langsung disambut anggukan Lisa dan Hye-jin.
***
Setelah girls day out, hari-hari kami dipenuhi dengan kesibukan kuliah yang seharusnya tidak terjadi di musim panas! Kelas non-formal memang tidak sepadat kelas formal. Tapi waktunya
benar-benar membuat kami jadi malas datang. Entah itu sebelum atau sesudah makan siang – siapapun tidak mau duduk selama 90 menit di tengah cuaca yang indah untuk bersantai. Ini mengingatkanku dengan kelas Sejarah Nyonya Dodds di bangku SMA dulu.
Well, kalau bukan untuk membantu penyusunan laporan terakhir kami... Siang itu, aku memutuskan untuk menikmati *iced coffee latte *di kafetaria sendiri, karena Hye-jin dan Lisa masih membutuhkan waktu untuk membalas dendam *jetlag *mereka. Pilihanku untuk memakai tank top, kemeja lengan pendek, dan celana jins selutut adalah keputusan yang tepat. Panasnya sedang tidak wajar.
"Beanieeee!!!"
Tiba-tiba, seseorang duduk dihadapanku dan memotret dengan... polaroid! Aku terkesiap kagum, well, dan itu Adrian yang sedang memegangnya. Dia menyeringai, mengambil foto dari polaroidnya, lalu dikipas-kipaskan ke udara.
"Kamu..." Aku mencondongkan kepala untuk mengamati polaroidnya "... dapet ini darimana? It's the classic one!"
"Lelang musim panas di Seoul. Ya, dan ini memang polaroid antik." Adrian mengelus sayang polaroid hitamnya. Lalu, dia menodorkan hasil foto tadi. aku mengerucutkan bibir – dia berhasil memotretku yang sedang membuka mulut karena kaget.
"Pinjem!" Aku menyambar paksa polaroidnya dan Adrian tidak memberontak. Dia malah tersenyum senang saat aku memotretnya. "Nggak adil! Aku juga mau punya foto bagus dari polaroid!"
"Sini, sini!" Adrian mengambil kembali polaroidnya, sementara aku mencari pose terbaik saat dia mengacungkan tiga jari untuk hitungan mundur. "Tiga, dua, satu!"
Kami tergelak melihat foto-foto itu. Well, sebenarnya aku tahu benar Adrian adalah penarik perhatian yang baik – sejak dia masuk ke kafetaria, sebagian besar mahasiswi di sini langsung meliriknya. Tapi, dia tetap cuek, begitu juga aku.
"Siap untuk farewell party di rumah Tuan Ryjeka akhir bulan ini?"
"Hmm?" Aku melamun sejenak. Oh, farewell party itu! Tuan Ryjeka sejak awal sudah menjanjikan sebuah pesta perpisahan untuk para mahasiswa asing. Beliau mengingatkanku dengan Morrie, dosen favorit Mitch Albom. Tuan Ryjeka, meski sudah berusia 54 tahun, masih segar bugar seperti pria di usia 30-an. Hanya butuh waktu dua minggu baginya untuk membuat para mahasiswa asing dekat satu sama lain tanpa memandang dari negara mana kami datang. Cara mengajarnya juga menyenangkan.
"Beliau pasti dosen yang mengesankan, ya?" gumam Adrian, membuyarkan lamunanku. "Aku sempat menyaksikan speech-nya di semester dua. Wow."
"Ya, dan aku nggak akan pernah lupa dengan aksen Yorkshire-nya itu," tambahku sambil mengelus polaroid Adrian. "Eh, emangnya kamu bakal dateng ke sama? Itu kan buat anak-anak dari Hubungan Internasional aja."
"'Pers'," katanya sambil memberi tanda kutip. "Tuan Ryjeka sendiri yang minta pestanya diliput." Oke.
Aku sedang menyeruput sisa iced coffee latte ketika mataku menoleh ke arah ambang pintu kafetaria. Mataku membelalak kaget – Hye-jin dan Lisa ternyata berdiri di sana sambil menunjuk Adrian. Dahiku mengerut karena bingung dan malah ikut-ikutan menunjuk Adrian.
"Apa sih?" Adrian ikut menoleh ke ambang pintu, membuat Hye-jin dan Lisa terkesiap, lalu melambai pada kami sebelum berlari menjauh. Adrian kembali menatapku. "Temen-temen kamu?"
"Yup, and they adore you," jawabku setengah menggoda, tapi itu malah membuatnya tertegun. Nampaknya, hal ini terdengar asing bagi Adrian.
"Kenapa? Nggak ngeh kalau selama ini banyak cewek yang suka sama kamu?" Adrian tiba-tiba tergelak dan mengagetkan beberapa mahasiswa di sekitar meja kami. "Uh, maaf, tapi..." kepalanya tercondong padaku "...seberapa banyak?"
ASTAGA! Aku yang sekarang tergelak, lalu menempelkan telunjuk pada dahinya dan mendorong kepalanya menjauh. Bisikan-bisikan terdengar makin jelas –pasti banyak yang menyangka kami sedang... berkencan. Karena, sebelumnya, jarang sekali Adrian terlihat bersama seorang cewek.
"I should've not told you about that."
"Ya." Kepalanya terangguk. "You should've not."
Karena terlalu asyik mengobrol, aku hampir melewatkan kelas pukul tiga sore. Setelah iced coffee latte habis dan memasukkan buku-buku kembali dalam tas, aku beranjak dari kursi. "Aku masuk kelas dulu, ya?"
"Oke. Mau diambil nggak fotonya?" tanya Adrian sambil menunjuk foto-foto yang diambil dari polaroid tadi.
"Simpen aja dulu, aku nggak tahu nanti fotonya mau disimpen dimana." Kemudian, aku menunduk padanya dan berbisik, "Soal yang malam itu, janji ya cuma kamu yang tahu? Aku... nggak nyaman cerita sama yang lain."
Kepalanya terangguk. "Sure. Goodluck, love goddess!"
***
~ (oleh @artemistics)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)