Warung Bebas

Tuesday, 20 September 2011

Ricardo dan Rahasia

Ku buka mataku, aku melihat langit-langit ruangan yang tidak asing lagi, ini kamarku. Ku rasakan seseorang menggenggam tanganku. Aku melihat sosok Ricardo menundukkan kepala, mungkin tertidur, aku menggerakkan tanganku yang sedang dia genggam. Dia mengangkat kepalanya. Sudut bibirnya berdarah, pipinya sedikit lebam.
“Nar, lo udah sadar? Lo baik-baik aja?” ucapnya saat pertama kali melihatku, aku menyentuh wajahnya, luka-luka yang dia dapat karena membelaku, aku menangis dan meminta maaf kepadanya.
“Maafin gue, Do.. maafin, lo jadi kayak gini..” ucapku sambil menangis melihat luka-luka di wajah Ricardo.
“Nar, sebenarnya ada apa? Ngapain Radit kayak gitu ke lo? Gue gak akan ngampunin dia. Jangan sampe gue ngeliat dia lagi” ucapnya dengan nada emosi.
“Kenapa lo bisa di sana, Do? apa aja yang lo denger dari pembicaraan kami?” tanyaku.
“Gue jemput dan nungguin lo di parkiran biasa, lo gak dateng-dateng, gue telepon hp lo mati, gue inget lo ada kuliah di ruang C, gue samperin dan gue liat Radit lagi nyiumin lo dengan paksa dan elo berontak, tanpa fikir panjang gue hajar tu orang. Lalu lo pingsan, pas itu juga banyak yang dateng ke kelas mungkin karena denger suara gue berantem sama tu bajingan. Kita dipisahin, gue langsung gendong lo, pas tau lo gak sadarin diri, dan bawa lo ke mobil...” jelasnya.
Aku tersenyum sambil masih menggenggam tangannya.
“..gue bingung, Nar. Gue juga takut lo bakal kenapa-kenapa, sangking paniknya gue malah gak bawa lo ke RS, gue bawa lo pulang, tapi rumah lo kosong. Gue cari kunci rumah lo di tas lo, dan yaudah, gue tidurin lo di tempat tidur, ngasih lo minyak kayu putih di hidung biar sadar. Gue bilang ke diri gue sendiri, kalau sampe 10 menit lagi lo gak sadar gue bawa lo ke RS” lanjutnya.
Aku memegang sudut mata kanannya dengan tangan kananku, “Lo nangis, Do?” tanyaku sambil tersenyum.
“Hah? Kagak, apaan nangis. Lo tuh nangis” kelaknya sambil membalikkan wajahnya, menyapu wajahnya dan kembali melihat wajahku.
“Sekarang cerita, kenapa tu bangsat bisa kaya gitu ke elo?” tanya Ricardo dengan nada serius.
Kuhelakan nafas, melepas genggaman tangan kami, memalingkan wajah dan mulai bercerita dari awal hubunganku dengan Radit. Bagaimana kami bisa menjadi sepasang selingkuhan yang saling menyelingkuhi pasangan masing-masing. Apa saja yang telah aku lakukan dengan Radit di belakang pasangan kami, dan siapa Dini. Ricardo tidak menyelak perkataanku, dia mendengarkan dengan raut wajah seakan tidak percaya. Tidak percaya bahwa aku, teman yang paling dia sayangi dan selama ini dia jaga bisa melakukan hal seperti apa yang aku ceritakan.
Ku selesaikan ceritaku, aku menatap Ricardo. Dia masih terdiam, aku memaklumi reaksinya.
“Kali ini gue udah kelewatan ya, Do..” aku tidak bertanya, aku membuat pernyataan.
“Sinting lo, Nar..” ucap Ricardo.
“..kenapa masalah begini ribetnya lo simpen sendiri? Lo gak nganggep gue? Kenapa lo gak cerita ke gue?” lanjutnya.
“Itu bukan hal membanggakan yang bisa gue bagi-bagi ceritanya ke elo, gue malu, Do.. takut juga, takut lo marah, takut lo ninggalin gue..” jawabku sambil menitikkan air mata dan menatap matanya.
“Gue kecolongan.. Radit bangsat!” ucap Ricardo kali ini.
“Maafin gue, Do..” ucapku lagi karena merasa bersalah menyembunyikan hal besar dari dia yang selalu menjagaku.
“Semua akan baik-baik aja, Nar.. Lo laper? Gue beliin makanan ya?” Ricardo beranjak dari tempat dudukku dan mengecup keningku, lalu meninggalkan kamarku. Aku melihat matanya berkaca-kaca saat meninggalkan kamarku.
Aku menangis selepas Ricardo meninggalkanku. Rumahku sunyi, tidak ada suara apapun yang terdengar kecuali suara pagar yang dibuka dan ditutup Ricardo untuk keluar dan membelikanku makanan. Aku mengenang apa yang baru saja terjadi antara aku dan Radit di kelas tadi, aku memegang bibirku, robekan baju yang Radit sebabkan. Aku marah, namun terlalu sedih untuk bisa melampiaskannya.
Ibuku malam ini menginap di rumah nenek karena tadi pagi katanya nenek sakit, entah kenapa aku merasa itu sebuah keuntungan, apa jadinya jika ibuku melihat keadaanku dan Ricardo saat ini? Dia pasti akan cemas. Entah alasan apa yang akan Ricardo pakai untuk menjelaskan luka di wajahnya kepada orang rumahnya nanti.
Aku mengecas hpku yang sedari siang mati, menyalakannya dan mendapati ada pesan dari Elang dan Dini masuk secara bersamaan.
-BBM masuk-
“Sayang, lagi-lagi lupa ngecas ya? Kalau kamu sudah bisa baca BBMku balas yah” dari Elang.
Elang masih belum menunjukkan sikap bahwa dia sudah mengetahui tentang aku dan Radit. Mungkin benar ucapan Radit tadi, dia mengancam Dini untuk menutupi apa yang Dini dengar dari pembicaraan kami di toko buku waktu itu.
“Maaf, aku baru nyalain hpku. Kamu lagi apa?” jawab BBMku ke Elang.
Aku membuka BBM dari Dini.
“Sinar, aku gak nyangka kamu tega gini sama aku? Sama mas Elang, sekarang sama Radit? Kamu ngapain dia sampai dia luka-luka kayak gini? Aku sembunyikan hubungan kalian selama ini dari mas Elang bukan karena kamu, semua semata demi mas Elang yang sangat mencintai kamu. Aku gak mau melihat mas ku terluka melihat kenyataan perempuan macam apa yang dia cintai. Ditambah dengan ucapanmu di toko buku siang itu, kamu bilang mau menyudahi hubunganmu dengan tunanganku. Aku anggap itu sebagai bukti penyesalanmu dan kamu mau berubah. Tapi apa? Malam ini aku mendapati tunanganku babak belur dihajar sahabatmu. Sampai kapan kamu mau berhenti menyakitiku, Sinar?” BBM yang sangat panjang dari Dini. Aku menghelakan nafas panjang selesai membacanya, dan aku tidak membalas sepatah katapun kalimat-kalimatnya. Aku masih penat.
--
Jakarta, 3 Juli 2011
Aku memutuskan tidak masuk kuliah dua hari ini, aku dan Ricardo sama-sama membolos. Kami berdua pergi ke salah satu mall dekat kampus, makan siang di sebuah restoran cepat saji. Saat kami ingin pulang, di parkiran aku melihat sedan hitam yang mirip dengan milik Bayang, aku lihat plat mobilnya, benar itu milik Bayang, Bayang ada di dalam mall ini. Aku ingin bertemu dengannya, sudah hampir tiga minggu aku tidak mendapatkan kabar tentang dia.
“Do, lo balik duluan yah, gue ada perlu sebentar” ucapku sambil membuka pintu mobil yang sedang berjalan pelan.
“Eh, sinting lo ya, buka pintu tiba-tiba gitu?! Mau kemana lo?” ucap Ricardo menghentikan mobil dan menurunkan kacanya.
“Ada yang harus gue beli, Do.. Lo balik aja” ucapku meninggalkan dia dengan sedikit berlari menuju pintu masuk mall lagi.
“Nar, Sinar..” Ricardo memanggilku, namun aku menghiraukannya. Aku harus ketemu Bayang!
Siasatku kembali ke pintu masuk mall berhasil, mobil Ricardo sudah menjauh. Aku kembali ke tempat parkir, menunggu Bayang kembali ke mobilnya, aku bersembunyi di balik mobil yang parkir di samping mobil Bayang.
Ada suara kunci mobil menyala, aku mengintip, benar lampu mobil Bayang yang menyala. Aku menanti sosok Bayang muncul, suara langkah semakin mendekat dan aku mencium parfum yang biasa Bayang kenakan, tapi.. eh? Bukan Bayang? Siapa lelaki itu? Lelaki dengan tinggi sepantaran Bayang dengan kulit lebih putih. Sepertinya aku pernah melihat lelaki ini. Di mana ya? Dan kenapa dia menaiki mobil Bayang?
Terlalu banyak memikirkan ini itu, lelaki tadi masuk ke dalam mobil, keluar dari parkiran dengan mulus. Sedan hitam itu mulai meninggalkan tempat tadi dia parkir. Aku terdiam dan merasa kecewa karena tidak berhasil menemui Bayang.
Hhhhh... Aku berjalan ke dalam mall lagi, menaiki lift untuk bisa keluar dari pintu utama mall ini.
“Udah beli barangnya?” tetiba sosok Ricardo ada di depanku, sepertinya dia menungguku di pintu utama, karena tau aku akan melalui pintu ini untuk keluar dari mall.
“Gak ada, yang gue cari gak ketemu..” ucapku ke Ricardo dengan nada kecewa.
Ricardo mengajakku ke parkiran yang berada di depan mall ini, benar ternyata setelah dia keluar parkiran basement tadi, dia kembali memarkirkan mobilnya dan menungguku di pintu keluar utama mall ini. Dan kamipun kembali ke rumah dengan isi kepalaku yang masih mengingat-ingat di mana aku pernah melihat lelaki yang tadi menaiki mobil Bayang.
--
Sore ini aku berenang dengan Ricardo untuk memenuhi jadwal olah raga berat minggu ini. Baru satu kali putaran berenang, aku keluar dari kolam renang, lagi-lagi aku mual. Aku segera lari ke kamar mandi, ya Tuhan.. ada apa dengan tubuhku, belum pernah aku merasakan mual seperti ini. Aku pun lupa untuk mengecek tubuhku ke dokter, tidak..aku tidak boleh ke dokter, aku akan memeriksanya sendiri.
“Nar, lo gemukan bener deh, apalagi pake baju renang gitu. Masih sembelit?” tanya Ricardo saat kami duduk di tepi kolam renang sambil memainkan air dengan kaki kami masing-masing.
“Iya, gemukan” jawabku singkat.
“Eh, Nar, tau gak..masa yah tadi temen sekelas kita ada yang didamprat senior, buset dah, udah kaya jaman SMA” Ricardo memulai gosip sore yang biasanya kami lakukan di malam hari di teras rumahku.
“Oh ya? Siapa? Terus-terus?” aku menanggapi Ricardo karena saat ini aku butuh percakapan baru yang bisa mengalihkan perhatianku terhadap masalah yang sedang aku hadapi.
Kami banyak tertawa sore ini, dan malampun kami lanjutkan dengan obrolan di teras rumahku, sambil mengerjakan tugas kuliah yang sudah mulai menumpuk.
--
Jakarta, 4 Juli 2011
Hari ini aku ada kuliah pagi, Ricardo tidak ada kuliah, aku berangkat ke kampus dengan menaiki taxi, jalanan Jakarta pagi ini sangat macet.
“Mbak, kita potong jalan lewat belakang Kuningan ya? Biar gak macet banget, stuck nih kalau lewat sini, gak tau bisa sampai jam berapa” ucap supir taxi kepadaku.
Aku melewati jalur yang biasanya tidak aku lewati, jalanan kecil yang hanya cukup dilewati pas dua mobil, tidak macet, namun jalanannya sedikit rusak. Hingga akhirnya kami keluar ke jalan raya lagi, kami keluar tepat di suatu tempat yang mengingatkanku dengan seseorang, apartement Bayang, taxi ini memotong jalan hingga tembus ke jalanan di samping apartement Bayang.
Aku memeriksa isi tasku, kunci apartement Bayang, iya, aku ingat Bayang menyuruhku membawanya saja. Kenapa aku baru ingat hal ini, tapi.. jangankan ke apartement Bayang, sekedar menelepon atau SMS dia saja aku takut, nyaliku terlalu kecil kali ini. Hhhhhh...ku urungkan niatku untuk mendatangi Bayang. Taxi terus berjalan menjauhi apartement yang menyimpan kenangan semalamku dengan Bayang. Aku membuang pandanganku dari apartement Bayang, kembali melihat jalan raya yang terlihat dari kaca depan taxi. Menyalakan earphoneku, mendengarkan lagu untuk sekedar mengistirahatkan otakku.
“I need another story, something to get off my chest. My life gets kinda boring, need something that I can confess. ‘Till all my sleeves are stained red, from all the truth that I’ve said, come by it honestly I swear. Thought you saw me wink, no I’ve been on the brink, so tell me what you want to hear , something that were like those years. I’m sick of all the insincere. So, I’m gonna give all my secrets away.. This time don’t need another perfect line, I’m gonna give you all my secrets away..”
-One Republic Secret-

Menceritakan sebagian rahasiaku ke Ricardo kemarin sedikit melegakan hatiku. Hhhhhhh..
Hari ini hari pertama aku ke kampus setelah kejadian dengan Radit yang lalu, semoga kali ini akan baik-baik saja, semoga tidak akan ketemu radit lagi. Aku berjalan memasuki kelasku, kelas yang sama dengan kejadian dua hari lalu, di mana Radit dan Ricardo saling pukul di depan mataku. Seram, aku gak mau kejadian seperti itu terulang lagi. Aku tidak mau keduanya terluka, apa lagi sampai saling menyakiti hanya karena aku.
Aku mengecek hpku, membaca SMS terakhir dari Bayang. Apa aku coba SMS dia saja, ya? Rasa ragu dan takut menggerogoti perasaanku saat ini, aku harus ketemu dia, entah kenapa aku merasa membutuhkan dia saat ini.
Lamunanku buyar karena dosen memasuki kelas dengan menyapa semua mahasiswa. Lagi-lagi kuurungkan niatku untuk menyapa Bayang. Hhhhh..
--
Jam tiga sore, kelas akhirnya selesai, pulang sediri deh. Sepi juga kalau gak ada Ricardo di kampus, aku melihat sekelilingku, ramai, aku mengenal mereka, tapi entah mengapa tak ada satupun diantara mereka yang bisa masuk ke hatiku untuk berbagi cerita tentang apa yang aku rasakan selain dengan Ricardo.
Aku berjalan menuju tempatku biasa menunggu bus.
Sekitar 30 menit sudah aku menunggu, namun tidak ada bus jurusan menuju rumahku lewat, tetiba ada mobil sedan hitam berhenti di depanku, Bayang! Ya Tuhan, ini Bayang? Kaca mobil perlahan diturunkan, pria berkulit cokelat, berlengan besar itu membuka kacamata yang dia kenakan dan tersenyum kepadaku, aku tersenyum dengan lepas dan segera menghampirinya, dia memberi isyarat mengajakku masuk ke dalam mobilnya, akupun langsung masuk.
Aku duduk dan langsung tersenyum kepadanya, diapun tersenyum kepadaku.
“Apa kabar, non?” ucapnya.
“Baik. Kamu apa kabar?”
“Aku juga baik-baik saja” dia mengenakan kembali menjalankan mobilnya, namun kali ini tidak mengenakan kacamata hitam yang biasanya selalu dia pakai.
Dia banyak tersenyum hari ini, banyak menatapku sesekali saat jalanan tidak ramai, aku ikut tersenyum tiap kali melihat wajahnya. Sudah tiga minggu kami tidak berjumpa. Sekitar sepuluh menit tidak ada percakapan diantara kami, sampai akhirnya aku memutuskan untuk memulai percakapan.
“Kamu kemana aja? Kenapa menghilang?” tanyaku.
Dia tersenyum dan menatapku, “Aku gak kemana-mana, kamu juga pegang kunci apartementku, tapi gak pernah dateng berkunjung sekalipun. Eh, sebentar deh.. “kamu”? kamu sekarang ngobrol sama aku pakai “aku-kamu” nih?” ucapnya dengan nada meledek.
“Ih, ditanya serius juga. Kenapa gak sekalipun kamu hubungin aku?” tanyaku lagi.
“Aku nunggu kamu nyapa aku duluan, aku pegin ngerasain dikangenin sama kamu”
“Hah? Maksudnya?”
“Iya, kadang untuk mendapatkan perhatian dari seseorang, kita harus berhenti memberi perhatian ke orang tersebutkan?...” dia kembali tersenyum.
“...Tapi kayaknya caraku gak berhasil, kamu gak ngubungin aku duluan, aku gak berhasil bikin kangen aku” lanjutnya.
“Jahat! Aku kangen tau, Cuma aku takut buat hubungin kamu duluan. Setelah kejadian malam itu, aku terus-terusan menebak-nebak apa yang sekarang kamu pikirkan tentang aku..” ucapku.
Dia tersenyum dan mengelus rambutku, “Sinar, jangan suka menebak-nebak apa isi kepala seseorang, tanya langsung” ucapnya.
Aku menunjukkan raut wajah kesal, kesal dengan sikapnya yang tenang-tenang saja atas perlakuannya selama ini yang mendiamkanku.
“Setiap hari aku lewat kampus kamu, kadang aku suka lihat kamu sama temen kamu yang waktu itu kamu kenalin di rumah kamu, aku yang terlalu tidak punya nyali untuk menghampiri kamu...” ucapnya lagi.
“...kamu mau maafin aku?” dia mengulurkan jari kelingkingnya. Aku yang tadinya ingin marah-marah karena dia yang lama menghilang jadi ikut tersenym mendengar penjelasan dan melihatnya langsung seperti sekarang.
Di sepanjang jalan kami banyak berbincang, tidak seperti biasanya, sore ini Bayang begitu lepas tertawa dan banyak bicara. Aku nyaman berada di sisinya, dadaku selalu hangat tiap kali melihat matanya.
Bayang membukakan pintu mobil saat sampai di depan rumahku, aku mengajaknya masuk ke rumah, entah kegilaan apa yang ada di dalam pikiranku saat ini, aku tau di dalam rumahku ada Ibuku, sebagai apa Bayang akan ku kenalkan kepada Ibu? Bayang menggandeng tanganku saat kami memasuki rumah.
“Assalamualaikum, Bu” ucapku, dan suara yang pertama menjawab salamku adalah suara Ricardo yang sedang duduk membaca koran di ruang tamu rumahku.
“Walaikumsalam..” Ricardo menatapku dengan pandangan penuh tanya, spontan aku melepaskan gandengan tanganku dengan Bayang.
Bayang mengulurkan tangan ke Ricardo, “Apa kabar? Lama tidak berjumpa” lalu dia tersenyum seperti biasa.

Bersambung....

0 comments em “Ricardo dan Rahasia”

Post a Comment