Warung Bebas
Showing posts with label Elegi Purnama. Show all posts
Showing posts with label Elegi Purnama. Show all posts

Wednesday, 28 September 2011

Elegi Purnama #12

Tentu saja ini bukan kejatuhan Cupid. Kutegaskan sekali lagi pada hati, ini cuma butuh, butuh yang sesaat. Jika menyadari kesesaatannya dari awal, berarti aku harus menyiapkan ekstra hati. Barangkali saja hatiku terlanjur kuberikan setengah padanya. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sendirian. Entahlah, mengapa demikian perhitungan dengan cinta. Sakit bertubi-tubi mengajari matematika untuk urusan hati sekalipun.  
Aku masih duduk di depan layar 15 inch sampai larut. Bayangannya muncul di depanku serupa wallpaper yang bergerak-gerak memperlihatkan senyum. Akhirnya kuambill wudhu, melenakan diri dengan sujud panjang sembari banyak bertanya. Berharap mungkin jawabnya akan kutemukan esok hari dalam hati yang tiba-tiba. 
***
Kutunggu pesannya sepagi ini, kusapa lebih dulu tak juga terkirim. Menelepon sebentar, jawabnya sama. Sedang tidak aktif. Mungkin sudah sibuk sepagi ini. 
Satu jam, lima jam, sepanjang hari tak juga namanya muncul dengan rasa gulali. Punya hak apa aku menanyakannya terus, sibuk menerka-nerka dan mulai merasa cinta macam apa ini. Hatiku terbuka sendiri saat kukunci rapat-rapat. 
Seminggu berlalu, Rengga hilang tak berkabar! Ini mungkin jawaban atas doaku kemarin. Ia selalu memiliki jawaban sendiri atas doa bukan? Di kelas menulis pun ia tak datang. Pak Jandri cuma menggeleng pelan saat kutanya keberadaannya. Ia pergi, menyisakan tanya yang begitu besar dan cinta pelan-pelan yang tumbuh subur dalam sangkalan. 
"Runny, balas pesan ini sekarang. Kalau sudah selesai mengajar, kita ketemu di depan terminal Lebak bulus jam tujuh malam nanti. Rengga". Segera kuiyakan pesannya dan pamit pada tim konseling untuk keperluan mendadak, kupacu sedan yang kebetulan kubawa di kecepatan 100 km/jam. Persetan, Bogor-Jakarta bisa sejam kan? aku bicara sendirian di balik kemudi. 
Gelap belum genap saat kutemui dirinya di seberang lalu lalang terminal, tepat di samping bangunan pemadam kebakaran. Ia duduk menunggu di bangku kayu, di depan kios rokok yang tutup bercat biru. Senyumnya tersungging kembali di bibirnya setelah menanyakan kabarku. 
Rengga sedang bersusah hati, kulihat jelas di matanya yang meredup. Ia sangat introvert, takut bercerita dengan orang banyak. Sulit membuka mulutnya untuk sekedar bercerita latar belakangnya. Sedikit demi sedikit ia membuka keinginannya untuk membagi, setelah banyak berputar-putar dan aku cuma memandanginya bercerita tak tentu arah. Seperti di kelas konseling, bedanya di sini adalah kafe dan bukan ruangan. 
Ia cerdas. Anak tengah yang malang, terhimpit di antara kakak yang jenius dan adik yang penurut. Ia berada di antaranya dengan kepayahan, berupaya menuruti semua ingin orangtua yang tak sepaham mendidik anak. Rengga dituntut nomor satu untuk semua hal, mereka tak peduli dengan keadaan otak dan fisik. Ia tumbuh menjadi anak cerdas yang dipaksa keadaan, dengan orangtua yang sama sekali tak dapat diajak berdialog. Ibunya meninggal sehari setelah menjenguknya di Padang. Rasa bersalah yang terlalu membuatnya terpuruk. Selama lima tahun lebih ia tak pernah dijenguk saat studi mengharuskannya jauh dari orangtua, namun pergi meninggalkannya begitu saja setelah melihat anak tengahnya tak kunjung lulus dan pulang membawa oleh-oleh ijazah. Seolah ingin berpamitan sejenak sebelum menuju akhirat, ia sempat memeluk perempuan yang sangat dicintainya walau sangat kaku itu.Di tengah pelukan Rengga sempat menangis, entah untuk apa. Rupa-rupanya air mata yang tak sengaja tumpah adalah duka yang dini. Ia lebih tahu membahasakan kehilangan sebelum si pemilik mata melihat kenyataannya di kemudian hari. 
Terhimpit di antara hubungan persaudaraan, ia menjadi sangat nakal dalam diam. Sejak sekolah dasar mengenal rokok, pelan kemudian mengenal ganja, heroin, putauw, jarum suntik, alat hisap. Aku bergidik. Ini rupanya alasan mengapa semua menjadi sedemikian berantakan. 
Selama bertahun-tahun orangtuanya tak curiga sampai kemudian sebungkus ekstasi ditemukan dalam tasnya beberapa waktu lalu. Saat ia berhenti mengkonsumsi putauw dan cuma beralih ke pil warna-warni memabukkan itu. Ayahnya murka, membabi buta dengan amarah yang berada di puncak tanpa ada lagi sosok ibu yang menenangkan. Dengan berat hati, Rengga merelakan diri digiring ke BNN menjalani rehabilitasi. 
Sepeninggal perempuan satu-satunya di rumah, ia berubah menjadi gamang. Terlebih tak dekat dengan ayah, kakak dan juga adiknya. Terombang-ambing sendirian dan hidup bak robot ketika satu persatu keputusan dalam hidupnya diambil alih selain dirinya. Dimulai dengan pindah kuliah ke Jakarta, tak memiliki uang sama sekali dan mengharuskannya mencari tambahan menjadi guru bahasa Inggris di luar karena mereka semua mengganggap seusianya tak pantas lagi menerima uang jajan. 
Ah Tuhan, mengapa cinta kau jatuhkan pada sosok serumit ini yang menumbuhkan kasihan? Ia sangat manis, imbas dari kehilangan perempuan yang telah melahirkannya. Secara tersirat mengatakan ingin sekali memiliki pendamping yang membantunya keluar dari lingkaran membingungkan. 
" That's why I need you, Runny".
"Aku butuh kamu, sosok yang kuat. Aku janji akan mulai semuanya dari awal. Akan selesaikan kuliahku, cari kerjaan yang mapan trus nikahin kamu", tambahnya.
Aku menantapnya, berkedip sekali dan tetap mengatupkan bibir. 

 
~ (oleh @iedateddy)

Friday, 23 September 2011

Elegi Purnama #11

"Kamu salah, nama tengahku Anindita, bukan Anandita", protesku.
"Oh maaf, beda satu huruf beda arti ya".
Aku tersenyum.

Kami berteman di facebook, foto yang dipajang sebagai profile picture-nya berbeda jauh dengan wajah aslinya sekarang. Kutanyakan langsung, ia cuma tersenyum. Mungkin jawabannya akan kudapat nanti.

"Lunch yuk, di kantin".
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Dan ia mulai membuat langkahnya sejajar. Aku tak tertarik dengan laki-laki ini, tak tertarik,tak tertarik. Rapalku dalam hati.

"Aku tiga bersaudara, kalo kamu?".
Pertanyaan macam apa ini, a-be-ge sekali.
" Dua bersaudara, adikku Jingga empat tahun".
"Jauh juga ya selisihnya sama kamu".
"Begitulah".

Ia terus menatap sepanjang makan siang berlangsung. Ada apa sih dengan rambutku, wajahku mungkin. Ah. Rasa-rasanya butuh cermin sekarang. Dan ia menatap sambil tersenyum. Aku suka senyumnya.

"Makasih ya udah nemenin makan", ia mengucap dan membalikkan badannya setelah menaruh senyum di pikiranku. Kenapa jadi begini, lagi-lagi kubantah diriku sendiri. Penyangkalan adalah obat paling mujarab untuk saat ini kurasa. Besok akan sembuh dari sakit ini, lupa dengan sosoknya dan tak kelimpungan lagi.
***
Pertemuan kami makin intens selama dua bulan ini. Sepulang kerja acapkali ia menjemput, sekedar nonton, mencari novel terbaru atau kuliner malam. Semua berubah, menjadi wangi dan warna-warni. Sabtu kami akan bertemu lagi di BNN.

Aku lupa dengan penyangkalan tempo hari lalu. Logika dengan perasaan pukul-memukul serupa godam baja. Sampai..
"Runny, I'm begging you please.. Mau nggak temenin aku sampe nanti?".
Aku mengernyitkan dahi, menatap tajam dan berkedip sekali. Kurasa aku cukup mengerti maksudnya. Ia memegang tangan kiriku. "Please..", mintanya sekali lagi.

Tak mudah menerima orang lain bahwa ia berhak atas potongan hati ini. Ketika ia tak bertanggung jawab memberi makan hati, ia akan mati. Dan aku, sang pemilik akan bersedih; menumbuhkan hati amatlah sulit. Apalagi dengan statusnya, mantan pengguna narkoba. Apakah lagi yang bisa kukatakan atau kujaminkan ke hati ini sendiri bahwa ia akan baik-baik saja diberikan pada orang yang kini berada di depanku. Rasa kesepian terkadang juga menyergap dari berbagai arah. Kugelengkan kepalaku keras-keras untuk permintaan Rengga malam ini.

Kami pulang, di hening malam yang rintiknya pelan-pelan, sayup kudengar suara Lee Ryan, you're my past, my future. My all, my everything. My six in the morning when the clock rings. And I open up my eyes to a new day..

Mesin mobil dimatikan, ia menoleh ke kiri dari balik kemudi, kemudian mengusap pipi kananku pelan. " I love you, Runny". Aku terdiam. Ia mencium pipiku. Pertama kalinya.
***
Aku mengetuk-ngetukkan tangan di keyboard laptop. Tak tahu akan menulis apa, semua berhenti di sosoknya. Sosok sedikit 'ndut', menggemaskan, riang dan selalu tersenyum. Apa yang membuatnya masuk rehabilitasi di BNN, mengapa sebentuk lengkung senyumnya justru mengantar dirinya menjadi penghamba benda itu?

Selamat bobo, Runny. Dari beberapa nomor handphone yang berbeda belakangan ini, berasal dari satu nama. Rengga. Sms menjelang tidur seperti absen malam untuknya. Apakah aku kejatuhan cintanya, Tuhan?



~ (oleh @IedaTeddy)

Wednesday, 21 September 2011

Elegi Purnama #10

"Lo gak minum Run?" tanya Abi.
"Nih", ujarku sambil mengangkat gelas orange juice.
"Ah lo sih dari dulu gak doyan bir, sukanya susu coklat" ia terkekeh.
Aku mengunyah kentang goreng, menghindari percakapan personal di tengah keramaian.

"Kita pada mau ke X2 Run, ikut ya!".
"Ah gila lo, besok baru Rabu".
"Ahahaha, gak papa sekali-kali dugem di tengah minggu".
"Nggak deh, gw skip dulu" kutolak ajakan Agnes.


Aku bergegas.
"Have fun ya guys, besok harus masuk semua. Jangan ada yang ngantuk,ngantuk gw cubit pake printer nanti".
Mereka kompak mengiyakan.


Aku turun dan menuju pintu selatan, security mal membukakan pintu taksi yang segera melesat membelah macet Jakarta yang tak kenal waktu, di pukul 10 malam sekalipun.


Kubuka laptop di tengah perjalanan, membuka beberapa email dan membalas pertanyaan editor yang terus-terusan menagih naskah. Tak puas lewat BBM, ia menulis panjang lebar di badan email lengkap dengan penjabaran berbagai hal. "Iya,editor cerewwwwweeeet", kubalas pesannya lewat BBM. Tak ada reply sampai setengah jam kemudian. Sampai kemudian nama lain muncul. Rengga.

"Sedang apa?"
"Masih di jalan".
"Kutemenin yah, kutelepon".
"Silakan".

Semenit kemudian aku sibuk bicara dengan sosok dari kejauhan. Suaranya bagus, pernah menjadi penyanyi kafe ternyata. Anak kedua dari tiga bersaudara. Bekerja part time menjadi guru bahasa Inggris. Berumur 25 tahun dan humoris. Kuakhiri teleponnya setelah lima belas menit kemudian. Kurang menarik.

***


Rabu, Kamis, Jumat. Hari melesat bak roket. Waktu sebanyak 24 jam selalu kurang. Berjalan terlalu datar, akan kembali ke minggu berikutnya juga akan sama datarnya.

"Lo itu harus punya pacar Run, paling nggak kecengan gitu", Agnes mulai ceramah.
"Emang kenapa sih, kesannya idup gw kesepian banget".
"Ya nggak, tapi paling nggak lo punya orang yang bisa dijadiin semangat tiap harinya".
"Iya ntar gw cari".
"Yakin lo mau cari? Bukannya ada banyak, tapi lo-nya aja banyak maunya".
"Au ah Nes", jawabku cuek sambil mengulik bahan presentasi untuk Senin.


Rengga menelepon.
Seminggu ini walaupun jarang kubalas, ia rajin menanyakan kabar. Mengingatkan solat, makan, hati-hati di jalan atau bahkan menjadi yang paling pagi membangunkan. Aku risih, jawaban kubalas atas dasar basa-basi.


"Lo tuh sibuk ya kalo Sabtu-Minggu?". Sebuah pesan kuterima di Sabtu pagi. Di Lido ketika akan memulai kelas menulis seperti biasa. Kubaca, kemudian close. Beberapa jam lagi nanti akan kubalas.


Pak Jandri datang bersama seorang laki-laki botak, berwajah ramah dan sedikit 'ndut'. Ini dia rupanya murid baru di kelasku. Kami bersalaman. Kusebut namaku. Ia terkesiap. Pun aku, ia bernama Rengga Julian. Sepanjang kelas, ia antusias belajar. Aku senang menatap matanya, mata yang sama waktu malam api unggun itu. Kerlipnya tak juga memudar, siang sekalipun.


Pukul satu siang diskusi tentang menulis selesai, aku off untuk jadwal selanjutnya. Konseling dilanjutkan oleh orang lain. Kubereskan beberapa kertas yang berceceran di meja, memungut pulpen yang jatuh tepat di bawah kaki sampai kemudian,.. "Jadi kita ketemu di sini Runny Anandita Senja?".




~ (oleh @IedaTeddy)

Tuesday, 20 September 2011

Elegi Purnama #9

Ah tidak tidak, pasti bukan Rengga yang itu. Bantahku sendirian. Ada begitu banyak nama Rengga di Jakarta.


Hari ini, harus berjalan seperti biasa. Bekerja, sedikit menulis untuk merampungkan novel dan menganggap seolah kemarin adalah cuma kemarin. Dan akan berhenti di kemarin. Aku meyakinkan diri sendiri dan memulai perjalanan menuju kantor.


Dari semua yang dekat denganku, nyaris menggunakan separuh hati. Jadi ketika ia pergi, separuh hati akan hilang dan aku sibuk sendirian menumbuhkan hati agar kembali utuh. Sulit memang menjadi perempuan yang, ah baiklah..mungkin terlalu menggunakan hati. Jika karir dan kondisi keuangan sudah berkolaborasi dengan baik. Permasalahan lajang ibukota akan berpaket dengan jodoh. Usiaku memang baru 26 tahun. Tapi hubungan dengan lawan jenis tak bisa bertahan lama hingga tahunan seperti dengan Racko dulu. Selama empat tahun, sepanjang menjalankan studi di Padang. Pria hitam manis asal Lombok yang kini sudah menikah dengan wanita asli Padang. Yang diam-diam masih memberi kabar, telepon hingga tengah malam untuk sekedar bertanya : "dengan siapa kamu sekarang, kapan menikah?". Ah Racko, andai bisa kujawab dengan jawaban paling mustahil yaitu ; bulan depan jika kamu selesai bercerai dengan istrimu ; sekalipun mungkin Tuhan tak akan izinkan mulutku untuk sekedar mengucapnya. Aku bahagia dengan kebahagiaannya, meski yang terdengar di telingaku bahwa Racko sering memukul istrinya yang ketahuan selingkuh. Yang pernah menampar mulut perempuan yang dipilihnya sampai berdarah. Toh waktu tak akan bisa diputar balik, ia terlanjur memilih dan ibunya pun tak pernah suka. Lepas dari Racko, Hendra kemudian Herry. Semua membekas luka dan aku mencicipi menjadi gadis yang menjalin cinta dengan banyak laki-laki. Hanya mencicipi, setelah itu pergi berlalu dengan menorehkan luka juga di hati mereka. Tak sengaja. Bukankah rasanya juga sama ketika aku pernah terluka kan? Mungkin begitu kira-kira.


"Run, pulang kantor kita hang out sama anak-anak, ikut gak lo?" Agnes menepuk bahuku.
" Siapa aja, kemana?".
"Ada Abi, Lulu, Risya trus anak-anak KYC AML".
"Ah dasar, bilang aja lo mau pacaran tapi minta ditemenin. Moduuus".
"Sial lo. Abis gw malu, Abi cute banget tau Run. Geregetan gw, tapi malu".
"Cute? Biasa aja kayanya".
"Cute tau!" Jawabnya sengit.
Aku tersenyum, mengingat Abi pernah berterus terang menyukaiku beberapa bulan lalu. Dan Agnes sahabatku. Tak mungkin. Kuputus rantai suka begitu saja dan sampai kini tak ada penjelasan.


***


Selasa malam, sebuah kafe di bilangan mal Jakarta Selatan ramai oleh gelak tawa, kepulan asap rokok dan beberapa botol bir yang sedikit lagi habis. Tiba-tiba aku bosan.
Dari kejauhan, aku kembali melihat sosok seperti di Lido kemarin. Berjalan dengan dua orang pria berkemeja dan satunya lagi berjaket kulit hitam. De javu.




~ oleh @IedaTeddy

Monday, 19 September 2011

Elegi Purnama #8

Tiga puluh menit kemudian taksi sampai di lobi hotel. Kami kembali bercakap di restoran sambil tetap saling menatap. Cahaya remang, kerlip matanya seolah bicara banyak. Kami naik dan memasuki kamar hotel tempat ia menginap.

"Kapan kamu akan mulai studi ke Jerman?" Aku membuka percakapan. "Awal 2012 aku sudah di sana, nanti kamu nyusul ya sayang. Semuanya nanti kusiapin". Ia memeluk, menciumi rambut panjangku. Bibirnya berpindah ke tengkuk, tangannya masih memeluk pinggang.


" 2012 itu tinggal beberapa bulan lagi mas". " Iya memang, and I can't wait" ia mulai membalikkan tubuhku, kami tenggelam dalam napas hangat dan udara dingin.


"Aku gak bisa, maaf!". Kutolak ketika ia mulai membuka blazerku. Kupandangi cincin emas di jari kanannya.

"Aku akan menikahi kamu Runny".
"Iya tapi aku mau jadi yang satu-satunya. Tak membagi cinta dengan perempuanmu di rumah".
"If I could turn back the time Runny.. Ayolah, besok pagi pun kalo perlu aku akan bicara dengan orang tuamu. Kamu resign Desember nanti dan susul aku ke Jerman" ia memandangku lekat-lekat.

Kuambil tas kerja dan laptop, bergegas menuju pintu dan pergi meninggalkannya. Ia sedikit berteriak memanggil. Ini tak mungkin, dan tak boleh terjadi. Tak mungkin. Tak boleh. Aku sibuk mengulang kata itu, meyakinkan diri sendiri.


Dalam taksi arah pulang kuseka air mata. Hendra sudah berkeluarga, kami dulu menjalin cinta diam-diam karena namanya terkenal di kampus sebagai calon dekan. Dan status itu tadi, sudah berkeluarga seolah melekat semacam parasit yang mengganggu kami. Dan ia beranak dua. Mungkin akan beda persoalan jika ia belum memiliki jagoan-jagoan yang setia menyambutnya pulang, begitu pemandangan yang kulihat ketika berkunjung ke rumahnya meminta tanda tangan di outline skripsiku. Tak tega rasanya menyakiti perempuan berjilbab yang sudah 9 tahun bersamanya dengan menikah diam-diam. Ia tak salah apa-apa, pun cinta kami tak juga salah. Entahlah.


***

Aku terpekur dalam sujud yang panjang. Menangisi kebodohan dan cinta mujur yang tak kunjung berpihak. Mungkin sampai aku kelelahan berdoa, duh Gusti. Aku menyebut. Kembali berdoa banyak-banyak, menyisir tasbih dan tertidur di atas sajadah merahku sampai subuh.

"Selamat kepagian, apa kabarnya hari ini Run?". Sebaris sms masuk sebagai pesan paling pagi. Rengga.

"Selamat pagiii.. Iya agak sibuk kemarin", bayangan Hendra berkelebat.
"Udah sarapan?".
"Belum", hangat ciuman Hendra masih terasa.

" Jangan lupa sarapan, hati-hati di jalan nanti".
Selalu begini, yang satu belum selesai tapi yang lain sudah muncul. Tuhan ciptakan manusia berpasang-pasangan, pastinya bukan hanya untuk ditumpuk menjadi kenangan dalam hati kan? Aku bertanya pada diri sendiri. Kemarin drama pagi dimulai dengan Herry kecelakaan. Kemudian Hendra yang muncul tiba-tiba. Taksi. Lobi hotel. Dan tahu-tahu pagi lagi.

Ketika hati berubah menjadi piala. Direbut sana-sini dan sang benda berwarna emas tak punya kemampuan menolak sebab tak bertangan dan kaki. Akulah piala itu. Menunggu hingga suatu saat diangkat tinggi-tinggi ke udara dengan bercucuran peluh. Dan mungkin sampai piala berubah menjadi karatan atau tetap cantik, namanya tetap akan sama sampai kapanpun.


"Nduk, sarapannya dihabiskan. Ngelamun aja pagi-pagi", ibu menegur pelan.

"Run, kamu inget om Ricky nggak? Teman sekolah Papah dulu".
"Nggak inget aku Pah" jawabku cuek. Pasti ini soal dijodohkan. Pasti ini. Pikiran negatif berseliweran.
"Aku males ah Pah klo ngomongin jodoh. Masih pagi, ngomongin rejeki aja gimana? " lanjutku sambil tersenyum lebar.
Jingga tak ikut nyeletuk, pasti selain tak paham dengan kata 'jodoh' ,matanya sibuk menatap lurus ke arah televisi menonton kartun Spongebob. Menjadinya mungkin tak ada beban. Tak kenal cinta. Ia cuma tahu caranya dicintai, kemudian membalas cinta dengan ucapan terima kasih atas gula-gula atau apapun yang diberikan orang. Baginya itu cara membalas cinta di mata seorang mata gadis kecil bermata bulat umur empat tahun. Atau ia cuma tahu menangis, jika keinginannya tak dipenuhi. Tak peduli bagaimana cara memahami orang lain yang berjuang memenuhi inginnya.
"Bukan, itu lho mereka mau buat ruko di dekat sini. Kemarin Papah liat trus sekalian mampir. Udah setengah jadi" sergahnya.
"Oyah? Bangun berapa ruko Pah. Di sebelah mana sih, aku nggak tau".
"Di depan jalan Garuda. Ke kanan sedikit ada tujuh ruko lagi dibangun" jawabnya.
"Banyak juga ya".
"Iya, kemarin ngobrol juga sekalian di warung Solo. Sekalian ngomongin anaknya, si Rengga".
Rengga?



~ (oleh @IedaTeddy)

Sunday, 18 September 2011

Elegi Purnama #7

Pukul 9.30 malam semua beres, wajah-wajah lelah berhamburan dari ruangan. Aku tergesa mengganti high heels dengan flat shoes merah, mengecek semua printer dan mematikan lampu ruangan. "Pulang mba Runny?" Pak Edi, security kantor menegur. "Iya pak, di ruangan udah nggak ada orang lagi ya, lampu juga udah saya matiin tadi" jawabku. "Nggih mba, ati-ati ya". " Makasih pak, saya pulang ya".

Kutekan lift arah turun dan dengan cepat terbuka, meluncur ke lantai satu, melewati lobi mewah bergranit hitam lengkap dengan suara kucuran air buatan. Tiba-tiba, "Runny"... Suara khas laki-laki terdengar mengagetkan dari luar gedung sedang duduk di kafe bagian luar. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum lebar. Ia menggandeng tangan, mendudukkan di kursi dan mulai menatap. "Apa kabar kamu de'.., aku kangen", tangannya terjulur memegang kedua bilah pipiku. "Aku baik mas". "Kenapa pulangnya malem banget?". "Lagi ada project trus ini Senin, transaksi agak banyak".


Adalah Hendra Achmad Wijaya, dosen fakultas ilmu komunikasi-ku dulu. Menjadi pembimbing skripsi yang berlangsung selama enam bulan. Penyemangat sekaligus orang yang berkali-kali menjadi tempat sampah atas gundahku. Kami dekat. Sangat dekat malah.


"Kita pulang naik taksi aja ya de'.. Kereta arah Serpong udah abis jam segini" ujarnya sambil menengok jam di tangan kiri. Aku hapal di luar kepala semua jadwal dan masih banyak kereta yang akan datang sampai mendekati tengah malam nanti. Aku menurut, kami berjalan bergandengan tangan di sisi trotoar jalan Sudirman yang mulai sepi. Jalanan aspal berkilat-kilat basah sisa hujan tadi sore. Hanya kendaraan pribadi dan bis patas AC yang masih hilir mudik.

Tangannya hangat.
Di dalam tas, handphone-ku berbunyi. Phil Collins berulang kali menyanyikan You Can't Hurry Love. Dan aku tak mendengar.
"De, aku akan S3. Melanjutkan kuliah dan minta ke orang tuamu supaya boleh kunikahin". "Kita akan hidup berdua di Jerman nanti". Aku tersenyum.

Di dalam taksi kami bersebelahan sangat dekat, hingga mungkin degup jantungku terdengar olehnya. Ia melingkari pinggangku dan mencium ubun-ubun. "Kamu masih pake shampoo yang sama ya dari dulu".

Di luar, hujan turun menjadi butir-butir besar di kaca mobil. Supir taksi berkonsentrasi penuh dengan jalanan sedikit licin. Hawa dingin makin menyergap dari segala arah. Kami masih saling menggenggam tangan. Aku menjatuhkan bahuku ke dada bidangnya. "Mas masih sayang kamu de'.." Gumamnya pelan.

Aku menengadah. Menatap matanya yang bersinar. Pelan-pelan kuraba wajah tampannya. Pelipisnya masih sama, lengkung alis yang hampir bertemu, hidung bangirnya yang sempurna. Dagu yang sedikit kasar bekas bercukur dan bibir tipis yang kutelusuri dengan ujung telunjuk. Ia mendekat, napas hangat sedikit memburunya membaur bersama dengan udara yang kuhirup. Kami saling memagut lama. Khawatir seolah besok segera mengganti malam ini. Tangan kanannya memegang wajahku, tangan kirinya menarikku lebih dekat sampai dada kami bertemu. "Kita ke Mercure ya de', I need you badly" ucapnya di sela ciuman pendek.


Taksi berwarna biru berputar arah, menembus gelap malam menuju arah Kota.





~ (oleh @IedaTeddy)

Saturday, 17 September 2011

Elegi Purnama #6

"Selamat pagi Runny". Rengga.
"Pagih.. ". Emotikon senyum di belakangnya.
"Aku boleh nggak denger suaramu?".
"Eh penasaran banget ya,tenang aja,aku belum ganti kelamin. Suaranya pasti perempuan".
"Ahahaha".
"Sebentaaaar aja, dua menit deeeh" bujuknya.


"Neng, atuh diminum tehnya ya. Kalo mau sarapan ada di meja makan" , Ibu Ningrum melongok ke kamar sebelum berangkat ke pasar. Aku mengalihkan pandangan dari balik laptop dan berdiri, "iya Ibu, makasih ya".


"Lo balik nanti aja ya Run, ntar sore baru pulang. Gw mau curhat", Ningrum menaruh blackberry di samping tempat tidur dan membetulkan letak bantalnya. "Pasti tentang Dika kan?", aku masih membenamkan diri dengan laptop. "Kenapa lagi?" Lanjutku.


Ningrum dengan Dika adalah pasangan bertahun-tahun awet sepanjang masa, begitu kusebut. Baru tahun lalu mereka bertunangan. Dika bekerja di Bali dan Ningrum menetap di Bogor. Enam bulan sekali mereka bertemu. Sementara Ningrum hanya memacari Dika dari tahun ke tahun, aku mungkin sudah menggenapkan kedua tangan untuk bilangan mantan kekasih. Tak ada salahnya kan memilih, perempuan juga punya hak. Jika dalam prosesnya harus membuatku berkali-kali jatuh dan mencinta, buatku pasti akan ada hasilnya nanti. Menemukan orang yang betul-betul tepat sampai kukatakan " He's the one!". Dan oh baiklah aku mengaku, sebenarnya tak begitu mengenakkan berganti-ganti pacar dalam waktu singkat.


Ah, ini dia rupanya masalah Ningrum masih sama seperti kemarin. Ayahnya tak begitu menyukai Dika. Hanya karena keluarganya adalah keluarga angkatan darat. Sangat aneh dan rancu alasan yang dimiliki Ayah Ningrum. Tak suka, itu saja.


"Gw pusing jadinya Run, Ayah gak bisa sepenuhnya menyukai Dika. Padahal dia udah punya semua, kita tinggal nikah aja. Cinta kita juga kuat" terangnya panjang lebar.


"Gw sih males ya nyuruh lo sabar-sabarin diri. Soalnya gw juga males klo curhat cuma itu doang kata-katanya. Saran gw sih, mending deketin bokap lo aja terus. Biar hatinya kebuka", jawabku.


"Doain gw ya Run". "Selalu Ningrum, gw selalu doain orang terdekat gw", jawabku sambil tersenyum.


Handphone-ku bergetar, sebaris nomor tak dikenal memanggil. Aku jarang mengangkat nomor asing, kudiamkan. Kembali bergetar. " Angkat Run, siapa tau penting".


"Halo".
"Assalamualaikum de' ".
Aku membisu. Suara ini kudengar kembali sebelum berkenalan dengan Herry.
"Halo, de'.. Halo..halooo" .
Klik. Kumatikan.


"Aku di Jakarta hari Senin besok, menginap di mercure. Kuharap kamu mau diajak ketemu". Sebaris sms masuk.
Aku tercenung.
Ponselku kembali bergetar. Berulang-ulang. "Halo", Ningrum berinisiatif mengangkat. "Oh iya ada, sebentar ya" tangannya terulur ke arahku.


"Halo, assalamualaikum".
"Waalaikumsalam ini Rengga, Runny".
"Iya", malas kujawab.
"Maaf ya aku telepon duluan. Sedang apa?".
"Maaf Rengga, aku lagi ngobrol sama temen, nanti boleh telepon lagi?".
"Oh boleh, maaf ya".
"Bye".
Ningrum di toilet. Aku duduk di ruang tamu dan mulai melamun. Lima menit lalu suara sengau-nya terdengar jelas, seolah sosoknya kini duduk di sampingku. Kuraba wajahnya dari kening, hidung, dagu dan berakhir di bibirnya. Atas bibirnya yang agak kasar. Bimbingan skripsi yang sangat personal. Aku menarik napas panjang mengingatnya dalam lamunan pendek.
***
Senin adalah waktu yang sibuk, sangat sibuk. Transaksi yang menggila usai Lebaran ditambah dengan project yang hari ini diresmikan peraturannya. Semua tak banyak waktu untuk bicara, ruangan hening. Hanya suara mesin fax, printer, keyboard dan mouse yang diklik menjadi nada tak teratur.
Kami selesai reconcile pukul 7 malam. Ruangan departemen lain sudah tutup dan beberapa ada yang mengunyah makan malamnya di meja. Kami butuh asupan energi lebih untuk lembur malam ini. Karena baru akan selesai dua jam ke depan agar semua beres.




~ (oleh @IedaTeddy)

Friday, 16 September 2011

Elegi Purnama #5

Aku berjalan tergesa menuju Kampus Unitra BNN, ah sudah telat lima menit rupanya. Di sebelahnya, bangunan putih menjulang berbentuk kotak bernama Gedung Panti Rehabilitasi. Beberapa staf Unitra Lido keluar dari gedung, Pak Jandri dan Bu Rika melambai dari kejauhan.

Melewati taman kecil berpancuran, bangunan minimalis ini terlihat kaku. Aku masuk melewati lobi gedung yang terlihat lebih seperti hotel dan bertemu dengan seorang peserta kelas menulis yang baru keluar dari toilet.

Di luar, riuh suara penghuni rehab sedang berlatih basket. Akan ada turnamen minggu depan rupanya. Di sinilah, tempat pemuda bangsa yang terlanjur berkenalan dengan narkoba menempa kembali semangatnya untuk hidup lebih baik. Bangun setiap pukul lima pagi dan mereka harus melaksanakan solat subuh bagi yang menjalankannya. Piket mengepel lantai ruangan dengan cara berjongkok. Meletakkan semua barang sesuai dengan tempatnya, sedikit saja salah meletakkan handuk misalnya, akan diberi hukuman menulis janji untuk tidak lupa menaruh handuk lagi di sebuah buku tulis tebal. Mirip hukuman pada murid Sekolah Dasar. Bedanya tidak ada hukuman setrap, berdiri di depan kelas dan menjewer telinga sendiri. Tak ada hukuman fisik, semua hanya efek jera dan penerapan disiplin tinggi. Dan semua fasilitas ini gratis di sediakan pemerintah. Hanya kesediaan menjadi lebih baik menjadi syaratnya.
***
Kumasuki ruang kelas seperti biasa, dua tahun terakhir kuluangkan waktu menjadi sukarelawan setiap sabtu dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Jakarta. Kala itu ragu kuterima tawaran di kelas menulis karena tak punya bekal mengajar. Hanya sesekali mengajar di tempat terapi membaca khusus anak-anak yang kubentuk bersama dengan tiga orang teman. Dan mengajar orang dewasa adalah pengalaman pertama, sekaligus menyenangkan. Mereka yang memiliki pengalaman hidup di luar diri sendiri selalu menjadi pembelajaran tanpa mengalami kejadiannya.

Di sini sangat berbeda, awalnya agak ngeri membayangkan wajah-wajah seram akan berada di kelasku sendiri. Nyatanya, meski ruangan ini penuh dengan wajah dari seantero nusantara dengan berbagai suku dan sekaligus kelas paling hening dan paling interaktif, mereka sangat manis. Bersama kami menggali ide untuk dituliskan. Bagaimana membuat plot yang menarik dan penasaran. Pada kenyataannya, banyak diantaranya yang berbakat dan tulisan mereka akan diterbitkan bulan depan. Menulis adalah salah satu terapi bagi para mantan pecandu narkoba. Mereka yang resah butuh pelampiasan ke hal positif.

Kelas menulis dimulai pukul 07.00-13.00, dilanjutkan dengan konseling sampai sore. Aku kembali menjadi orang yang dicurhati mereka. Mendengarkan berjam-jam. Ada yang butuh hanya didengarkan, dan aku seolah ditugaskan memandanginya menangis, tertawa, tangan yang bergerak ke sana kemari mengekspresikan rasa, berdiri dari tempat duduknya sambil mondar-mandir atau mengacak-acak rambutnya sendiri. Ekspresiku sama, manggut-manggut dan sesekali tersenyum. Terkadang ada juga yang butuh diberi saran karena naksir dengan penghuni rehab sebelah.

Sabtu berarti menjadi hari paling surga bagi mereka, boleh dijenguk keluarga atau handai taulan. Dengan pemeriksaan ketat lebih dulu tentunya. Malam hari, kami akan berkumpul di udara terbuka menikmati api unggun. Diskusi tentang banyak hal, terkadang motivator diundang hadir.
***
Malam ini dingin Lido seakan menggigit tulang. Kami duduk mengelilingi api unggun dengan baju hangat warna-warni mendengarkan seorang artis yang telah keluar dari jerat narkoba. Diskusi tanya jawab menghangatkan udara. " Neng Runny, minggu depan ada anak baru yang ikut kelas nulis ya" Pak Jandri berbisik. "Iya Pak, silakan. Sudah berapa lama di sini?". "Ah, eta budak mah udah keluar dari lama. Cuma masih sering aja ke sini. Kangen katanya, suka maen juga ke rumah saya". Aku tersenyum.

Malam ini mataku bertemu kerlip mata lainnya, bertubuh sedikit tambun, agak botak dan sibuk menyimak diskusi. Sesekali ia bicara dengan teman di sampingnya kemudian mengajukan pertanyaan ke narasumber. Seperti pernah mengenalnya, di mana, kapan, siapa. Aku berusaha mengingat.

 
- (oleh @IedaTeddy)

Thursday, 15 September 2011

Elegi Purnama #4

Selamat siang, dengan Runny bisa dibantu?. Tanganku mulai dingin dan berkeringat. "Neng Runny, Herry gak mau nginep di rumah sakit. Jadinya kita pulang ke rumah Kebayoran. Nanti tolong tengok-tengok kalo Ayah kerja ya". Suara di sana sedikit memelas. "Maaf Yah, aku agak sibuk minggu ini, kenapa nggak sewa perawat buat Herry di rumah?".




Oke, ini sudah keputusan final kurasa. Seorang tua seperti Ayahnya pun tak akan bisa menahanku lebih lama lagi. Berbagai alasan akan dilakukannya agar aku kembali. Dan ini adalah alasan keseratus dua puluh kurasa. Tipikal mudah mengasihani benar-benar dimanfaatkan Herry. Ia sendirian di rumah. Ibunya meninggal empat tahun lalu terserang kanker paru-paru. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan beranak tiga dan tinggal di rumah yang berbeda. Tak apalah predikat 'tega' menjadi nama belakangku sekarang. Siapa peduli perasaanku sendiri ketika masih segar dalam ingatan Herry mencium bibir gadis lain di depan mata saat aku berupaya meyakinkan diri sendiri agar cintaku bisa tulus untuknya dalam pura-pura manis. Ternyata usaha sekeras baja pun masih dibalas dengan selingkuh. Kami bertengkar hebat kala itu dan ia cuma mengatakan, sejauh apapun aku pergi, aku akan pulang ke hatimu. Bah, gombal basi.




"Run, cepet ke ruang meeting. BB (blackberry) lo kenapa sih, daritadi ditelpon gak bisa. Gw BBM juga kaga 'D' kaga 'R'. Telepon meja lagi online. Jadi yaa gw samperin lo deh. Buru!" Abi datang berkemeja abu-abu dan masih dengan cengiran khasnya.




Meeting dengan para pembesar bank ini adalah melelahkan. Seharusnya kugarisbawahi, cetak tebal dan huruf dengan ukuran 72 untuk kata melelahkan ini. Masing-masing berargumen dan harus berkonsentrasi tingkat tinggi untuk menyimak. Sementara Agnes, sahabat di samping kiriku begitu sumringah dengan Abi di depannya. Pelan-pelan kuinjak kakinya dengan ujung stiletto. Ia mengaduh kecil dan balas mencubit pinggang. "Sialan lo!" Bisiknya pelan.




Meeting selesai pukul lima sore. Aku menarik napas lega, berarti tak akan terlalu malam sampai Bogor.


15 sms, dan BBM berhamburan masuk. Semua dari Herry. Kututup gemas semua pesan tanpa dibaca. Pasti akan sama, mendayu-dayu minta dijenguk. Takut sendirian. Dengan siapa aku nanti. Sangat merindukanmu. Bla bla bla.. Satu lagi sms masuk, ah pasti dari orang yang sama. Kumasukkan semua dalam tas dan pamit pulang lebih awal.




Kereta menuju Bogor tak terlalu ramai, beberapa sibuk dengan gadgetnya di gerbong khusus perempuan yang tak terisi penuh ini. Kusandarkan bahu dan mengingat semua yang terjadi hari ini. Herry adalah pribadi baik, dulu. Enam bulan pertama mengenalnya ia bagaikan datang menunggang kuda putihnya menuju gadis yang kesepian di ujung jalan dengan seikat bunga krisan putih. Aku mengenalnya di konser White Lion, saat ternyata temannya adalah teman SMU-ku. Dari situ kami makin sering berkomunikasi, datang ke konser kecilnya di pentas seni dan menemaninya latihan di studio. Saat aku sendiri tak paham betul apa yang didendangkan dari sebuah band musik rock-nya. Aku mencintainya, dulu.


Jika orang mengatakan cinta luntur karena laku, mungkin akulah salah satu orang yang paham betul dengan kalimat itu. Betapa tidak, menyandang status sebagai vokalis band beraliran keras tak menghalanginya menjadi laki-laki cengeng. Jika gadis lain akan terharu apabila pria idamannya rela menangis untuknya, aku tidak sama sekali. Ini soal sikap, bagaimana laki-laki yang tak menye-menye akan sangat bisa diandalkan nantinya. Dengannya, semua harus serba aku yang mengatur. Dari soal kemeja hari ini sampai akan belok ke arah mana menuju suatu tempat. Ah, bagaimana seorang perempuan menjadi makmum dari laki-laki.




"Runny, apa kabar hari ini?". Pengirim: Rengga.
"Baik, gimana handphonenya? udah beli lem UHU belom?".
"Kata warung sebelah lagi abis, adanya lem tikus".
"Bukannya lem biru?".
"Kalo lem biru kudu ke roxy, cuma di sana adanya".
"Emang gak bisa salto ke sana?".
"Aku biasa sikap lilin sambil kayang".
"Aku biasa koprol sambil benerin jenggot"
"Ternyata aku ngobrol sama bu jenggot dari kemaren".
"*pelintir kumis*".
"Benerin poni".
"Aih mak, ternyata aku ngobrol sama balon".




Sebentar, ada yang aneh dengan percakapan lewat sms malam ini. Tanpa sadar gw-lo berubah menjadi aku-kamu. Aku tersenyum. Tak mungkin, bantahku sendirian.


Sepanjang jalan Sudirman-Bogor tak pernah secepat dan menyenangkan begini. Ada yang menemani dari kejauhan dengan gurauan pendek. Enam puluh sms terkirim dan aku menyesali karena stasiun Bogor tinggal beberapa menit lagi.


"Runny, aku boleh telepon?".
"Mau ngapain?".
"Mau ngetes, jangan-jangan aku sms-an sama banci".
"Ahahaha, nanti aja live!".


Ningrum, sahabatku yang berprofesi sebagai dosen muda IPB duduk menunggu di bangku peron. Berjaket hitam dan jilbab biru, ia sibuk mengetik di ponselnya. Mungkin sedang bertukar kabar dengan tunangannya di Bali. Jejak aspal basah masih terasa di luar stasiun, beberapa timer angkutan umum sibuk berteriak agar cepat penuh dan jalan. Beberapa ada yang membukakan pintu agar penumpang menempati bangku depan. Tukang gorengan berjajar, menggoreng risol dan singkong besar-besar yang kelihatan gurih. Tukang ojek mengerumun, mereka sedang bergurau sambil menunggu penumpang datang. Sepintas kudengar mereka sedang membicarakan pertandingan bola yang akan tayang dinihari nanti.




Sepanjang jalan menuju rumahnya, berderet-deret makanan dijajakan. Penjual nasi goreng sedang memasukkan bumbu ke dalam wajan. Di sampingnya, penjual pecel lele sedang melayani pembeli. Di sebelah kanan sana, penjual es krim durian sedang menghitung uang. Diiringi musik anak-anak dari odong-odong yang dinaiki beberapa anak kecil dengan baju tidur warna-warninya.






- (oleh @IedaTeddy - www.bungaliar.tumblr.com)