Warung Bebas

Wednesday, 12 October 2011

#30: Epilog (pt 2) #Tamat

Adrian H. Choi tidak memberiku kabar selama tiga bulan terakhir.
Well, di tiga bulan pertama, hubungan kami baik-baik saja. Dia sering mengabariku lewat email dan meneleponku di akhir pekan. Bahkan, satu minggu sebelum aku pulang ke Indonesia, dia sengaja datang ke New York untuk menemaniku.
Tapi, setelah itu...
"AW—Oke! Tenang!" Adrian menahan tanganku yang semakin membabi buta memukuli pundaknya dengan buket bunga. "Nanti buketnya rusak—"
"KAMU LEBIH PEDULI SAMA BUKETNYA?"
"Sst!" Adrian menempelkan telunjuknya pada bibirku. "Tenang, please?"
Kami memilih tempat yang agak jauh dari taman. Kami berdiri di tepi padang rumput luas yang menyuguhkan pemandangan kota Bandung di bawah dan pegunungan dengan siluet jingga keunguan dari matahari sore. Namun, semilir angin Januari yang menerpa kulitku tetap dingin.
Adrian mendesah, lalu melepaskan jas putihnya, dan memakaikannya pada bahuku yang telanjang. "Kamu mau aku cerita dari mana?"
"Kamu sebenernya kuliah di mana, sih?" Todongku langsung tanpa basa-basi. "Setiap kali ditanya pasti nggak pernah direspon!"
Dia tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dari dompet dan menyodorkannya padaku. Kukira, itu kartu—EH? Kartu Tanda Mahasiswa.
UNIVERSITAS INDONESIA! Jurusan JURNALISTIK. Kepalaku menoleh padanya.
"A-Ad?"
"Salah satu rektor universitas membaca artikel interview aku dengan kamu dan mencari informasi tentangku," paparnya santai. "Pendekatannya memang lama, tapi dengan tawaran beasiswa dan pekerjaan yang menjanjikan, aku nggak bisa nolak. And there's a BIG chance for me to meet you in the same country."
YA AMPUUUN! "Jadi, selama tiga bulan ini sebenarnya kita berada di PULAU YANG SAMA?!" Aku hanya melongo saat Adrian menganggukan kepalanya. Kembali,
aku memukul pundaknya dengan buket bunga. "JAHAAAAT!!! Dan... orang tuaku..."
"Nah, aku sempet ketemu ayah kamu di pertemuan orang tua para penulis. Ingat?" Kepalaku terangguk. Ayah diundang penerbit novelku ke Depok dua bulan yang lalu untuk pertemuan itu. "Waktu tahu ada ayah kamu, aku langsung kenalan dan bilang kalau aku... pacar kamu."
Tanganku terlipat di dada. "Kamu sinting."
"Hei, tapi ayah kamu menyambut dengan baik! Dia melayani interview-ku, makan siang bersama, dan... sebenarnya ayah kamu yang merencanakan pertemuan ini." Seringainya muncul. "You have such a great parents and cute sister."
Aku meringis kesal. "Hah, dan nggak ada yang ngasih tahu aku!"
"I save you the last for the best," katanya dengan tatapan yang dalam yang membekukan. "Aku serius dengan hubungan ini, Dita. Selama kuliah, aku belajar tentang Indonesia. Besar kemungkinan, setelah kuliah, aku akan benar-benar bekerja di sini. Aku juga akan mengajukan permintaan naturalisasi."
Mataku menyipit – apa dia sedang mabuk? "For what sake?"
"For you, what else? Aku sudah lelah menghadapi drama-drama itu lagi di Amerika." Tangannya mengelus rambutku. "Begitu menginjakkan kaki di tempat kelahiran kamu, I suddenly know why you always bring a peace for me."
Kepalaku menggeleng tidak percaya. "Aku nggak tahu harus bilang kamu nekat atau gila."
Adrian terkekeh; telapak tangannya menangkup wajahku. "\*I will do everything for you as long as you keep staying by my side. We're gonna chase our dreams here. Together."
Air mataku meleleh. Di kota ini, Bandung – kota di mana aku dilahirkan, Adrian datang dan mengorbankan semunya untuk mewujudkan keinginanku untuk menghabiskan sisa hidup kami di sini. Apa lagi yang bisa kuharapkan selain hidup bahagia bersamanya?
Kemudian, Adrian mendekapku erat. Sebuah dekapan yang kembali menghantarkan kehangatan dan kenyamanan yang sudah lama aku rindukan. Cukup, Dita, cukup dengan semua drama itu! Adrian memang bukan pangeran berkuda putih. Dia lebih dari itu!
"Jadi, kita harus menyusul secepatnya?" tanya Adrian sambil merapikan rambutku dan melirik buket bunga itu. "Kapan?"
Aku tersenyum dan menepuk manja pundaknya. "Selama ada kamu."
Sayup-sayup, aku mendengar Jared berseru dan mulai menyanyikan sebuah lagu; Endlessly. Adrian tiba-tiba membungkuk dan mengulurkan tangannya padaku.
"A-Apa?" tanyaku gugup. "Dansa?"
"Have heard He is We's song called All About Us?*" tanyanya dengan alis terangkat. "They said, 'lovers dance when their feelin' in love'. So, shall we? Because, I believe you can."
Aku merengut sebal, namun entah kenapa tanganku malah menyambut tawarannya.
Adrian memeluk pinggangku dan salah satu tangannya yang lain menggenggam tanganku bersama buket bunga. Melihat ini, aku hanya bisa tersenyum geli.
"Anggap ini rehearsal untuk pernikahan kita," bisiknya lembut. "Well, I can't hardly wait to introduce you as Mrs.Choi."
Aku tertawa kecil. "Kita bisa latihan untuk itu juga sekarang."
Adrian ikut tertawa, sebelum memberiku ciuman mesra di kening.
Oke, ini benar-benar sudah berakhir, kan? Karena aku ingin istirahat bersama Adrian sekarang.

And there's no guarantee, that this will be easy
 It's not a miracle you need, believe me
Yeah, I'm not angel, I'm just me
But I will love you endlessly
Wings aren't what you need, you need me...
(Endlessly – The Cab)

***
TAMAT


~ (oleh @erlinberlin13)

0 comments em “#30: Epilog (pt 2) #Tamat”

Post a Comment