Warung Bebas

Tuesday, 4 October 2011

Delapan #13

"Ehm. Permisi Pak.. Bapak lihat guru kimia tidak?", sedang asyik aku menulis-nuliskan nama Milan dengan sembarangan di selembar kertas, tetiba saja suaranya datang secepat kilat. Sekejap mata. Pulpen di genggamanku berhenti. Aku balikkan kertasnya. Milan sekarang berdiri tepat disampingku. Aku membeku. Wajah Milan tak sedikitpun menyiratkan rasa bersalah. Tersenyum padaku juga tidak. Aku tetap diam dan membentang kuping dengan lebarnya. Memokuskan pendengaran pada nada suara yang sengaja dikeluarkan Milan. Sampai saat ini logat Padangnya masih saja lekat.

Setahuku, guru yang Milan tanyakan sudah pulang sedari tadi. Setelah menyelesaikan ketikan daftar siswa/siswi tadi. Setelah menanyakan dimana Milan tadi. Segalanya tadi. Aku ingin sekali memberitahu Milan. Tapi hatiku menciut melihat rautnya yang tak bersahabat. Lumayan lama ia mondar-mandir dalam ruang guru, aku beranikan bertanya dengan nada selembut mungkin pada akhirnya..


"Handphone Milan dimana?"


"Hmm kenapa?"


"Kok di sms dari tadi ngga dibales?"


"Ehm. HP lagi sama cewe baru"


"Milan kenapa?"


"Apanya?"


"Jangan bercanda dong.."


"Iya lagi sama cewe baru, makanya ngga kebalas"


Deg. Aku menunduk. Aku tau persis itu hanya sebuah canda meski sorot matanya terlihat sungguhan. Milan bercanda. Pasti. Dan ketika aku tegakkan kepala, Milan raib. Menghilang dari peredarannya. Aku berkejar-kejar ke lapangan parkir melihat apakah ia masih ada. Setidaknya jika masih, aku akan benar-benar meminta penjelasan darinya.


Napasku setengah-setengah, kerudungku berantakan dan aku tak kuat mengejarnya sampai gerbang. Aku mendapat satu info, kalau dia tak sendiri datang dan pergi dari PKL hari ini. Ditemani Ahmad, teman sekelasku. Hanya itu.


Jum'at, 7 Agustus 2009.
Aku menunggu jemputan di koridor sambil menulis-nulis nama Milan di selembar kertas. Sudah lebih kurang seminggu kami tak menyapa satu sama lain. Aku lelah selalu mencoba menghubunginya dengan tak satupun ia membalasnya. Apa benar yang dikatakannya tentang "cewek baru" waktu itu? Meski hati kecilku percaya bahwa Milan tak mungkin melakukannya. Yang aku tau dia baik. Titik.


"Aw!", pekikku. Seseorang menyenggol lengan kananku cukup keras. Ternyata teman sekelas Milan yang sempat aku lihat beberapa waktu lalu bermain 'truth or dare' bersama Milan. Jelas bukan Dini. Perempuan yang sekarang berjongkok di depanku ini memiliki paras rupawan. Cantik sekali. Senyumnya manis, kulitnya putih bersih, berkacamata dan bertutur lembut pula. Siswa PKL mana yang tak ingin menjadi pacarnya. Termasuk Milan. Mereka pernah pacaran, dulu. Jauh sebelum aku kenal Milan. Namanya Karina. Karin teman Milan sejak kelas 1 bangku Sekolah Dasar. Ayah mereka satu bidang pekerjaan dan perusahaan. Mungkin karena itulah apabila satu dari mereka mutasi, maka yang lain mengikut. Aku tau semuanya dari siswi-siswi yang senang bergosip dengan Dini. Mereka iri pada Karin yang punya segalanya. Oh ya, aku juga sebenarnya.


"Maaf ya Nggi, ngga sengaja bener deh.."


"Hahahaha santai aja Rin, ngga apa apa kok"


"Aduh maaf sekali lagi ya, habisnya buru-buru nih Nggi"


"Kemana emangnya Rin? Eh itu muka kenapa putih-putih semua? Habis main tepung-tepungan?"


"Nah iya ini nih mau bersihin muka ke toilet. Tadi habis kejar-kejaran main bedak sama Milan di kelas. Duluan ya Nggi! Maaf sekali lagi.."


Deg. Kejar-kejaran? Main bedak? Karin? Milan? Mereka pernah saling punya rasa. Itu di pipi kan? Tadi? Dan Milan sedang dalam diam sempat begitu? Oh selama ini aku kira, paling tidak, dia memikirkan aku. Ternyata. "Shit", kataku perlahan.



~ (oleh @captaindaa)

0 comments em “Delapan #13”

Post a Comment