Warung Bebas

Wednesday 5 October 2011

Delapan #14

Semua perasaan dan persepsi teraduk-aduk dalam diriku. Apa yang harus aku lakukan dalam waktu dekat ini? Detik ini? Tiba-tiba hujan menggenang di pipiku dan tak seorangpun menyekanya. Jangankan Milan, aku sendiri saja rasanya tak mampu.

"Piiim!! Piiimm!!", klakson khas mobil ayah memecah udara. Sesegera mungkin aku mengambil tas ke dalam kelas seraya meremukkan kertas yang sedari tadi aku tulis. Lalu berlari secepat yang aku mampu menuju parkiran. Aku ingin sekali segera sampai di jok empuk mobil kesayangan ayah. Entah kenapa, jok itu menenangkan. Ayah bingung melihatku masuk mobil dengan raut muka abstrak. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari lisannya. Ayah menyetir dengan santai lalu sesekali mengikuti alunan lagu masa kini yang diputar radio. Suara ayah makin menenangkan, sampai akhirnya aku tertidur sepanjang perjalanan.


8 Agustus 2009.
Kelas Olimpiade-ku berakhir lebih awal. Aku masih tak percaya dengan kata-kata yang meluncur dari Karin kemarin sore. Aku juga tidak tau apakah mereka sedang dekat, atau hanya menganggap 'sahabat' satu sama lain, atau satu hal lain yang sama sekali belum siap aku untuk mengetahuinya. Sekarang, aku sedang duduk bersamanya, Karin. Kami sama-sama menunggu seseorang keluar dari Kelas Olimpiade Matematika. Orang itu adalah Dini. Mendapat ide, kuputuskan meminjam ponsel Karin sebagai alat pencari informasi. "Rin, boleh pinjam handphone ngga? Mau liat-liat lagu, siapa tau ada yang cocok sama seleraku". Tanpa pikir panjang, ia berikan benda bercorak putih-hijau terang padaku dengan sangat lembut. Awalnya aku lupa dengan niat 'mencari informasi' dari sana. Aku serius sekali melihat-lihat daftar lagu yang ia punya. Kebanyakan memang lagu dalam negri yang easy-listening. Aku kirim melalui bluetooth setelah itu.


"Nggi, aku titip handphone sebentar ya. Itu Dini udah keluar. Aku juga pinjam Dini duluan ya? Soalnya kayanya aku cepat dijemput deh"


"Serius nih sama aku aja handphone-nya?"


"He eh. Oiya mending mainnya di kelas aja deh. Dingin tuh dari pada di luar panasnya Na'udzubillah"


Kami berdua tertawa. Sebelum ia pergi-entah-akan-kemana dengan Dini, dia memberikanku charger ponsel dan memintaku untuk menge-charge ponselnya itu. Karin menutup pintu kelas.


Aku ragu untuk membuka aplikasi yang paling menarik hat. Pesan. Sepuluh detik aku berpikir, lalu membukanya dengan basmalah.


Bentar ya Rin. Pulsa saya habis. Saya pinjam handphone bapak dulu. Nanti saya telepon lagi deh.
Terima: Farera Ib :)


Cepat-cepat "Catatan Panggilan" aku tuju. Dan ya, "Panggilan masuk: Farera Ib :) - 07/08/09" pertama kali aku jatuh cinta se-jatuhnya, pertama kali aku dijatuhkan cinta se-jatuhnya. Seperti kalimat telenovela yang pernah bunda tonton, "Hatiku hancur berkeping-keping, Ros", seperti itu rasanya. Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai pulsa Milan habis lalu rela meminjam ponsel orang tuanya untuk menelepon Karin. Aku sudahi sampai situ penelusuran lebih dalam ponsel Karin. Semakin banyak kartu yang aku buka, semakin besar kekalahan yang kudapatkan. Semakin banyak yang aku tau tentang mereka berdua, semakin menusuk-nusuk jantungku.


Kukembalikan ponsel putih-hijau terang tadi setelah urusan empunya dengan Dini selesai. Sejak itulah aku yakin bahwa Milan sudah benar-benar tak milikku sepenuhnya. Aku dan dia lost contact begitu saja. Putus begitu saja tanpa ada yang mengatakan kata pemutusan. Oke, anggap saja aku ataupun dia masih labil.


~ (oleh @captaindaa)

0 comments em “Delapan #14”

Post a Comment