Warung Bebas

Sunday 2 October 2011

#18 Kembali ke Siti Nurbaya

Hallo Sayang, Apa Kabar? Maaf sinyal susah banget disini.
Maklum aku gak sering di Daruba (Ibukota Kabupaten Morotai), tapi menjelajah ke seluruh Kebupaten Morotai, pergi ke Pulau Zum-Zum, Dodola Besar, Dodola Kecil dan Ngele-Ngele dan kamu tau Nay pantai-pantai disitu semua adalah pantai terindah yang pernah aku lihat. Hahahaha, kamu pasti iri deh, iri. Oh iya Nay, kamu juga harus tahu asal usul Pulau ini. Dari yang aku temukan sama Leo disini, Morotai itu erat kaitannya sama Suku Moro, suku asli Pulau ini yang sekarang sudah seperti orang bunian. Orang bunian memang diyakini sudah seperti makhluk yang beda dimensi dengan kita alias gaib. Cerita Suku Moro ini tidak jauh berbeda dengan kisah Suku Badui di Banten, kedua suku ini memang "melarikan" diri ke dalam hutan untuk lepas dari cengkraman kekuasaan superior yang dapat menggangu keberlangsungan adat istiadat mereka. Inilah persamaan yang aku tangkap dari kedua suku ini, mereka sama-sama mengasingkan diri demi menjaga keberlangsungan keyakinan dan tradisi mereka, perbedaannya hanya dari siapa mereka "melarikan" diri. Badui dari kekuasaan Islam sedangkan Moro dari Portugis, walaupun menurutku keduanya sama saja.
Semua berawal dari abad ke-15 Masehi, ketika datang Portugis ke tanah Halmahera untuk menguasai regulasi atas rempah rempah dengan melakukan banyak cara diantaranya, mengambil paksa rempah-rempah, menarik pajak yang sangat tinggi dari warga, mengadu domba yang pada ujungnya memicu pergolakan diantara Orang Halmahera. Sebelum semua ini terjadi Suku Moro merupakan suku utama yang sejak dulu berdiam di Jailolo (Halmahera) dibawah kepemimpinan seorang raja yang adil dan bijaksana. (Jika dilihat dari tahun berlangsungnya peristiwa tersebut, dapat dikatakan Raja yang memerintah ini kemungkinan besar menghadapi konflik perang saudara dengan kerajaan Ternate, Bacan atau Tidore yang pada masa itu memang sangat kuat bersaing menancapkan hegemoninya di seluruhMaluku walaupun keempat kerajaan ini dikenal dengan Moloku Kie Raha, akan tetapi bila melihat Portugis yang ada dibelakangnya dapat dipastikan ia berperang melawan Ternate yang memamng memiliki latar belakang historis yang cukup erat dengan Portugis).
Disinilah awal mula stereotype yang menyebutkan Suku Moro menjadi sedikit gaib, perang saudara yang terjadi akibat campur tangan Portugis membuat Raja Jailolo tersebut memutuskan untuk melarikan diri bersama seluruh pengikutnya (Suku Moro) kedalam hutan, setelah berabad-abad menghilang ke dalam hutan suku ini diyakini masyarakat Halmahera telah menyatu dengan hal-hal yang diluar akal sehat manusia, walaupun interaksi masyarakat setempat dengan suku moro ini masih terdengar hingga saat ini.
Tapi kamu harus tahu Nay, apa yang mereka perjuangkan dengan cara itu (mengasingkan diri) ternyata cukup berhasil. Kepercayaan merka tentang kesinergian kehidupan antara seluruh makhluk hidup dapat tercipta dengan baik, contoh mudahnya disini seseorang tidak dapat dengan entengnya menebang atau membunuh makhluk hidup yang ada. Mereka takut dan pantang sekali melakukan itu, mereka khawatir apabila pohon yang mereka menebang atau binatang yang mereka sembarangan membunuh adalah jelmaan dari suku Moro dan itu dapat menimbulkan sesuatu yang tidak baik. Aku rasa kamu mengerti kan Nay arahku kemana? Jangan tertawakan keyakinan mereka itu dengan hal-hal yang dikatakan takhyul, sirik, musyrik atau apalah bahasa lain yang memandang mereka salah bahkan rendah, tapi coba kita rasakan efeknya dari "kepolosan" mereka berpikir itu. Berarti banyak pohon yang masih menjulang tinggi hidup menghasilkan oksigen yang bersih dan segar, masih banyak binatang-binatang yang hidup sehingga rantai makanan tidak terganggu dan apa dampaknya?? Keberlangsungan hidup Manusia, mereka tidak perlu gelar tinggi untuk melakukan itu, meraka tidak perlu embel-embel peningkat derajat "tai kucing" yang diperlukan oleh orang-orang pragmatis, dan yang jelas apa yang mereka yakini dan jalankan tersebut adalah sesuatu yang sangat tidak dijalankan oleh manusia-manusia di kota-kota besar. Yah tapi itulah resiko peradaban, semakin modern semakin menuntut untuk tidak selaras dengan hal-hal tradisional yang mereka anggap kuno dan mistis.
Oiya Nay, disini keseniannya juga keren-keren loh, hehehe. Kamu pasti iri lagi. Selain alamnya yang layaknya surga, budaya dan adat istiadatnya yang berkarakter ternyata Morotai juga memiliki kesenian yang unik. Pertama kali aku sama Leo datang ke Kantor Bupati Daruba, kita disambut dengan Tarian Cakalele, ini tarian sih emang terkenal banget disekitaran Maluku. Tarian Cakalele kalau menurut John (Guide kami selama disini) itu merupakan Tarian khas seluruh Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30an orang laki-laki dan perempuan. Penari laki-laki biasanya membawa klewang (Senjata khas Maluku atau biasa juga disebut Parang) dan Salawaku sejenis Tameng, sedangkan penari wanita menggunakan Lenso sejenis sapu tangan. Pakaian penari laki-laki bernuansa warna merah dan kuning tua, mengenakan topi terbuat dari alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Berbeda dengan pakaian penari lelaki yang didominasi oleh warna merah dan kuning, penari perempuan menggunakan warna putih untuk warna pakaiannya. Tarian ini dibawakan berpasangan dan mereka menari diiringi musik beduk (tifa), suling, dan kerang besar (bia) yang ditiup.
JIka dilihat dari sudut pandang antropologi, menurutku tarian ini sarat sekali dengan bahasa-bahasa simbol yang digunakan oleh orang Maluku untuk menggambarkan harga diri dan nilai-nilai sebagai orang Maluku. Ternyata Leo pun juga memiliki pandangan yang sama, terlebih didaerahnya sana juga ditemukan tarian sejenis yang juga memiliki maksud yang sama. Setelah aku dan Leo bertanya pada John, barulah kami tahu arti pasti dari simbol-simbol yang tadi kami kira-kira tersebut.
Kalau kata John nih Nay, tarian ini sangat istimewa bagi mereka, tiga simbol utamanya terletak pada, satu: Pakaian berwarna merah pada kostum penari laki-laki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Maluku, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku ketika menghadapi perang. Dua: Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Dan terakhir, Tameng (salawaku) dan teriakan lantang menggelegar pada selingan tarian menyimbolkan gerakan protes terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak kepada masyarakat. Ternyata dibalik itu semua tariaan ini juga dipakai sebagai tarian perlawanan atau protes sosial untuk pemerintahan yang tidak berjalan dengan semestinya. Benar-benar syarat dengan makna Caklele ini, kebudayaan kita memang termasuk kebudayaan awal di muka bumi ini jadi tidak mengherankan jika kebudayaan-kebudayaan di Indonesia memiliki nilai tinggi jauh sebelum semua hegemoni asing hadir di Nusantara, jauh sebelum bangsa Arab, Eropa dan Cina membawa ideologi-ideologi mereka kesini bangsa kita sudah memiliki peradaban yang tinggi. Tapi apa sekarang yang terjadi? Toleransi masyarakat yang ada di Indonesia jauh dari yang diharapkan, kemana tadi nilai-nilai luhur yang menjadi ujung tombak melestarikan tatanan alam? Terganti oleh ideologi-ideologi asing yang terbawa masuk kesini dalam apapun bentuknya, baik agama, ekonomi dan politik yang sebenarnya tidak cocok berada disini. Agama yang tidak diterapkan dengan benar membawa fanatisme berlebihan yang diujungnya sudah pasti bertolak belakang dengan kebudayaan, terlebih akan budaya yang katanya tidak selaras dengan kaidah-kaidah agama. Contoh pengkeramatan akan pohon, ritual terima kasih pada Dewi Padi itu yang dianggap haram? Coba kita lihat esensinya, diposisikannya sebuah pohon sebagai sesuatu yang keramat dengan tujuan agar manusia dengan tidak mudah menebangnya karena takut akan kutukan-kutukan yang menimpanya, dengan begitu keberlangsungan pohon yang merupakan sumber kehidupan tetap berlangsung (jelas dong ia menghasilkan oksigen yang semua orang harus hirup jika masih ingin hidup). Kita lihat bahasa dari kenyataan itu, apa yang sebenarnya coba disampaikan dari "pengkeramatan" tersebut, jangan langsung dibilang sirik. Lagipula tradisi itu sudah ada jauh lebih lama dari lahirnya agama-agama yang melarangnya, itu hanya bentuk manusia kuno menerjemahkan alam tanpa ada bimbingan dari siapa pun.
Pun juga dengan ekonomi, ekonomi saat ini tidak berpihak pada ekonomi mikro yang pada kenyataanya justru sektor terbesar yang dijalankan oleh masyarakat di Indonesia. Padahal jauh sebelumnya Jayabaya sudah memperingatkan pada kita melalui jangkanya. Ketika pasar kehilangan gaungnya itulah tanda akhir zaman (akhir zaman disini menurutku adalah tidak meratanya kesejahteraan yang diperoleh oleh seluruh umat manusia), kalau aku lebih mengartikan kata-kata ini dengan banyaknya mall yang didirikan mengalahkan pasar-pasar tradisional, dimana gaung yang dimaksud adalah proses tawar menawar yang tidak kita temukan di swalayan dan semacamnya. Jika sudah begitu apa yang terjadi? Ketidakberpihakan kepada masyarakat kecil dan keuntungan yang hanya akan didapat oleh sebagian orang, terutama yang memiliki modal besar. Ini yang diharapkan dari bangsa yang tumbuh tanpa melihat jauh nilai-nilai luhurnya yang terkandung dalam tiap nafas kebudayaan dasar yang membentuknya, sebuah penghianatan kepada cita-cita luhur. Untuk itulah aku disini Nay, aku akan mencoba mengubah sedikit pandangan pemerintah melalui kerjaan ini. Sudah saatnya pemerintah menggunakan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya terutama tempat-tempat berpotensi yang jumlahnya ada ribuan di Indonesia seperti Morotai ini. Coba jika seluruh tempat disana dikelola dan diakomodasir seluruh potensi wisata dan budayanya, hal itu akan menghidupkan geliat ekonomi daerah tersebut dan ujungnya pendapatan akan merata keseluruh wilayah di Indonesia. Masih tidak yakin dengan kata-kataku? Sudah ada kok contohnya, Bali. Keberhasilan Bali mempromosikan, mempersiapkan dan mengelola sektor pariwisata dan budayannya sudah menjadi ujung tombak pendapatan perekonomian masyarakatnya. Dan Sail Morotai 2012 mengarah kesana, itulah yang menyebabkanku benar-benar "khusuk" pada pekerjaanku kali ini.
Aku tahu kamu pasti akan menertawakan uraianku diatas yang panjang lebar, tetapi ya memang itu yang terjadi dan aku rasa kamu juga paham. Hehehe.
Oiya selain Cakalele, ada kesenian yang lebih khas dalam menggambarkan Maluku Utara, namanya Musik Bambu Hitadi. Sesuai dengan namanya Nay, alat music ini berasal dari bamboo dengan pengaturan nada music berdasarkan nada-nada yang dibutuhkan pada lagu yang diiringi, unik kan? Jadi setiap lagu akan selalu berbeda. Hitadi ini bener-bener musik tradisional dan biasanya yang mainin dengan penyanyinya berjumlah 15 orang, kapan-kapan kamu harus lihat Nay dan tenang aja aku udah bawa rekamannya. Hehehe.
Di Morotai ini juga banyak menyimpan peninggalan Perang Dunia Nay, disini dahulunya merupakan strategis yang diperebutkan oleh sekutu dan jepang. Morotai dua kali mengalami pendudukan tentara asing. Pertama, oleh tentara Jepang di bawah pimpinan Jenderal Kawashima pada 1942 dan tentara Sekutu pada 1944 di bawah komando Jenderal Douglas McArthur. Jadi di Morotai ini benar-benar banyak ditemukan benda-benda sisa perang kayak, panser, tank, pesawat tempur, bom, senapan. Belum lagi sisa landasan yang masih menyisakan kehebatan masa lalunya ada tujuh jalur landasan pacu yang masing-masing memiliki panjang sekitar tiga kilometer yang saat ini terbengkalai, sayang banget padahal jika pemerintah bisa mengoptimalkannya bandara ini bisa digunakan untuk pintu masuk datangnya wisatawan ke Morotai.
Oh iya Nay, gimana kabar Jerami? Terus udah jadi direalisasiin tuh idenya si Ahmad? Maaf ya gak bisa bantuin kamu ngurus Jerami. Hehehe. Tapi tenang seminggu lagi aku pulang kok dan kita akan mengawal Jerami bersama-sama. Hehehe. Hoaammmm. Udah jam 01.00 WIT disini Nay, sudah dulu ya suratku. Nanti aku cerita banyak kalo dapet sinyal, untuk kali ini kita kembali ke masa Siti Nurbaya, yaitu pakai surat. Aku yakin kamu pasti ketawa pas nerima ini, tapi tenang aku kirim pakai titipan yang kilat jadi 3 hari pasti sampai. Hehehe.
Seseorang yang kangen banget sama kamu.
Nalendra Jaleswara
Morotai menjelang pagi.

Kulipat sepucuk surat untuk istriku. Surat pertama yang akan singgah di dalam kotak pos kayu buatanku sambil membayangkan ekspresi Naya yang kegirangan. Dia pasti menggerutu dengan suratku, 'Len kamu bikin surat atau buku sejarah?' hahaha dia seringkali meledekku. Tak apa aku suka melakukannya toh dia senang membaca dan menyimpannya hehe..




~ (oleh @sthirapradipta)

0 comments em “#18 Kembali ke Siti Nurbaya”

Post a Comment