Warung Bebas

Thursday 6 October 2011

#25: Untouched

I feel so untouched
And I want you so much
That I just can't resist you
It's not enough to say that I miss you
(Untouched – The Veronicas)


Sepuluh hari berlalu.
OKE! AKU HARUS BERTEMU DENGAN ADRIAN!
Begitu selesai memakai mantel dan scarf, aku – dengan semangat yang bercampur dengan was-was – berlari ke arah pintu. Namun, begitu aku membukanya...
"HAH!" Mataku membelalak kaget begitu melihat Adrian berdiri di sana dengan posisi tangan terangkat – siap untuk mengetuk pintu. Kami terdiam sejenak, sampai akhirnya dia menurunkan tangannya dan menatapku penuh curiga. Tunggu, ke mana kacamatanya? Apa dia ke sini untuk meminta ganti rugi?
"Kamu mau pergi, ya?" tanyanya.
"Emh, iya, tadinya..." tanganku mematut-matut ujung mantel. Uh, kenapa tiba-tiba jadi secanggung ini? "Eh, ayo masuk. Aku nggak jadi pergi."
Adrian menungguku di ruang tengah, sementara aku kembali mengganti baju dengan sweater dan celana panjang di kamar. Cuaca sedang sangat dingin dan membuatku agak mengantuk. Kalau jadi pergi tadi, mungkin aku akan tertidur di subway.
"Mau kopi?" tawarku yang disambut anggukan darinya. Bukan hal yang sulit untuk membuat secangkir kopi hitam dengan taburan hazelnut giling untuk Adrian. Tapi, kemudian aku dikejutkan oleh perban yang melilit lengan kirinya saat menaruh cangkir di atas meja.
"Ya ampun!" Aku terkesiap kaget dan nampaknya Adrian risi ketika aku menyingkap lengan kemejanya. Perban itu ternyata menutupi lengannya sampai ke sikut. "Kamu kenapa? Jatuh? Ketabrak?"
"Ini..." Dia berusaha melepaskan tanganku. "Nggak parah, kok!"
Kemudian, aku ingat berita-berita kriminal yang akhir-akhir ini terjadi di Brooklyn. Apa Adrian adalah salah satu korbannya?
"Aku cuma keserempet mobil, Dita," katanya, berusaha menenangkanku. "Kegores aja, nggak sampai patah tulang atau apa yang lebih parah."
"CUMA? Gimana bisa kamu hilang ini CUMA?!" hardikku yang membuatnya terdiam.
"Siapa yang nyerempet? Mobil apa?"
Adrian tidak menjawab dan dia malah menyesap kopi racikanku. "Mmh, you could be a good wif—*"
"ADRIAN!"
"Dita, really, I'm okay!" katanya, kali ini dengan serius meyakinkanku.
"Jangan jadi secemas itu, karena mungkin berita yang akan aku sampaikan selanjutnya malah bikin kamu makin down. It doesn't sound good."
Aku merasa bersalah sekarang. "Maaf..."
"Oke, first of all, it should be who ask for the apologize," katanya semakin serius dan mengintimidasi. "I mean, tentang tiket itu. Apa kamu... mau memaafkanku? I admit that was... such a big mistake."
Aku termenung sejenak. Seharusnya aku masih merasa sangat kesal, tapi ucapan Ares di apartemenku beberapa hari yang lalu merngubah segalanya. "Aku sudah memaafkannya, Ad. I didn't tell Ares and so far, it's okay."
Adrian meringis – ada dilema yang tergambar jelas dalam sorot matanya. Ini sangat jauh berbeda dari obrolan-obrolan kami yang biasanya penuh tawa dan canda. Ini terlalu kaku dan membuatku tegang.
And I sense so called farewell thing.
"Ini terlalu cepat dari rencana, tapi, aku akan pulang ke Ohio lusa besok untuk mengurus surat pengunduran diri dari Ohio Newspaper,"* paparnya sendu yang langsung membuatku terhenyak kaget. "Itu karena aku baru menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 dan universitas itu menawarkan sebuah pekerjaan. Sayangnya, itu membuatku harus melepas pekerjaan di sini—"
"K-Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. "KAMU UDAH SUSAH PAYAH BUAT JADI
JURNALIS, AD! Itu cita-cita kamu, kan? ITU MIMPI KAMU, KAN?"
"But, now, it's nothing without you," sambarnya cepat. "Sebelum bertemu kamu, yang ada di pikiranku hanya bagaimana meraih mimpi itu. I was an obsessive robot. I was careless with my heart. And then YOU came into my life! Kamu memperkenalkan semuanya. Tentang hati yang rapuh. Tentang hati
yang yang sewaktu-waktu bisa membeku jika tidak pernah disentuh oleh sebuah perasaan."
Adrian malah menarik tanganku saat aku akan melepaskannya. Mata kami bertemu dan tanpa kacamatanya, aku bisa membaca setiap sorot yang dia berikan dengan jelas.
"Aku belum pernah seperhatian ini dengan seseorang," katanya lebih lembut.
"Dan aku belum pernah setakut ini untuk kehilangan seseorang."
"Terus, kenapa kamu malah mutusin buat ninggalin aku?" tanyaku kemudian.
"Kalau kamu takut untuk kehilangan, kenapa kamu malah menjauh dariku?"
Dia menghela nafas panjang. "Aku nggak akan ninggalin kamu sepenuhnya. Tapi, kalau kamu mau, aku akan melakukannya. It's you who will decide."
"A-Apa?"
"Dengar, ini mungkin akan seperti tekanan klasik." Adrian menatapku semakin dalam. "Selama dua hari ke depan, pikirkanlah keputusan yang ingin kamu ambil. Kamu tahu sendiri aku selama ini nggak pernah bercanda dengan perasaan ini." Kemudian, dia kembali menempelkan telapak tanganku pada dada
kirinya. "Di sini masih kosong. Aku hanya akan pergi dari kehidupan kamu sepenuhnya kalau kamu yang memintanya. Then, I'll stop to love you."
Terdengar mengerikan. Aku tahu bagaimana rasanya menunggu seperti yang Adrian lakukan. Tapi, tentu saja dia tidak menunggu dalam diam. Selama dua tahun, dia tidak pernah berhenti mencurahkan perhatiannya padaku dan aku tahu, dia melakukannya karena berharap... aku bisa bisa membalasnya.
Semakin lama, aku tidak menyangkal perasaannya bukan main-main. Tapi, aku juga tidak bisa memberikan harapan palsu.
"Dengar, jangan kasihani aku untuk masalah ini," pinta Adrian sungguh-sungguh. "You really mean a lot to me. Seandainya aku bisa menunjukannya dengan sesuatu, Dita, but nothing compares it. Nothing
compares you."
Aku mendesah frustasi begitu merasakan debar jantungnya yang semakin cepat. Ini sudah lebih cukup bagiku.
"Stop talking," pintaku lirih. "Kamu benar-benar memberikan tekanan."
Adrian mengangguk patuh, kemudian melepaskan tanganku. Hah, aku tidak habis pikir, kenapa wanita selalu butuh waktu untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan?
"Aku akan menunggu," bisiknya lembut. "Lusa, Dita, dan selama dua hari ini,
aku nggak akan ngeganggu kamu."
"Tunggu!" cegahku sebelum dia berdiri. "Kacamata kamu ke mana? Was it... really broken?"
"Ya dan aku memutuskan untuk memakai lensa kontak," jawab Adrian sekenanya.
"It also helps me to see your beautiful eyes."
Kemudian, Adrian beranjak dari sofa – kembali menutup lukanya dan memakai mantel. Aku melangkah lambat-lambat di belakang. Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiranku; kenapa dia tidak memutuskannya sendiri? Kenapa harus... aku?
"Karena aku peduli dengan kamu, Dita," katanya tiba-tiba – seolah-olah baru membaca pikiranku. "Aku nggak mau membuat kedua belah pihak menyesal nantinya."
Setelah itu, Adrian pergi tanpa menatapku sama sekali. Sempat tergoda untuk berlari dan menahannya dengan pelukan dari belakang. Tapi, kakiku terpaku erat dan aku hanya bisa menatap kepergiannya dari ambang pintu.
Hanya ada dua orang yang bisa membantuku saat ini...


***


~ (oleh @erlinberlin13)

0 comments em “#25: Untouched”

Post a Comment