Warung Bebas

Sunday 2 October 2011

Selembar Masa Lalu

Aku masih berkutat di meja kantor. Lembur dan lembur lagi. Dua minggu ini aku selalu pulang di atas pukul delapan malam dan harus sudah di ruangan kerja pada pukul delapan pagi. What a life!

Sebuah berkas mengusik perhatianku. Ada nama Hendro Prabowo di sana. Aku penasaran. Hendro yang mana lagi ini? Kubuka berkasnya dan membaca alamatnya. Jalan Cendana nomor 9B. Dia! Ya Tuhan, dia masih tinggal di sana? Dengan siapa? Orangtuanya sudah wafat. Dia anak tunggal. Kekayaan yang pastinya berlimpah... Hanya dinikmati sendiri. Benarkah?

Aku mencoba melihat database di komputer. Ternyata Hendro termasuk pemain tender yang aktif dan (menurut istilahku) agak brutal dan nekat. Hampir 80% tender dimenangkannya. Semua bernilai triliunan rupiah. Terbesar sebuah tender rahasia yang dilansir senilai seratus triliun. Sebuah mega proyek. Aku sendiri tidak tahu apakah itu. Aksesnya terkunci.

Seorang Hendro yang bertubuh tinggi tegap, berkulit putih, pendiam, dan kurang suka bergaul. Hanya saja anehnya, relasi dia banyak sekali.  Aku sering membaca namanya di media cetak maupun online. Tapi, iya itu tadi, karena dia kurang suka bergaul alias tertutup, dia tuh gak ketahuan tinggalnya di mana. Hanya orang-orang tertentu yang diberi akses itu.

**

Aku tetap melamunkan Hendro hari ini ketika sedang menunggu Rico di McD Kemang. Sore yang macet, pastinya. Hujan, pula. Aku sudah mencoba menghubungi Rico, tetapi BB dan androidnya sama-sama tak aktif.

Saat aku hendak memesan segelas Cola untuk yang ketiga kalinya (yah, aku candu minuman berkarbonasi ini sekarang), kulihat sosok yang baru kupikirkan. Dengan setengah sadar, kukumpulkan keberanian untuk menyapanya. "Pak Hendro?"

Yang disapa menoleh. Dia mengerutkan dahinya dan seketika tampak terkejut. "Tania?"

Giliran aku yang terkejut. Dia ingat! "Ah, iya. Benar, Pak. Saya Tania."
"Sejak kapan kamu kaku dan resmi padaku?" tanyanya dengan pandangan tajam.
"Ya, saya pikir karena..." tenggorokanku seperti tercekat.
"Aku masih seperti dulu, Tania. Sama. Aku adalah Hendro yang dulu."
"Tapi rasanya sekarang berbeda."
"Ini kartu namaku. Hubungi aku di sini. Ini pin BB dan ini akun twitterku," Hendro menuliskan sesuatu di kartu namanya. Rupanya tak sembarangan orang bisa mendapat pin BBnya.

Aku menghela nafas. "Terima kasih, Pak..."
"Hendro. Tetaplah memanggilku begitu, Tania," pintanya sopan tetapi suaranya ditekan tanda tak mau dibantah.
Seseorang di sebelahnya membisikkan sesuatu.
"Oke, Tania. Aku harus pergi. Segera hubungi aku. Kita makan malam, secepatnya. Bye," Hendro mencium pipiku dan segera berlalu.

Aku masih terpana ketika Rico menepuk pundakku. "Heh! Baru juga dicium pengusaha kelas kakap, belum kelas paus," ledeknya sambil mencium keningku. Aku mencibir.

"Kamu tahu siapa dia?" tanyaku penasaran.
"Siapa yang gak tau dia sih, Tania. Pertanyaan bodoh!" Rico menjitak kepalaku. "Seharusnya aku yang bertanya dia itu siapanya kamu?"
"Temannya Aryo, sebenarnya. Aku kenal waktu bertemu dia di Kuta. Sekitar lima belas tahun yang lalu."

Mulut Rico membulat. "Sebuah masa lalu? Kok aku gak diceritain sih?"
"Penting buatmu?" aku balik bertanya.
"Banget. Dia itu incaran semua perempuan, lho."
"Kecuali aku," sergahku.
"Termasuk kamu," ralatnya cuek.
"Ya gaklah!"
"Ya terus kok dia bisa menciummu segitu mesranya?"
"Dari mana kamu bisa menilai itu ciuman mesra?"
"Aku ini lelaki, Tania! Aku tau dan bisa membedakan!" suaranya agak meninggi.
"Kamu cemburu," aku tertawa kecil.
"Ngapain lelaki begituan aku cemburuin. Gak level!"

Aku tertawa. "Hey! Dia itu gay!" bisikku sambil tetap tertawa.
"Gak mungkin ah!" Rico terkejut. Iya, pastinya terkejut. Radar lelakinya tka berfungsi kali ini. Puas rasanya!
"Sorry to say, it is true," aku mengerling."Nanti kuceritakan. Sekarang, apa yang kamu bawa dari galeri. Kanvas titipanku sudah diambil?"
"Yup, sudah. Kamu sudah memesankan aku Big Mac, kan?"

Dan kami menghabiskan senja dengan menikmati rintik hujan dan menyaksikan kemacetan dari balik meja sambil mengunyah kentang goreng.

-----

Special: yang tak pernah memikirkanku.




~ (oleh @Andiana)

0 comments em “Selembar Masa Lalu”

Post a Comment