Warung Bebas

Monday 10 October 2011

#29: Epilog (pt 2)

"Pokoknya, buket bunga mawar ini—" Helen mengacungkannya padaku "—HARUS jatuh ke tangan KAMU!" Nerva, sambil mengelus perutnya yang semakin membuncit, tertawa lepas.
"Siap-siap juga dengan pertanyaan 'kapan nyusul?'. And hence you don't bring your boyfriend, you'll need to explain his existence!"
"Sebenernya yang nikah siapa, sih?" keluhku. "Kok malah aku yang tertekan?"
Yeah, finally, Helen's wedding party!
Setelah lima tahun yang panjang dan melelahkan, Jared akhirnya berhasil merubah nama belakang Helen menjadi Brokepatth. Helen Brokepatth. Pernikahan antar bangsa memang terdengar keren. Tapi, aku, sebagai sahabat Helen yang membantu selama enam bulan terakhir untuk hari spesialnya, tidak setuju dengan pendapat itu! Aku bisa saja stress, tapi Helen dan Jared sangat serius menggarapnya.
Bagian paling mengharukan adalah ketika mereka berdua akhirnya sah menjadi sepasang suami istri. Helen menoleh pada kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca – sadar dia akan pergi jauh setelah ini. Dia akan tinggal di Bandung satu bulan lagi, dan selama itu pula, Jared akan membantunya untuk mengurus masalah kewarganegaraan.
Salut, miris, sedih, kagum... itu yang kurasakan. I mean, mungkin aku juga akan mengalaminya.
Tapi, hari ini, di resepsi pernikahan yang digelar di rumah Helen, perasaan-perasaan kelam dilarang masuk. Kedua pengantin mengonsep resepsi ini dengan garden party, karena halam belakang rumah Helen cukup luas dan menghadap city view kota Bandung serta pegunungannya yang indah. Dress code: white-thingy. Oke, nggak harus 100 persen putih juga, sih. Oh, dan Mitha yang merancang pakaian untuk pengantin dan para 'panitia' yang terlibat dalam acara.
Salah satunya aku. Ingat gaun yang Mitha kirimkan ke New York? Itu adalah contoh untuk gaun resepsi ini. Jadi, tidak jauh berbeda, hanya motif batik di pitanya yang diperkuat (dan untukku, gaunnya diukur ulang). Agar tidak terkesan sepi, aku juga memakai bando dengan motif batik yang hampir sama dengan pitanya.
"Simply gorgeous," puji Nerva, "tapi, sayang, cowoknya nggak ada." Errr!!!
Di tengah-tengah acara, Helen, yang memakai greek gown dan mahkota dari bunga forget-me-not, melangkah ke tengah taman bersama Jared di belakangnya yang sangat gagah dengan tuksedo putih. Para undangan berkumpul untuk memperhatikan apa yang akan dia lakukan. Terutama para wanita.
"Siapapun yang menangkap buket ini," katanya dengan lirikan tajam padaku,
"harus menyusulku untuk menikah SECEPATNYA!"
Helen langsung melemparkannya ke tengah kerumunan para wanita yang heboh berlari dengan widgets dan high heels. Beberapa orang ikut berteriak – meramaikan suasana. Namun, entah karena takdir atau ada skenario, buket itu terlempar jauh ke arahku. Tanganku refleks menangkapnya – seolahkeduanya adalah dua kutub magnet yang berlawanan.
Tepuk tangan semakin riuh. Nerva menyeringai puas. Helen juga.
Duh.
"Bisa minta perhatiannya sebentar?"
Aku terkejut mendengar suara itu. Dari pintu yang menhubungkan rumah dan taman, kedua orang tuaku muncul bersama—EH? Kalau bukan karena tinggi badannya yang menjulang dan rambutnya yang kecoklatan...
"Ada yang ingin bertemu dengan putri sulung saya," kata ayah sambil melangkah ke arahku. "Oh, kebetulan sekali Dita yang mendapat buketnya!"
Ssh, I wish my father knew I don't believe in coincidence!
Terdengar beberapa siulan yang membuatku semakin malu. Terlebih lagi saat Adrian menjabat tangan ayah dan menyalami punggung tangan ibu sebelum menghampiriku, my cheeks are already BURNT!!!*
YA TUHAN, SKENARIO APA LAGI INI?!!!
Adrian mengulurkan tangannya padaku. "Bisa kita bicara?"

***


~ (oleh @erlinberlin13)

0 comments em “#29: Epilog (pt 2)”

Post a Comment