Warung Bebas

Monday, 3 October 2011

Sex Abuse

Pagi ini kau ada siaran dengan Ramon jam 7, menggantikan Iben. Namun tiga puluh menit sebelumnya kau sudah datang karena sedang ber-mood baik. Berita baiknya, Andra sudah pulang dari rumah sakit kemarin, namun hari ini ia masih belum masuk kerja. Padahal kalian semua penasaran sekali dengan keadaannya. Terutama motif sebenarnya dibalik percobaan menguruskan badan dengan cara ilegal itu. Andra bukan tipe orang yang terlalu mempermasalahkan berat badan selama kau mengenalnya. Hal ini tentu sangat menimbulkan tanda tanya besar di benakmu.

Studio begitu terasa lengang saat kau datang. Kau orang kedua yang tiba di lantai dua ini, berdua dengan Renata, dia siaran sejak pukul 5 sampai 7 pagi ini. Dan dia terlihat senang sekali menyambutmu.

"Tumben dateng awal," sapanya ramah saat kau membuka pintu bilik kaca tempat Renata siaran. Kau tersenyum simpul ke arahnya.

"Kepengen aja," jawabmu santai sambil mengecek handphonemu. Renata memandangmu dengan evil eyesnya.

"Bukan gara-gara nona LA itu kan?" tebaknya telak. Kau tertawa dipaksakan.

"Iya dan tidak. Pertama, nona Renata yang baik hati akan ngomel panjang lebar lagi kalau saya telat, kedua, saya nggka mau berurusan dengan tuan puteri itu," jawabmu santai. Renata tertawa ngakak mendengarnya. Entahlah, sejak kejadian beberapa hari silam kau jadi lebih akrab dengan Renata. Kalian berbagi jadwal siaran bersama, beberapa kali saling mengirim SMS, dan tertawa bersama seperti sekarang.

"Kenapa sih elo kok sewot banget sama si bule itu? Ada masalah?" tanya Renata serius. Wajahnya seperti ditarik membentuk sebuah garis lurus.

Kau diam, memilah kata-kata pembelaan untukmu. "Bukan sewot dan sedang bermasalah, hanya saja..."

"Apa?" potong Renata tidak sabaran.

"Entahlah, aku hanya merasa dia adalah cerminan diriku di masa lampau dan aku tidak suka mengingatnya."

"Kenapa?"

Kau menghela nafas panjang, kemudian memandang langit-langit. "Aku tidak suka memiliki masa lalu yang suram, tapi itu kenyataannya. Aku hanya ingin cepat-cepat melupakannya."

Renata terdiam, memandangmu penuh simpatik. Kau tidak suka dikasihani. Bagimu, apapun yang pernah kau alami entah menyedihkan, menyenangkan, memalukan, adalah hak prerogatifmu dan kau tidak ingin orang lain tahu. Itu prinsip.

"Gue nggak tahu jalan pikiran elo, Ra. Buat gue, elo orang terunik dan terintrovert yang pernah gue kenal. Tapi itu hak elo sih, setiap orang bebas menentukan dirinya sendiri-sendiri."

"Thanks," balasmu. Renata tersenyum tulus. Ada saat dimana kendali seseorang atas keingintahuannya menyelamatkanmu dari serbuan pertanyaan, seperti saat ini. Kau mengambil kursi di sebelah Renata yang sedang bercuap-cuap, lalu memilah-milah daftar lagu untuk playlist pagi ini. Kemudian kau mendapati sepucuk surat elektronik masuk ke inbox official radio kalian. Surat untukmu, tentu saja yang berkaitan dengan acara Love Potionmu. Awalnya kau tidak ingin membacanya, namun alih-alih meng-klik tanda silang pada sudut kanan kotak dialog email, kau malah salah pencet hingga emailnya terbuka. Sialnya lagi, kau terlanjur membaca sebaris kalimat pertama yang membuatmu tergoda untuk membaca lebih lanjut.

Dear Lova,
Perkenalkan nama aku Mawar. Sebut aja begitu. Aku punya pengalaman miris yang mungkin tidak akan aku lupakan. Dan semoga pengalaman ini tidak dialami oleh pendengar lainnya ya.

Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 6. Kelasku punya wali murid laki-laki, sebut saja namanya pak M. Sebetulnya sejak aku masih kelas 5 di kalangan kakak kelasku sudah beredar desas-desus bahwa pak M ini genit dan suka meraba-raba. Tapi karena tidak ada bukti dan tidak ada korban yang mengaku, jadi berita ini dianggap angin lalu saja.

"Baca apa sih, serius banget?" tanya Renata. Kau tidak menjawabnya, namun mengarahkan pandanganmu untuk mengajaknya membaca bersama-sama.

Nah, kebetulan di sekolahku kantinnya berada setelah ruang guru. Jadi setiap kami akan ke kantin selalu melewati ruang guru yang pastinya ada pak M disana. Waktu itu, aku dan temanku bernama Ika hendak ke kantin. Waktu kami melewati ruang guru, pintunya terbuka cukup lebar dan kami bisa melihat dengan jelas (meskipun tidak ingin melihat) pak M sedang merayu sambil meraba-raba paha seorang guru perempuan. Hanya mereka berdua di ruangan itu, sepertinya guru perempuan yang sudah menikah itupun juga tidak suka dengan perlakuan pak M. Sialnya lagi, pak M menyadari kalau aksinya ketahuan oleh kami. Aku dan Ika langsung berlari ke kantin dan enggan memperpanjang masalah tentang apa yang kami lihat. Kami merasa kami adalah orang yang tidak tepat disaat tidak tepat pula. Seharusnya ibu kepala sekolah yang memergoki ulah pak M, bukannya kami.

Sewaktu pelajaran di kelas setelahnya, saya dan Ika cenderung pasif, padahal Ika yang selalu dapat peringkat satu di kelas biasanya aktif menjawab pertanyaan dari pak M. Kami takut pak M akan melakukan sesuatu pada kami. Dan feeling kami benar, tempat duduk saya dan Ika yang semula bersebelahan, dipindah oleh pak M karena menurut beliau kami tidak memperhatikan pelajaran dan sibuk mengobrol. Padahal sejak hari itu dan hari-hari kemarinnya saya dan Ika jarang sekali mengobrol waktu pelajaran. Saya dipindah dengan Wibi, dan Ika dengan Fian. Rasanya sedih sekali Va harus dipisahkan dengan sahabat saya, padahal kami berdua juga korban secara tidak langsung. Tapi mau bagaimana lagi? kami tidak berani membantah, karena takut dimarahi.

Tidak lama kemudian, guru perempuan itu akhirnya pindah dari sekolah kami. Alasannya karena ada tawaran kerja di sekolah yang lain, walaupun kami berdua tahu itu bukan alasan sebenarnya. Tapi permasalahannya tidak berhenti sampai sini. Pak M sepertinya hendak membalas dendam pada kami, entahlah, itu yang bisa kami pikirkan setiap kali pak M mendekat.

Pernah beliau menyuruh Wibi mengerjakan soal didepan, kemudian beliau duduk di sebelahku sambil tangannya menggerayangi betisku hingga lipatan lutut. Sangat menjijikkan! Hatiku terasa panas ingin melawan, namun tidak cukup berani merealisasikan. Kau tahu Va, aku memendam berbagai kata umpatan untuk pak M namun tidak ada satupun yang keluar. Dan hal itu bukan hanya aku atau Ika yang mengalami. Setelah aku kroscek dengan beberapa teman perempuan, terutama yang berwajah cantik, mereka mengaku pernah mengalaminya juga, bahkan lebih sering dari kami. Diantara kami tidak ada yang berani bercerita pada guru lain maupun orang tua. Kami takut, karena pak M mengancam kami untuk tidak cerita pada siapapun. Beliau berkata bahwa itu adalah bentuk kasih sayang beliau terhadap muridnya. Entah, setan apa yang menguasai dirinya hingga tega melakukan hal semacam itu pada kami.

Lama kelamaan aku nggak tahan diperlakukan seperti itu. Kemudian aku memberanikan diri bercerita kepada Wibi. Namun bukannya membela atau minimal menghiburku,Wibi malah menertawakanku dan menyebarkan berita tentangku kepada teman-teman laki-laki yang lain. Wibi sama sekali tidak membantu. Aku semakin sedih, Lova. Oke, mungkin pada saat itu dia masih anak laki-laki ingusan yang tidak bisa berbuat banyak untuk membantuku. Tapi please, apa dengan menertawakan dan menyebarkan berita memalukan seperti itu menurutnya lucu? aku benar-benar tidak bisa menerima perlakuannya. Sampai sekarang aku belum bisa memaafkan sikap pengecut Wibi.

Akhirnya aku lulus dari sekolah itu dan berjanji dalam hati tidak akan kembali kesana. Sampai kapanpun. Meski suatu saat nanti pak M sudah tidak disana lagi. Yang terakhir aku dengar pak M menderita stroke dan sebagian badannya lumpuh. Tuhan mungkin membalas doa kami semua yang teraniaya, tapi menurutku itu belum sebanding dengan trauma yang beliau timbulkan pada kami hingga kami dewasa. Entahlah Va. Apa yang adil bagi kami belum tentu adil bagi Tuhan. Terima kasih sudah membaca suratku. Tertanda, Mawar.

Kau dan Renata menghela nafas panjang bersamaan. Cerita ini membuat dadamu terasa sesak. Entah marah pada guru itu, entah iba, entah... bagaimana bisa ia membiarkan dirinya memendam hal seberat ini seorang diri?

"Gila, guru ini!" Geram Renata. Ia mengepalkan tangannya gemas, seolah ingin meninju monitor kalian. "Kok ada sih orang yang kayak gitu?"

Kau menggeleng, sibuk menyeka sudut matamu yang terasa berair karena luapan emosimu. Kau tidak hentinya menyayangkan, bagaimana bisa sesosok pahlawan tanpa tanda jasa tega memberikan citra buruk dimata anak didiknya sendiri? "Nah, banyak hal tidak terduga yang bisa aku dapat dari Love potion. Kadang, aku merasa bersyukur, aku bukan satu-satunya orang yang bermasalah di dunia ini. Kadang, aku menjumpai banyak orang yang menanggung beban hidup lebih dari aku, namun mereka punya keberanian lebih untuk bercerita."

"Jadi maksud lo, elo orang yang nggak berani cerita masalah elo ke orang lain?" todong Renata.

Kau menggeleng lagi. "Aku bukannya nggak berani, aku cuma merasa beruntung bisa mendengar cerita-cerita yang emosional dari pembaca." Kau tersenyum sangat manis ke arah Renata, dan ia lantas memelukmu.

"Gue pengen nemenin elo di Love potion. Sekali aja. Boleh kan?"

Kau mengangguk, lalu balas memeluknya. Saat yang bersamaan, Ramon baru saja datang dan ia tengah berdiri di depan pintu kaca yang setengah terbuka memandangi kalian berdua dengan wajah cengo.

"Kak Re, Lova, kalian nggak apa-apa kan?"


~ (oleh @nadhiasunhee)

0 comments em “Sex Abuse”

Post a Comment