Warung Bebas

Saturday, 1 October 2011

Delapan #11

Hubunganku dengan Milan masih baik-baik saja, sampai akhir Juli tahun itu. Malah ketika English Day hari Kamis dilaksanakan, ia katakan sesuatu padaku, dari barisan kelasnya. Sebenarnya bukan mengatakan dalam konteks berbicara. Di ujung mata, aku melihatnya mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celana pramuka yang berwarna coklat.

Itulah seragam PKL tiap Kamis. Aku selalu menunggu-nunggu hari Kamis. Milan terlihat sangat charming dengan balutan seragamnya. Kemeja coklat muda yang terkadang bagian bawahnya masuk setengah ke celana dengan label namanya di dada kanan, celana kain coklat tua yang buat dia cool, ditambah kacu merah putih dilingkar di kerah seperti scarf PMR yang waktu itu ia kenakan.


Milan mengode, "Woi! St!" Dengan langsung aku menoleh. Ia pegang kertas tadi tepat di dada. Kertas itu bertuliskan satu kalimat bahasa Inggris dengan huruf besar-besar memenuhi tiap sisi kertas yang ada, yang membuat pagiku seketika berpelangi. ANGGI, I TRUST ON YOU♡


Aku tidak bisa memberikan respon yang sama spesialnya dalam beberapa detik, selain melancarkan sebuah senyum. Lalu ia menaikkan sebelah alis matanya sambil tertawa yang aku isyaratkan sebagai pertanyaan dari Milan, "Bagaimana Nggi?". Aku naikkan dua jempol tanganku, mengarahkan mereka pada Milan. Melihat aku seperti itu, Milan membungkukkan tubuhnya seraya menangkupkan kedua tangan di dada dan cukup terdengar olehku ia berkata, "Arigatou gozaimasu, Anggi". Lalu kujawab saja sembarangan dengan bahasa Inggris lagi. Ternyata guru killer kesayanganku sedang piket. Ibu itu berjalan diantara barisan anak PKL. Aku tau setelah namaku dan Milan dihardiknya dengan terlalu. Oke, kami ketahuan melakukan aktivitas selain yang biasa dilakukan di barisan.


"Pertama, masih ingat dalam ingatan saya, tentang apa yang saya lihat di kantin sebulan lalu. Kamu gerogi kan Anggita?"


"Gerogi apa, Bu?"


"Sudahlah, jangan pura-pura ngga tau atau ngga ingat. Saya yakin kamu ingat"


"Saya ingat, Bu", Milan menimpali.


"Terserah ananda berdua mau ingat atau ngga kejadian waktu itu. Menurut saya, yang jelas I Trust on You barusan adalah bentuk ketidakdisiplinan. Dengan berat hati, saya menugaskan ananda untuk membuat esai tentang konsentrasi sebanyak dua lembar sebagai ganti tidak konsentrasi dalam barisan"


"Sekarang, Bu?"


"Iya, dan kerjakan di meja piket"


"Berdua, Bu?"


"Hmm...... Boleh, tapi tugasnya untuk dikumpulkan per individu. Killer gini tapi saya juga pernah muda lho!"


"CIYYEEEEEEE!!!!!!!!!!!!!!", seru aku dan Milan serempak.


Setelah itu kami langsung diberikan dua kertas HVS untuk masing-masing. Ini adalah pertama kalinya aku duduk semeja dengan Milan, mengerjakan sebuah tugas. Pertama kali. Seperti yang aku katakan sebelumnya, kami jarang ber-blablabla panjang lebar di sekolah. Kecuali jika ada Dini yang menjembatani.


Butuh waktu hampir satu jam untuk aku menyelesaikan esai itu. Aku menutup pulpen dan bersiap mengantarnya ke tempat yang sudah kami janjikan dengan guru killer kesayanganku. "Sebentar Nggi. Tunggu saya sebentar lagi. Sama-sama aja kesana", pinta Milan dengan tak sedikitpun aura wajah bercanda. Aku hanya mengangguk lalu tersenyum. Aku fokuskan penglihatan pada yang Milan tulis. Ia sudah sampai pada bagian ujung bawah kertas. Keningku berkerut. Ia menulis beberapa kalimat disana dengan sungguh-sungguh,


"Terimakasih untuk kesempatan yang telah ibu berikan. Jujur saja, saya senang sekali bisa mengerjakan esai dengan'nya'. Kalau lain kali ibu melihat saya bermain-main di barisan, tolong hukum saya lagi dengan persis seperti pagi ini ya, Bu. Dari saya,
Siswa ter-ganteng se-PKL,
Milan Farera Ibda"


Aku beranikan diri menepuk pundaknya, "Milan! Gombal sumpah" Ia tertawa sekencang-kencangnya lalu mengejekku dengan lidahnya. Aku tak habis pikir dia melakukan itu. Walaupun malu, sebenarnya aku senang. Sangat senang dengan rentetan kejadian pagi ini, 30 Juli 2009.


~ (oleh @captaindaa)

0 comments em “Delapan #11”

Post a Comment