Warung Bebas

Monday, 3 October 2011

#22: Retrace (pt 2)

Brooklyn adalah salah satu kota terpadat selain New York dan Manhattan. Letaknya yang berada di kawasan Long Island memungkinkanku melewati Brooklyn Bridge yang menjadi penyambung kawasan Manhattan dan Brooklyn. Pemandangan Sungai East juga menghibur mataku. Rumah Adrian yang sudah direnovasi terletak tidak jauh dari Sungai East dan jalan raya. Meski masuk sebagai salah satu wilayah terpadat, aku tidak melihat banyak kendaraan dan orang-orang melintas di sini.
"Home sweet home!" seru Adrian begitu membuka pintunya. "Gimana? Bagus, kan?"
Mataku terpaku memandang wallpaper berwarna biru laut dengan corak abstrak. Beberapa perabotannya masih ditutupi plastik, hanya dapur saja yang perabotannya sudah siap untuk dipakai.
"Ada berapa kamar di sini?" tanyaku penasaran. Rumah ini tidak seluas rumah Ares di Norfolk dan terhimpit dengan rumah-rumah lainnya.
"Baru dua. Appa rencananya mau renovasi lagi rumah ini jadi dua lantai," jawab Adrian. "Tapi, kurasa, begitu menikah nanti, aku nggak mau tinggal di sini."
Alisku terangkat. "Kenapa?"
Matanya melirik padaku. "Kamu mau tinggal di sini?"
Aku diam termenung dan mengolah maksud dari pertanyaannya itu. "EH? APA? You want to marry me?* HAH!"
Kami tergelak selama beberapa detik, sebelum Adrian mempersiapkan makan malam. Aku tahu, ada sebagian dari diri Adrian yang menganggap pertanyaan tadi serius. Tapi, aku belum bisa menjawabnya. Aku masih butuh waktu.
"Dita," katanya setelah kami selesai makan, "I wanna ask you something."
"Apa?"
"How much Ares means a lot to you?"
Such a deep question, with a deep answer too. Bibirku mengulum; memikirkan jawaban apa yang tidak panjang, tapi cukup mengena. "He means a lot to me. Maksudku, Ares... dia adalah orang pertama yang tanpa banyak basa-basi ingin menjalin hubungan denganku. Bagi wanita, tidak ada perasaan yang lebih menyentuh dibanding dengan dicintai seseorang yang berarti baginya. Meski pada akhirnya, aku tahu dia tidak mencintaiku sepenuhnya. Tapi, tetap, dia pernah berada di hatiku."
"With all the imperfections he has?"
Aku mengangguk mantap.
Adrian menghela nafas panjang; jari-jarinya mengetuk meja dengan gelisah.
"Bagaimana kalau seandainya dia menawarkan kesempatan kedua?"
Déjà vu. Aku ingat Adrian pernah menanyakan hal ini dua tahun yang lalu.
Jawabannya jelas berbeda. Mataku menatapnya lebih lama dan membuat Adrian salah tingkah.
"Tolong, Dita, jangan jawab pertanyaan ini karena ada aku," pintanya dengan senyum getir. Tapi, menurutku, ada atau tanpa Adrian, jawabannya memang akan selalu berubah.
Tapi, aku juga bukan Yudika – aku bukan orang yang seobsesif itu. Hatiku memang meronta-ronta saat bertemu Ares dua tahun yang lalu di Wal-Mart. Aku masih berpikir kami bisa kembali setelah bertemu di apartemen Ares. Namun, aku tetap tidak bisa mencintai orang yang pernah menyakiti perasaanku dua kali.
Ponselku berdering; memecah keheningan. Dari Ares.
Mataku mengerling pada Adrian sejenak. "H-Halo?"
"Dita? Kamu ada dimana sekarang?"
Telingaku menangkap keriuhan di belakangnya. Bukan suara hujan, tapi orang-orang yang sedang berteriak. Mataku membelalak. Crowd konser?
Kamu nggak tahu hari ini dia pergi ke Norfolk?
Apa dia sedang berada di The NorVa?
"Dita?" ulangnya lagi.
"Ar, aku ada di Brooklyn, kenapa?" Adrian beranjak dari kursi dan pergi ke ruang tamu untuk memberi privasi. Atau mungkin merasa terintimidasi. "K-Kamu di mana?"
Tidak ada jawaban sejenak selain koor panjang dari orang-orang di sana.
"Jangan tutup teleponnya."
Keriuhan itu melemah ketika seseorang mengetuk-ngetuk mic dan dugaanku bahwa Ares sedang berada di tengah konser semakin kuat saat suara gitar dan drum terdengar di sana. Kemudian, orang tadi – laki-laki – bicara, "I hope you all now aren't in a broken hearted feeling. Because, this song will, yeah, probably kill you in a second."
Ada beberapa orang yang tertawa dan orang itu melanjutkan, "We're gonna play it in acoustic. This song is called Retrace."
Dahiku mengerut. Retrace? Anberlin? Ares di konser Anberlin?
Orang tadi pasti Stephen Christian.
Intro lagu mulai dimainkan. Jariku mati rasa.
*Oh how I've tried to get you out of my head
*And I lied, the broken words I said
*Never thought I'd walk on this street again
*Standing where it all began*
Rintik hujan mereda dan sayup-sayup, aku bisa mendengarkan Stephen menyanyikan lagunya. Well, aku sebenarnya bukan penggemar Anberlin, tapi ada beberapa lagu mereka yang aku sukai. Salah satunya Retrace dan entah kenapa, aku merasa Ares sengaja memintaku untuk mendengarkan lagu ini.
Seperti yang dia lakukan di konser We Are the in Crowd.
Oke, should I notice something on the lyrics?
*Oh how now I find, every subtle thing screams your name
*It reminds me of places and times we shared
*Couldn't I've locked in these memories
* Now I'm chained to my thoughts again
Rasanya ada panah tak terlihat yang menembus jantungku dari belakang.
Air mataku meleleh dan punggungku merosot di kursi seperti lemas kehabisan tenaga. Tanganku hampir saja melepas ponsel, tapi kemudian aku menggenggamnya semakin kuat. Ares memang sengaja pergi ke Norfolk. A place where we met. A place where we shared our love. A place where we separated.
Did he retrace our memories? For what?
Ares belum mengatakan sepatah kata pun – padahal aku yakin dia bisa mendengar isakanku yang semakin keras. Sementara Stephen terus bernyanyi bersama para penonton.
Di paruh terakhir lagu, aku hampir seperti orang yang kehabisan oksigen.
*And nowhere else has ever felt like home
*And I can't fall asleep when I'm lying here alone
*I replay your voice, it's like you're here
*You moved the earth, but now the sky is falling...
*Retrace the place we took on that lost summer night
*In my mind, I'm back by your side
*Retrace the steps we took when we met
*worlds away, counting backwards while the stars are falling...
Tepuk tangan bergemuruh – menyaingi suara isakanku.
"Still there, Aphrodite?" tanyanya khawatir.
Dengan susah payah, aku menjawab, "M-Maksud kamu apa, Ar?"
"Tunggu sebentar."
Sambil menunggu Ares bicara lagi, tanganku menarik tisu dari kotaknya di atas meja untuk menghapus air mataku. Saat Ares kembali, keriuhan konser tadi sudah hilang. Aku rasa, dia sengaja pergi ke luar dari venue agar bisa mendengar suaraku dengan jelas.
"Kamu udah buka paket yang aku kasih?"
"I-Iya. Kenapa?" Uh, kok malah nanyain paket, sih?
Ares menggumam sejenak. "What did you get?"
"Mug, kacang giling... itu aja." Sekarang aku jadi penasaran. "Emang ada apa lagi?"
"Cuma itu?" Dari suaranya, Ares terdengar sangat kaget. "Well, in case you din't find or notice, there was a blue envelope. *Di dalamnya... ada tiket konser Anberlin malam ini di The NorVa."*
Seketika itu juga, punggungku tegak kembali. "A-Aku nggak nemu, Ar."
Dia menarik nafas panjang dan menciptakan keheningan yang panjang selama satu menit. "Seharian ini, aku nunggu telepon dari kamu. Berharap kamu nanya maksud aku ngasih tiket itu. Tapi, sampai aku di Norfolk... I didn't get you message or call. Aku pikir, kamu memang sudah melupakan semuanya,
terlebih lagi waktu liat kamu dengan dia di apartemen."

Kepalaku menoleh ke belakang. Mana Adrian?
"I just wanted to retrace it all. Memastikan apa yang kita putuskan dua tahun yang lalu itu... memang benar."
Tenggorokanku tiba-tiba seperti tercekik saat akan menyanggahnya. Aku ingin menjelaskan apa yang Ares lihat di apartemen siang itu hanya salah paham belaka! Tapi, tidak bisa. Ada sesuatu yang menahanku untuk terus diam.
"Aku pikir," katanya lagi, "itu memang keputusan yang tepat."
Kepalaku menggeleng lemah – tapi aku tahu dia tidak bisa melihatnya.
"Tapi, aku senang bisa melihat kamu sebahagai sekarang, Dita. It seems like that guy could give you everything you want and need."
"Ares—"
"I loved you," interupsinya cepat, "glad to know I once told you this."
"Ar..."
"See you there!"
Telepon terputus dan aku kembali bergeming bersama hujan. Perlahan, aku membaringkan kepalaku di atas meja. Kehabisan tenaga karena terlalu lama menangis.
Amplop? Amplop apa yang Ares maksud?
"I'm such a devil."
Kepalaku terangkat kembali. Adrian keluar dari kamarnya dengan wajah pucat dan menghampiriku. Di tangannya, aku melihat ada sesuatu yang—OH! Aku langsung berdiri dan melangkah mundur; menjauhinya.
"Ad?" desisku tajam. "Was it YOU?"
Dia meletakkan amplop berwarna biru itu di atas meja. "It was me who stole it while you ch—"
PLAK!
Adrian tertegun saat aku menamparnya keras sampai kacamatanya terjatuh dan retak di lantai. Matanya terarah padaku, tapi aku tidak peduli dengan apa yang dia rasakan sekarang. Tanganku meraup amplop itu dan membuka untuk mengetahui apa isinya – ada tiket konser Anberlin dan... satu tiket pesawat
ke Norfolk!!!
"Dita—"
"Adrian Choi yang aku kenal adalah pria baik yang sopan, bertanggung jawab..." potongku cepat dan terus berusaha menjauh saat dia mendekat.
"Kamu... kamu bukan dia! Kamu bukan Adrian Choi. KAMU PENGECUT!!!"
"Let me explain—"
"NO!" *hardikku keras. "JANGAN PERNAH DATANG APALAGI BICARA DENGANKU!"
Tanpa banyak bicara lagi, aku meraih tas dan scarf*, kemudian berlari keluar dari rumah Adrian. Aku mengenyahkan hujan yang masih turun maupun teriakannya di belakangku.
Karena, yang ada di pikiranku hanya satu: Ares.


***


~ (oleh @erlinberlin13)

0 comments em “#22: Retrace (pt 2)”

Post a Comment