Warung Bebas

Wednesday 5 October 2011

#24: Denial (pt 2)



Delapan hari berlalu. Adrian belum menemuiku.
Sebenarnya, aku bisa saja pergi ke Brooklyn dan datang ke apartemennya untuk memastikan dia baik-baik saja. Tapi, akhir-akhir ini, ada banyak berita yang mengabarkan tindak kriminalitas sedang meningkat di sana dan membuatku parno. Menelepon? Jangan tanya sebesar apa gengsiku untuk melakukannya!
Jadi, aku hanya berkutat di apartemen atau jalan-jalan di Central Park. Aku memutuskan untuk membalas beberapa email penggemar – juga membalas postcard Yudika. Kami bertukar kabar lewat  email  dan aku senang membacanya – he's truly happy now with her. Iya, Yudika akhirnya berkencan dengan Tomomi.
Tapi, hari ini, aku memintanya untuk ngobrol via Skype. Aku tidak tahan untuk menceritakan hubunganku dengan Ares yang kurang menyenangkan setelah putus.
"Kayaknya aku kena karma, deh," keluhku sambil bertopang dagu. Yudika, yang terlihat berbeda dengan kulit cokelat terbakar matahari, menyimak dengan tatapan penasaran. "I mean, ya, ngejar-ngejar masa lalu."
Dia tiba-tiba tergelak lepas. "Aku malah mikir kamu nggak kena karma sama sekali. Kasusnya jelas beda, Dit. Aku dulu ngejar-ngejar kamu tapi kita nggak pernah pacaran sebelumnya. Sementara dengan Ares... kalian berdua kan pacaran dulu. It's about the relationship!"
Bola mataku berputar. "Tapi, temanya tetep ngejar masa lalu!"
"Damn you, author!" *Yudika berdecak tidak setuju. "Oke, just ask what you want to, Cupid."
"Umh..." Kepalaku tertunduk sejenak. "Setelah open mic itu, apa yang kamu rasakan? How could you move on after that?"
Sebuah senyuman tipis melengkung di wajahnya. "Awalnya memang sulit. aku nggak bisa ngelepas kamu semudah itu, but you loved him so much, I could feel that. Lalu, meski aku nggak suka sama Ares, ada satu ucapannya yang malah memotivasiku untuk cepat bangkit."
Alisku terangkat. "Apa?"
"Untuk apa terus mengejar Dita sementara di sekitar kamu, atau malah di samping kamu, ada orang yang lebih peduli!" Kami tertawa sejenak. Ini pasti bagian pertengkaran mereka yang tidak kusaksikan. "Orang yang lebih peduli– that person is Momo. Aku sempat beranggapan rasanya sulit untuk mencintai orang lain. Tapi, dia nggak menyerah begitu saja. Bahkan waktu dia diutus ke Afrika dan diperbolehkan untuk membawa satu rekan kerja, she chose me, because she knew I'd really want to go. Aku mulai membuka hati dari sana."
"Nice story." Aku membayangkan mereka berdua kencan di tengah padang rumput Afrika – di bawah sinar mataharinya yang panas. "She finally set you free from love blindness."
Alisnya bertaut. "Hmm, aku malah berpikir kalau selama ini, sebenarnya bukan cinta yang membuat kita 'buta' – ini kan hanya sebuah perasaan. Mungkin faktor sebenarnya adalah karena kita tertekan dalam sebuah kondisi. Hei, seseorang bisa jadi baik atau jahat dalam situasi yang terdesak, kan?"
Kepalaku mengangguk setuju. "Jadi, apa menurut kamu aku harus membuka hati untuk orang lain?"
"Well, Dita, Athena's Diary sempat ditolak empat penerbit sebelum akhirnya diterima dengan penerbit yang tepat dan mengantarkan kamu dalam kesuksesan ini, kan?" katanya dengan mata berbinar. "*hat's also the way you'll meet your Mr.Right. Kamu akan gagal dulu, belajar memperbaikinya, sampai menemukan dia yang membuat kamu merasakan takut akan kehilangan yang sangat. He's the one who makes you feel that a half of your life is owned by him. Soulmate*."
Oke. Wow. Yudika ini sebenarnya dokter spesialis perasaan, ya?
"Such a deep 'speech'," komentarku yang disambut tawa ringan khasnya. "Thanks, Yudika."
"No, thanks, Dita," potongnya cepat, "* learnt from you."
Aku diam mematung. Emh, ini aneh. Kenapa cowok-cowok ini, yang pernah mengisi masa laluku, mengucapkan terima kasih setelah belajar dari perjuanganku melepaskan mereka?


***




~ (oleh @erlinberlin13)

0 comments em “#24: Denial (pt 2)”

Post a Comment